Senin, 02 April 2012

Masjid Jami’ Al-Riyadh Kwitang – Jakarta

Menara Masjid Al Riyadh Kwitang.

Di wilayah Kwitang, Jakarta Pusat, diantara jalanannya yang sempit, ada dua lokasi yang menjadi salah satu pengukir sejarah perkembangan Islam di Jakarta dan tanah air secara keseluruhan sejak dari era Jakarta masih bernama Batavia semasa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang hingga era Jakarta di masa kemerdekaan. Dua lokasi tersebut adalah Majelis Ta’lim Kwitang sekaligus Islamic Center Indonesia dan Masjid Jami’ Al-Riyadh yang keduanya tak bisa dilepaskan dari Habib Ali Alhabsyi Bin Habib Abdurrahman Alhabsyi atau lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai Habib Kwitang.

Majelis Ta’lim Kwitang dipercaya sebagai majelis Ta’lim tertua di Indonesia dan masih aktif dengan ribuan jemaah, yang tidak saja menjadi motor penggerak syiar Islam tapi juga menjadi motor penggerak pergerakan kemerdekaan di tanah air. Begitu banyak tokoh pergerakan kemerdekaan nasional yang lahir maupun bersinggungan langsung dengan majelis ini hingga para pimpinan negara sejak dari Proklamator Kemerdekaan, Bung Karno sampai ke presiden Republik Indonesia saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono pun memberikan perhatian besar kepada Majelis ilmu yang begitu melegenda ini. Masjid Jami Al-Riyadh menjadi salah satu warisan dari Habib Kwitang yang senantiasa dipadati jamaah, masjid yang menjadi tempat peristirahatan terahir Habib Kwitang.

Masjid Jami' Al-Riyadh di Jalan Kembang IV Kwitang.

Alamat dan Lokasi Masjid Al-Riyadh Kwitang

Jl. Kembang VI RT 001 RW 02 Kwitang, Senen
Jakarta Pusat 10420, DKI Jakarta - Indonesia
Telp : (021) 31905369 ‎
Koordinat : 6°11'0"S   106°50'17"E




Sekilas Sejarah Kwitang

menara masjid Al-Riyadh menjulang di antara atap pemukiman warga.

Kwitang d
i Jakarta memiliki dua konotasi, pertama nama kampung sekaligus nama kelurahan yang ada di Jakarta Pusat. Nama ini berasal dari nama orang Cina yang kaya raya bernama Kwik Tang Kiam. Kwik Tang seorang tuan tanah yang kaya dan hampir semua tanah yang terdapat di daerah tersebut adalah miliknya. Kwik Tang merniliki seorang anak tunggal yang mempunyai sifat yang tidak baik, dia suka berjudi dan mabok. Setelah Kwik Tang meninggal semua tanah milik bapaknya ini habis terjual dan banyak yang dibeli oleh saudagar keturunan Arab. Sehingga sampai sekarang daerah ini disebut Kwitang dan banyak keturunan Arab yang tinggal di kampung Kwitang.

Dan kedua, aliran baru dalam silat perpaduan antara silat Betawi dan Silat Cina (kuntao). Hal ini merupakan hasil proses akulturasi antara silat Betawi dengan Kuntao Cina. Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, setidaknya sampai tahun 1960-an dikenal sebagai salah satu gudang jago pencak silat di Ibukota. Di antara belasan jagoan terdapat H Muhammad Djaelani, yang lebih dikenal dengan sebutan Mad Djaelani. Ilmu silatnya, Mustika Kwitang, kini diwariskan pada cucunya, sekaligus muridnya, H Zakaria. Ialah yang mengembangkan warisan budaya, hingga jumlah muridnya mencapai puluhan ribu, dan tersebar bukan hanya di seluruh Indonesia, tapi juga di manca negara.

Sejarah Masjid Al-Riyadh Kwitang

Masjid Al Riyadh ditahun 1947. 

