Rabu, 29 Februari 2012

Masjid Kiai Gede Kotawaringin, Tertua di Kalimantan Tengah

Masjid Kyai Gede Kotawaringin, masjid tertua di provinsi Kalimantan Tengah.

Masjid Jami Kiai Gede di Kotawaringin merupakan masjid tertua di propinsi Kalimantan Tengah warisan dari kesultanan Kotawaringin. Kesultanan Kotawaringin merupakan kesultanan pertama dan satu satunya yang pernah berdiri di wilayah propinsi Kalimantan Tengah. Nama Kiai Gede yang menjadi nama masjid ini merupakan nama dari nama seorang Ulama dari tanah jawa yang berjasa menyebarkan Islam di Kotawaringin.

Masjid tua dari kayu ulin yang masih berdiri kokoh dan menjalanakan fungsinya dengan baik hingga hari ini. Kesultanan Kotawaringin awalnya merupakan sebuah kepangeranan yang menjadi bagian dari Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan. Wilayah Kesultanan kotawaringin kini masuk dalam dalam wilayah administrasi Kabupaten Kotawaringin Barat yang berpusat di Kota Pangkalan Bun, Propinsi Kalimantan Tengah.

Masjid Kiai Gede Kotawaringin

Lokasi Masjid Kiai Gede

Masjid Kiai Gede berada di desa Kotawaringin Hulu, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Sekitar 61km menyusuri sungai Limandau dari kota Pangkalan Bun (ibukota kabupaten Kotawaringin Barat), Kota Pangkalan Bun sendiri berjarak sekitar 449Km dari Palangkaraya ibukota propinsi Kalimantan Tengah. Pada pencitraan satelit tahun 2002 di google earth lokasi masjid ini masih belum terlihat jelas, Selain kualitas foto penginderaan nya yang masih beresolusi rendah ditambah dengan gumpalan awan menutupi lokasi nya.

Masjid Kiai Gede menghadap Sungai yang membelah Kota Waringin Barat karena sarana angkutan air masih menjadi pilihan utama. Kontruksi kayu pilihan dan pondasi panggung memungkinkan bangunan lebih tahan menghadapi perubahan cuaca. Arsitektur yang dipilih bersusun, meski tidak sama persis dengan Masjid Agung Demak, namun memiliki struktur yang sama.


Sejarah Masjid Kiai Gede

Masjid Jami Kiai Gede di bangun tahun 1632 Miladiyah yang bertepatan dengan tahun 1052 Hijriyah. Saat itu Kerajaan Banjarmasin yang membawahi Kasultanan Kotawaringin dengan pemerintahan dipegang Pangeran Adipati Muda (1010-1055 H). Jauh sebelum masuknya kaum imperialis kolonial Belanda, Kotawaringin merupakan wilayah kerajaan/kesultanan.

Menurut catatan sejarah kota berdasarkan penanggalan Hijriyah berturut-turut tampil sebagai pemimpin, Pangeran Adipati Antakusuma (893-908 H), Pangeran Mas Adipati (908-939 H), Pangeran Penembahan Anom (939-954 H), Pangeran Prabu (954-1010 H), Pangeran Adipati Muda (1010-1055 H), Pangeran Penghulu (1055-1095 H), Pangeran Ratu Begawan (1095-1162 H), Pangeran Ratu Anom Kusuma Yuda (1162-1225 H).

Masjid Kyai Gede Kotawaringin.

Pangeran Ratu Imanuddin (1225-1275) atau sekitar tahun 1814 Miladiyah pusat pemerintahan yang semula di Kotawaringin dipindahkan ke Pangkalan Bun. Di pusat pemerintahan yang baru ini Pangeran Ratu Imanuddin membangun istana yang megah dan bernama Istana Indra Kencana.

Pangeran Ahmad Hermansyah (1275-1281 H), Pangeran Anom Kesuma Udha (1281-1323 H), Pangeran Ratu Sukma Negara (1323-1333 H). Pangeran Ratu Sukma Alamsyah memerintah setelah mengalami masa kekosongan pada tahun 1914-1939 Miladiyah. Setelah mangkat beliau digantikan Pangeran Ratu Anom Alamsyah yang memerintah tahun 1939-1947 Miladiyah.

Ketika Kerajaan Majapahit memerintah di Tanah Jawa, daerah ini menjadi bagian wilayah kekuasaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh dan digantikan Kasultanan Demak Bintoro bergantilah penguasa, demikian halnya dengan Kerajaan Banjarmasin pernah menguasai daerah ini.

Masjid Kyai Gede Kotawaringin.

