Sabtu, 06 Februari 2010

Masjid Patimburak, Masjid Tua Kota Kokas

Masjid Tua Wertuar Patimburak.

Bila anda berkesempatan berkunjung ke distrik Kokas kabuten Fakfak, Provinsi Papua Barat, jangan lupa mampir ke Masjid Tua Patimburak. Masjid kecil, tua nan indah dari masa lalu menandai hadirnya Islam di tanah papua sejak tahun 1700 yang lalu.

Distrik kokas, terkenal dengan objek wisata lukisan di tebing bebatuan terjal. Oleh masyarakat setempat, tebing bebatuan terjal ini biasa disebut Tapurarang. peninggalan sejak zaman prasejarah ini bisa dijumpai di Andamata, Fior, Forir, Darembang, dan Goras. Masih ada objek menarik yang  lain yaitu sisa-sisa peninggalan Perang Dunia ke-II yang terdapat di kota ini. Kota yang dijadikan basis pertahanan tentara Jepang melawan sekutu di periode 1942/1945. Bangunan goa atau benteng Jepang yang terdapat di pusat kota Kokas. Menjadi saksi bisu peristiwa sejarah itu.

Situs Masjid Tua Wertuar Patimburak
Patimburak, Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

 

Meski belum ada literatur yang melukiskan asal usul kehadiran kaum Muslim di Fakfak. Tetapi, kenyataan, hampir 60 persen warga Fakfak dan sekitarnya menganut agama Islam. Menjadikan Fak Fak sebagai kabupaten dengan pemeluk Islam terbesar di Papua Barat. Tak hanya warga pendatang, tetapi penduduk asli dengan warna kulit hitam dan rambut keriting sudah sejak ratusan tahun silam menganut agama Islam. Mesjid Patimburak yang didirikan tahun 1700-an adalah bukti sejarah Islam di Fakfak. 

Tokoh muslim Fakfak, Syamsu ZA Tukuwain, mengatakan, kehadiran Islam di Fakfak bukan impor dari luar Papua. "Mesjid tertua di daerah ini adalah masjid Patimburak sekitar 100 km dari Fakfak. Mesjid ini dibangun persis di bibir pantai Kampung Patimburak dengan mengambil arsitektur seperti kebanyakan bangunan tua di Eropa," kata Tukuwain.

Kaum Muslim di Fakfak datang dari masa kesultanan Tidore dan Ternate yang berkuasa pada tahun 1200-1400. Masjid Tua Patimburak yang berlokasi di Kokas, Fak-Fak, Papua Barat. Masjid ini menjadi bukti sejarah syiar Islam sesungguhnya telah menyentuh tanah Papua beratus tahun lampau. Bangunan masjid seluas tak lebih dari 100 meter persegi ini didirikan pada 1870 oleh Imam Abuhari Kilian.

Masjid Tua Wertuar Patimburak

Jika bertandang ke masjid tua ini, terselip atmosfer religi yang menyembul di antara belantara. Masjid ini berada di kampung yang dihuni tak lebih dari 36 kepala keluarga. Kesederhanaan terasa menyatu antara masjid dan kehidupan masyarakatnya. 

Masjid Patimburak yang telah beberapa kali direnovasi ini memiliki keunikan pada arsitekturnya. Perpaduan bentuk masjid dan gereja terlihat jelas. Ini menunjukkan toleransi sudah tumbuh lama di Kokas. Empat pilar penyangga yang terdapat di dalam masjid masih menggunakan material yang asli.

Penyebaran Islam di Kokas tak lepas dari pengaruh Kekuasaan Sultan Tidore di wilayah Papua. Pada abad ke-15, Kesultanan Tidore mulai mengenal Islam. Sultan Ciliaci adalah sultan pertama yang memeluk agama Islam. Sejak itulah sedikit demi sedikit agama Islam mulai berkembang di daerah kekuasaan Kesultanan Tidore termasuk Kokas.

Pada masa penjajahan, masjid ini pernah diterjang bom tentara Jepang. Hingga kini, kejadian tersebut menyisakan lubang bekas peluru di pilar masjid.

Masjid Tua Wertuar Patimburak

Untuk mencapai lokasi Masjid Tua Patimburak, Anda sebelumnya harus menempuh perjalanan darat dari Fakfak ke Kokas. Tersedia angkutan luar kota dari terminal kota Fakfak. Sekitar dua jam, menyusur jalanan berkelok dan segarnya udara pegunungan bisa dinikmati. Tiba di Kota Kokas, perjalanan menuju Kampung Patimburak harus dilanjutkan menggunakan longboat sewaan sekitar satu jam. Pulau-pulau karang menawan menjadi pemandangan yang tersaji.