Masjid ini didirikan oleh Ali Al Habsyi Sekitar tahun 1356H/1938M. Di tempat inilah Habib Ali bersama murid-muridnya dan penduduk setempat mendirikan sebuah majelis taklim di rumah pribadinya. Tempat tersebut lantas ia beri nama Baitul Makmur. Beberapa tahun berjalan majelis itu diberi nama Unwanul Falakh. Sekitar tahun 1950, bangunan tempat majelis tersebut resmi diberi nama Masjid Al Riyadh. Namun masyarakat sekitar lebih mengenalnya dengan nama Masjid Kwitang. Sedangkan Ali Al Habsyi dikenal masyarakat sebagai Habib Ali Alhabsji seorang tokoh ulama Betawi yang begitu berpengaruh di zamannya.

Sampai tahun 1960-an, Habib Ali selalu mengajar di masjid ini. Ia kemudian membangun Islamic Centre Indonesia di kediamannya, kira-kira 300 meter dari masjid. Masjid ini pada tahun 1963 pernah diresmikan Bung Karno. Oleh proklamator kemerdekaan Indonesia ini, masjid itu diberi nama Baitul Ummah atau kekuatan umat. Tapi kemudian diganti lagi dengan nama semula.

Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, selain digunakan untuk syiar agama Islam, masjid ini dipakai untuk tempat pertemuan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ini tidak mengagetkan karena Ali Al Hasyi adalah salah satu penasehat dan orang kepercayaan Presiden Soekarno. Beliau bagian dari tentara Hisbullah. Suara Jakarta, pelopornya Beliau. Tanpa persetujuannya rakyat sulit bergerak.

Potret Sayid Ali Al Habsi, atau lebih dikenal dengan panggilan Habib Ali Kwitang. Foto dipublikasi tahun 1938 

Mengenal Habib Ali Kwitang

Habib ‘Ali bin ‘Abdur Rahman bin ‘Abdullah bin Muhammad al-Habsyi. Atau lebih dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang, Lahir di Kwitang, Jakarta, pada 20 Jamadil Awwal 1286H / 20 April 1870M. Ayahanda beliau adalah Habib ‘Abdur Rahman al-Habsyi seorang ulama dan dai yang hidup zuhud, sedangkan ibunda beliau adalah seorang wanita sholehah bernama Nyai Hajjah Salmah puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur.

Kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menikah di Semarang. Dalam pelayaran kembali ke Pontianak, ia wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali Kwitang, datang dari Hadramaut lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para sultan dari klan Algadri.

Habib ‘Abdur Rahman meninggal dunia sewaktu Habib ‘Ali masih kecil. Sebelum wafat, Habib ‘Abdur Rahman berwasiat agar anaknya Habib ‘Ali belajar ke Hadhramaut untuk mendalami ilmunya dengan para ulama di sana. Dua tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang yang saat itu masih berusia 11 tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. – sesuai wasiat ayahandanya. Tempat pertama yang dituju adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Alaydrus. Selama 4 tahun, Habib Ali Kwitang tinggal di sana, lalu pada tahun 1303 H/1886 M ia pulang ke Betawi.

Pintu Utama Masjid Jami' Al-Riyadh langsung menghadap ke Jalan Kembang IV Kwitang

Pulang dari Hadramaut, ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya (mufti Batavia, yang juga pernah mengajar di Masjid Jami Annawier – Pekojan), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat, Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan), Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Bondowoso).

Pada tahun 1356H/1938M ia membangun masjid di Kwitang yang dinamakan masjid Ar-Riyadh. Ia mengusahakan pada kawan-kawan dari keluarga Al-Kaf agar mewakafkan tanah masjid itu, sampai ia menulis surat kepada Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin agar berangkat ke Hadramaut untuk berbicara dengan mereka. Setelah Sayyid Abubakar bernegosiasi, akhirnya masjid itu diwakafkan, sehingga tanah itu sampai sekarang tercatat sebagai wakaf pada pemerintah Hindia Belanda. Ukuran tanah masjid itu adalah seribu meter persegi. Habib Ali Habsyi juga membangun madrasah yang dinamakan unwanul Falah di samping masjid tersebut yang tanahnya sekitar 1500 meter persegi dan membayar sewa tanah sebesar 25 rupiah setiap bulan.