Kiai Gede Dan Demak Bintoro

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Kiai Gede adalah seorang ulama dari Kesultanan Demak, beliau pernah berguru kepada Sunan Giri di Gresik, beliau dan para pengikutnya yang setia berangkat ke pulau Kalimantan sekitar tahun 1591 M. Ketika itu Kasultanan Banjarmasin dibawah perintahan Sultan Mustainubillah raja keempat yang memerintah tahun 1650-1678 Miladiyah.

Namun demikian, sejarah yang menyebutkan bahwa Kiai Gede merupakan utusan dari Kesultanan Demak tampaknya perlu di klarifikasi ulang mengingat tahun keberangkatan Kiai Gede ke Pulau Kalimantan di tahun 1591M terjadi 23 tahun setelah berahirnya Kesultanan Demak. Sejarah mencatat bahwa Kesultanan Demak dimulai dengan dilantiknya Raden Fatah sebagai Sultan Demak pertama pada tanggal 12 Robiul awal tahun Caka 1425 (28 Maret 1503 M) setiap tanggal tersebut selalu diperingati sebagai hari jadi kota Demak.

Raden Fatah memerintah di Demak dari tahun 1478 M – 1518M, dilanjutkan oleh Sultan kedua Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (1518M – 1521M). Lalu dilanjutkan oleh Sultan Trenggono (1521M – 1546M) sekaligus menjadi sultan terakhir di Kesultanan Demak. Setelah itu terjadi perebutan kekuasaan antar anggota keluarga antara Aryo Penangsang dan Jaka Tingkir yang dimenangkan oleh Jaka Tingkir. Tahun 1568 Jaka Tingkir mendirikan Kerajaan Pajang menandai berahirnya sejarah Kesultanan Demak.

Masjid Kiai Gede dengan atapnya yang bersusun tiga mirip dengan Masjid Agung Demak, struktur atap seperti ini kini sudah menjadi ciri khas masjid masjid khas Indonesia.


Kesultanan Banjar (selaku kesultanan Induk dari kesultanan kotawaringin) memang pernah menjadi kesultanan bawahan dari Kesultanan Demak di masa pemerintahan Pati Unus (1518M – 1521M) sebelum penaklukan Malaka, Kesultanan Banjar menjadi kesultanan pembayar Upeti kepada Kesultanan Demak. Namun berdirinya kesultanan kotawaringin berikut Masjid Kiai Gede jauh setelah berahirnya era kesultanan Demak, namun memang sulit untuk menyimpulkan ditambah lagi dengan sejarah masjid ini yang senantiasa dihubung hubungkan dengan Kesultanan Demak bahkan beduk di masjid ini pun disebut sebagai hadiah dari kesultanan Demak.

Kiai Gede dan Masjid Kesultanan Kotawaringin

Kiai Gede tiba di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV, Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah (1595-1642). Namun lagi lagi terdapat selisih antara tahun keberangkatan Kiai Gede di tahun 1591M dengan masa kekuasaan Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah 1595-1642. Namun semua sumber menyebutkan bahwa kedatangan Kiai Gede di Kesultanan Banjar di Masa Kekuasaan Sultan Mustain Billah.

Sulit untuk menyimpulkan atau menduga duga, apakah memang butuh waktu 4 tahun untuk menempuh perjalanan laut dari Demak ke Banjarmasin, atau memang beliau dan rombongan tidak langsung menuju Banjarmasin tapi singgah dan menetap dulu ke beberapa tempat yang lain atau mungkin ada hal lain yang dapat menjelaskan selisih angka tahun tersebut.

Masjid Kiai Gede kini sudah menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi dibawah UU No. 5 Tahun 1992.

Disebutkan bahwa kedatangan Beliau diterima dengan baik di Kesultanan Banjar. Sultan Banjar menugaskan Kiai Gede untuk menyebarkan ajaran Islam di Kotawaringin, sekaligus merintis pendirian sebuah kasultanan baru. Kelak Kiai Gede yang berjasa menyebarkan ajaran Islam mendapat kedudukan sebagai Adipati di Kotawaringin dengan pangkat Patih Hamengkubumi yang bergelar Adipati Gede Ing Kotawaringin.

Bersama para pengikutnya Kiai Gede membangun Kotawaringin dari belantara menjadi sebuah kawasan pemukiman, berawal dari 40 orang yang dikirim dari Kasultanan Banjarmasin terus berkembang dan sampai sekarang menjadi salah satu daerah hunian yang maju. Setelah pembangunan cukup untuk sebuah kawasan pemukiman tahun 1680 Miladiyah ketika pemerintahan dipegang Pangeran Adipati Antakusuma, Kiai Gede dikukuhkan menjadi adipati yang berkedudukan di Kotawaringin. Sejak saat itu perkembangan masyarakat muslim terus maju sampai sekarang menjadi salah satu wilayah pemukiman yang terus berkembang.