Menurut cerita turun temurun masjid tersebut dibangun dimasa Raja Wertuer I bernama kecil Semempe. Saat itu, tahun 1870, Islam dan Kristen sudah menjadi dua agama yang hidup berdampingan di Papua. Ketika dua agama ini akhirnya masuk ke wilayahnya, Wertuer sang raja tak ingin rakyatnya terbelah kepercayaannya.

Maka ia membuat sayembara: misionaris Kristen dan imam Muslim ditantang untuk membuat masjid dan gereja. Masjid didirikan di Patumburak, gereja didirikan di Bahirkendik. Bila salah satu di antara keduanya bisa menyelesaikan bangunannya dalam waktu yang ditentukan, maka seluruh rakyat Wertuer akan memeluk agama itu. 

Masjid lah yang berdiri pertama kali Maka raja dan seluruh rakyatnya pun memeluk Islam. Bahkan sang raja kemudian menjadi imam juga, dengan pakaian kebesarannya berupa jubah, sorban, dan tanda pangkat di bahunya. Masjid itu kini masih berdiri megah di pinggir teluk Kokas, dan masih difungsikan sebagai tempat ibadah 36 kepala keluarga dengan 147 jiwa yang tinggal di sekitarnya. (Dari berbagai sumber).

Kamis, 04 Februari 2010

Masjid Wapauwe, Salah Satu Masjid Tertua di Indonesia

Seperti halnya sejumlah wilayah lain di Indonesia yang menyimpan sejarah peradaban agama-agama dunia, Provinsi Seribu Pulau, Maluku juga menyimpan peninggalan sejarah Islam yang masih ada dan tidak lekat dimakan zaman. Di utara Pulau Ambon, tepatnya di Negeri (desa) Kaitetu Kecamatan, Leihitu Kabupaten, Maluku Tengah, berdiri Masjid Tua Wapauwe. Umurnya mencapai tujuh abad. Masjid ini dibangun tahun 1414 Masehi. Masih berdiri kokoh dan menjadi bukti sejarah Islam masa lampau.

Untuk mencapai Negeri Kaitetu dimana Masjid Tua Wapauwe berada, dari pusat Kota Ambon kita bisa menggunakan transportasi darat dengan menempuh waktu satu jam perjalanan. Bertolak dari Kota Ambon ke arah timur menuju Negeri Passo. Di simpang tiga Passo membelok ke arah kiri melintasi jembatan, menuju arah utara dan melewati pegunungan hijau dengan jalan berbelok serta menanjak. Sepanjang perjalanan kita bisa menikmati pemandangan alam pegunungan, dengan sisi jalan yang terkadang memperlihatkan jurang, tebing, atau hamparan tanaman cengkih dan pala hijau menyejukkan mata. 

Sebelum mencapai Kaitetu, kita terlebih dahulu bertemu Negeri Hitu, yang terletak sekitar 22 kilometer dari Ambon. Sebuah ruas jalan yang menurun, mengantarkan kita memasuki Hitu. Pada ruas jalan tersebut kita disuguhi panorama pesisir pantai Utara Pulau Ambon yang indah dengan hamparan pohon kelapa dan bakau. Dari situ juga, kita dapat melihat dengan jelas Selat Seram dengan lautnya yang tenang. Tiba di simpang empat Hitu, kita harus membelokkan kendaraan ke arah kiri, atau menuju arah barat menyusuri pesisir Utara Jazirah Hitu. Baru setelah kita menempuh 12 kilometer perjalanan dari situ, kita akan menemukan Negeri Kaitetu.

KONSTRUKSI PELEPAH SAGU

Masjid yang masih dipertahankan dalam arsitektur aslinya ini, berdiri di atas sebidang tanah yang oleh warga setempat diberi nama Teon Samaiha. Letaknya di antara pemukiman penduduk Kaitetu dalam bentuk yang sangat sederhana. Konstruksinya berdinding gaba-gaba (pelepah sagu yang kering) dan beratapkan daun rumbia tersebut, masih berfungsi dengan baik sebagai tempat ber-shalat Jumat maupun shalat lima waktu, kendati sudah ada masjid baru di desa itu. 