Arsitektur khas

Masjid Jami Kiai Gede terbuat dari bahan kayu pilihan, kayu ulin yang memungkinkan bertahan untuk jangka waktu lama. Pondasi bangunan dirancang menggunakan bahan yang tahan cuaca, untuk menghindari lapuk dimakan usia tiang-tiangnya tidak ditanam melainkan diletakkan di atas mangkuk terbuat dari kayu ulin, khas Kalimantan.

Masjid Kyai Gede dengan beberapa papan pengumuman tentang cagar budaya.

Bangunan masjid dikelilingi pagar kayu setinggi ± 1,25 cm, berdiri pada halaman seluas 900 m2. Denahnya berbentuk bujur sangkar berukuran 15,5 × 15,5 m, dengan tipe joglo. Masjid ini merupakan rumah panggung/kolong dengan ketinggian ± 1,5 m dari permukaan tanah. Lantai dan dinding terbuat dari kayu ulin. Untuk masuk ke dalam ruangan dipergunakan tangga yang terbuat dari kayu di samping bangunan. Di dalam bangunan terdapat 36 buah tiang yang terdiri dari tiga jenis yaitu:

1.Tiang 20 ini sebagai penguat dinding/penyangga. Tiang utama (soko guru) berjumlah empat buah terdapat di tengah ruangan. Bentuk-nya segi delapan dan pada keempat sisinya penuh dengan ukiran ber-matif sulur-sulur dan spiral.Tiang berdiri di atas umpak yang ber-bentuk kelopak bunga teratai.

2.Tiang dengan bentuk silinder (bulat) berjumlah 12 buah ukuran-nya lebih kecil dari tiang soko guru, tidak berukir. Pada bagian tengah bulatannya lebih kecil dari bagian bawah dan atas, juga. berdiri di atas umpak lebih sederhana dari umpak sokoguru. Letaknya mengelilingi tiang sokoguru.

3.Tiang yang berjumlah 20 buah merupakan deretan ke dua mengelilingi sokoguru. Bentuk bulat dan lebih kecil dari tiang 12, letaknya menempel pada dinding dalam masdjid. Fungsi tiang 20 ini sebagai penguat dinding/penyangga.

Masjid Kyai Gede dengan pagar kelilingnya yang juga terbuat dari kayu ulin.

Selain tiang dalam bangunan utama terdapat mihrab dan mimbar. Sebagai pelengkap masjid dalam ruangan juga terdapat bedug yang merupakan hadiah dari kerajaan Demak. Ukuran panjang 161 cm dengan garis tengah 58 cm dan digantung dengan rantai besar. Bagian bawahnya terdapat tulisan Jawa Kuno dengan tahun Saka. Pada bagian belakang terdapat bangunan tambahan berukuran 5 × 12 m, tepat di tengah-tengah bangunan induk. Fungsi bangunan mi sebagai tempat jamaah yang terlambat datang. Sebenarnya bangunan ini untuk jamaah wanita.

Dinding terbuat dan kayu dengan lubang angin di bagian atasnya. bangunan mempunyai atap seperti atap puncak bangunan induk. Di muka masjid ada bangunan kecil untuk tempat wudhu. Pelengkap masjid lain adalah jam penunjuk waktu shalat yang terbuat dari kayu dan berupa tugu. Atap bangunan merupakan atap tumpang tiga dari bahan sirap. Di antara tingkatan atap terdapat dinding dari kayu. Pada atap ke tiga bentuk seperti kerucut dan di puncaknya terdapat hiasan bunga tiga tangkai. Di bagian bawah atap, bagian ujungnya ada hiasan sulur. Antara atap ke dua dan ke tiga pada ujung bawah dinding atap tingkat dua terdapat tiang sebagai penyangga atap teratas dilengkapi alat pengeras suara untuk mengumandangkan adzan.

Perbaikan Masjid Kiai Gede

Masjid Kiai Gede telah mengalami tiga kali perbaikan yaitu tahun 1951 dilakukan penambahan bagian teras, atap sirap dengan dana swadaya dari masyarakat setempat dan dibantu oleh para jamaah masjid. Perbaikan kedua pada bagian mimbar tahun 1968. Tahun anggaran 1980/1981-1985/1986 dilaksanakan pemugaran oleh Bidang Permuseuman Sejarah dan Keprubakalaan Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi Kalimantan Tengah melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan peninggalan Sejarah dan Purbakala Kalimantan Tengah.***

Referensi
 
Yamp.or.id - Masjid Kiai Gede menjadi monumen hidup bagi masyarakat muslim.
aci.detik.travel - Kesultanan Islam Pertama di Kalimantan Tengah