Bangunan induk Masjid Wapauwe hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35 x 4,75 meter. Typologi bangunannya berbentuk empat bujur sangkar. Bangunan asli pada saat pendiriannya tidak mempunyai serambi. Meskipun kecil dan sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yang jarang dimiliki masjid lainnya, yaitu konstruksi bangunan induk dirancang tanpa memakai paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu.

Hal lainnya yang bernilai sejarah dari masjid tersebut yakni tersimpan dengan baiknya Mushaf Alquran yang konon termasuk tertua di Indonesia. Yang tertua adalah Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy yang selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 dan tanpa iluminasi (hiasan pinggir). Sedangkan Mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada tahun 1590, dan juga tanpa iluminasi serta ditulis tangan pada kertas produk Eropa.

Imam Muhammad Arikulapessy adalah imam pertama Masjid Wapauwe. Sedangkan Nur Cahya adalah cucu Imam Muhammad Arikulapessy. Mushaf hasil kedua orang ini pernah dipamerkan di Festival Istiqlal di Jakarta, tahun 1991 dan 1995.

Selain Alquran, karya Nur Cahya lainnya adalah: Kitab Barzanzi atau syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW, sekumpulan naskah khotbah seperti Naskah Khutbah Jumat Pertama Ramadhan 1661 M, Kalender Islam tahun 1407 M, sebuah falaqiah (peninggalan) serta manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun. 

Kesemuanya peninggalan sejarah tadi, saat ini merupakan pusaka Marga Hatuwe yang masih tersimpan dengan baik di rumah pusaka Hatuwe yang dirawat oleh Abdul Rachim Hatuwe, Keturunan XII Imam Muhammad Arikulapessy. Jarak antara rumah pusaka Hatuwe dengan Masjid Wapauwe hanya 50 meter.

RENOVASI

Masjid ini direnovasi pertama kali oleh pendirinya, Jamilu pada tahun 1464, tanpa merubah bentuk aslinya. Meski pernah mengalami dua kali pemindahan, bangunan inti masjid ini tetap asli. Bangunan ini mengalami renovasi kedua kali pada tahun 1895 dengan penambahan serambi di depan atau bagian timur masjid. 

Masjid berkali-kali mengalami renovasi sekunder setelah masa kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1959, atap masjid mulai menggunakan semen PC yang sebelumnya masih berkerikil. Setelah itu terjadi dua kali renovasi besar-besaran, yaitu pada Desember 1990-Januari 1991 dengan pergantian 12 buah tiang sebagai kolom penunjang dan balok penopang atap. Pada tahun 1993 dilakukan pergantian balok penadah kasau dan bumbungan, dengan tidak mengganti empat buah tiang sebagai kolom utama. 

Pada tahun 1997, atap masjid yang semula menggunakan seng diganti dengan bahan (semula) dari nipah. Atap nipah diganti setiap lima tahun sekali. Meski pernah direnovasi berkali-kali, masjid ini tetap asli karena tidak merubah bentuk inti masjid sama sekali. Sehingga, dapat dikatakan bahwa masjid ini sebagai masjid tertua di tanah air yang masih terpelihara keasliannya hingga kini. Maret 2008 lalu, Masjid ini direnovasi kembali. Struktur atap yang terbuat dari pelepah sagu diganti yang baru.

WARISAN SEJARAH

Bukan suatu kebetulan, Masjid Wapauwe berada di daerah yang mengandung banyak peninggalan purbakala. Sekitar 150 meter dari masjid ke arah utara, di tepi jalan raya terdapat sebuah gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda. Kini gereja itu telah hancur akibat konflik agama yang meletus di Ambon tahun 1999 lalu. Selain itu, 50 meter dari gereja ke utara, berdiri dengan kokoh sebuah benteng tua "New Amsterdam". Benteng peninggalan Belanda yang mulanya adalah loji Portugis. Benteng New Amsterdam terletak di bibir pantai ini dan menjadi saksi sejarah perlawanan para pejuang Tanah Hitu melalui Perang Wawane (1634-1643) serta Perang Kapahaha (1643-1646).

"Masjid ini memiliki nilai historis arkeologis yang penting. Didalamnya terpancar budaya masa lalu sehingga perlu kita lestarikan," kata Pejabat Negeri Kaitetu, Yamin Lumaela, di rumah Raja Negeri Kaitetu. Lumalea berharap, keberadaan Masjid Wapauwe beserta beberapa peninggalan sejarah Islam lainnya yang sudah tua, bisa menjadi salah satu wilayah atau daerah tujuan wisata di Kepulauan Maluku.

"Sebelum kerusuhan banyak wisatawan yang datang kemari. Kondisinya berubah saat konflik. Sekarang pengunjungnya sangat kurang," ungkapnya. Berdirinya Masjid Wapauwe di Negeri Kaitetu tidak terlepas dari hikayat perjalanan para mubaligh Islam yang datang dari Timur Tengah membawa ciri khas kebudayaannya ke dalam tatanan kehidupan masyarakat yang mendiami bagian utara Pulau Ambon, yakni jazirah Hitu yang dikenal dengan sebutan Tanah Hitu. Ciri khas ini kemudian melahirkan satu peradaban yang bernuansa Islam dan masih bertahan dilingkungan masyarakat setempat hingga saat ini seperti, budaya kesenian (hadrat), perkawinan, dan khitanan.

Mulanya Masjid ini bernama Masjid Wawane karena dibangun di Lereng Gunung Wawane oleh Pernada Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Kedatangan Perdana Jamilu ke tanah Hitu sekitar tahun 1400 M, yakni untuk mengembangkan ajaran Islam pada lima negeri di sekitar pegunungan Wawane yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly, yang sebelumnya sudah dibawa oleh mubaligh dari negeri Arab. 

Masjid ini mengalami perpindahan tempat akibat gangguan dari Belanda yang menginjakkan kakinya di Tanah Hitu pada tahun 1580 setelah Portugis di tahun 1512. Sebelum pecah Perang Wawane tahun 1634, Belanda sudah mengganggu kedamaian penduduk lima kampung yang telah menganut ajaran Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Merasa tidak aman dengan ulah Belanda, Masjid Wawane dipindahkan pada tahun 1614 ke Kampung Tehala yang berjarak 6 kilometer sebelah timur Wawane. Kondisi tempat pertama masjid ini berada yakni di Lereng Gunung Wawane, dan sekarang ini sudah menyerupai kuburan.

Dan jika ada daun dari pepohonan di sekitar tempat itu gugur, secara ajaib tak satupun daun yang jatuh diatasnya. Tempat kedua masjid ini berada di suatu daratan dimana banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Itulah sebabnya masjid ini diganti namanya dengan sebutan Masjid Wapauwe, artinya masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu.

Pada tahun 1646 Belanda akhirnya dapat menguasai seluruh Tanah Hitu. Dalam rangka kebijakan politik ekonominya, Belanda kemudian melakukan proses penurunan penduduk dari daerah pegunungan tidak terkecuali penduduk kelima negeri tadi. Proses pemindahan lima negeri ini terjadi pada tahun 1664, dan tahun itulah ditetapkan kemudian sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu.

PINDAH SECARA GAIB

Menurut cerita rakyat setempat, dikisahkan ketika masyarakat Tehala, Atetu dan Nukuhaly turun ke pesisir pantai dan bergabung menjadi negeri Kaitetu, Masjid Wapauwe masih berada di dataran Tehala. Namun pada suatu pagi, ketika masyarakat bangun dari tidurnya masjid secara gaib telah berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di tanah Teon Samaiha, lengkap dengan segala kelengkapannya. "Menurut kepercayaan kami (masyarakat Kaitetu, red) masjid ini berpindah secara gaib. Karena menurut cerita orang tua-tua kami, saat masyarakat bangun pagi ternyata masjid sudah ada," kata Ain Nukuhaly, warga Kaitetu. Sementara itu, kondisi Mushaf Nur Cahya beserta manuskrip tua lainnya tampak terawat meskipun sudah mengalami sedikit kerusakan seperti berlobang kecil, sebagian seratnya terbuka dan tinta yang pecah akibat udara lembab. 

Menurut Rahman Hatuwe, ahli waris Mushaf Nur Cahya, kerusakan tersebut akibat faktor kertasnya yang sudah tua, debu, kelembaban udara serta insek (hewan) kertas. Dia menambahkan, pihaknya pernah mendapat obat serbuk (tidak disebutkan namanya) untuk menjaga keawetan manuskrip-manuskrip tua ini, hanya saja obat tersebut sudah habis.

"Alquran Nur Cahya ini masih jelas, dan waktu-waktu tertentu saya masih sering membaca (ayat-ayat suci Alquran dari Mushaf ini, red) seperti pada waktu Ramadan sekarang ini," kata Rahman yang adalah keturunan VIII Imam Muhammad Arikulapessy. (detiknews.com).