Makam Habib Ali Kwitang di Komplek Masjid Jami Al-Riyadh Kwitang.

Habib Ali menunaikan haji 3 kali. Pertama tahun 1311 H/1894 M di masa Syarif Aun, kedua tahun 1343 H/1925 M di masa Syarif Husein, dan ketiga tahun 1354 H/1936 M di masa Ibnu Saud dan pergi ke Madinah 2 kali. Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi wafat 23 Oktober 1968 dalam usia 102 tahun. Ketika itu, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi yang menyiarkan berita duka cita. Ribuan orang berbondong-bondong melakukan takziah ke kediamannya di Kwitang, Jakarta Pusat, yang sekaligus menjadi majelis taklim tempat ia mengajar.

Sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara berdatangan memberikan penghormatan terakhir. Sejumlah murid almarhum dari seluruh Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan luar negeri, juga datang bertakziah. Sebelum jenazah di makamkan di Masjid Ar-Riyadh, yang dipimpinnya sejak ia muda, Habib Salim bin Jindan, yang sering berdakwah bersama almarhum, membaiat Habib Muhammad, putra almarhum, sebagai penerusnya. Ia berpesan agar meneruskan perjuangan almarhum dan memegang teguh akidah Alawiyin.

Ada kisah menarik sebelum almarhum wafat. Suatu hari, ia minta tiga orang kiai kondang asal Jakarta maju ke hadapannya. Mereka adalah K.H. Abdullah Syafi’i, K.H. Thahir Rohili, dan K.H. Fathullah Harun. Habib Ali mempersaudarakan mereka dengan putranya, Habib Muhammad. Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan ribuan jemaah itu, Habib Ali berharap, keempat ulama yang dipersaudarakan itu terus mengumandangkan dakwah Islam.

Presiden SBY bersama Fauzi Bowo (gubernur DKI Jakarta) saat berziarah ke makam Habib Ali  Kwitang setelah hadir di masjelis taklim kwitang dan Islamic Center Indonesia - Kwitang.

Harapan Habib Ali menjadi kenyataan. Habib Muhammad meneruskan tugas ayahandanya memimpin majelis taklim Kwitang selama 26 tahun. K.H. Abdullah Syafi’i, sejak 1971 hingga 1985, memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi’iyah, dan K.H. Thahir Rohili memimpin Majelis Taklim Ath-Thahiriyah. Sedangkan K.H. Fathullah Harun belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia. Ketiga majelis taklim tersebut menjadikan kitab An-Nasaih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi dari Hadramaut, penyusun Ratib Hadad, sebagai pegangan. Sebab, kitab itu juga menjadi rujukan Habib Ali Kwitang.

Arsitektural Masjid Al-Riyadh Kwitang

Masjid Kwitang itu terdiri dari dua lantai dengan sebuah menara besar di sisi kanan bagian depan masjid. Lantai pertama masjid tesebut biasanya digunakan untuk shalat berjamaah seperti biasa, dan saat Ramadhan seperti saat ini, ruangan tersebut juga masih muat menampung jamaah shalat terawih. Sementara lantai kedua, khusus digunakan untuk shalat Ied. Sedangkan dalam kesehariannya di lantai dua ini menjadi tempat penyelenggaraan pendidikan Madrasah yang dikelola oleh Masjid Jami Al-Riyadh.

Interior Masjid Al-Riyadh Kwitang

Tiang tiang besar segi empat mendominasi bangunan masjid tua ini. lokasnya yang berada di tengah pemukiman padat penduduk membuat masjid ini tak memiliki halaman luas layaknya sebuah masjid besar. Pintu utama masjid ini hanya beberapa meter dari jalan raya di depannya. Letaknya yang demikian bahkan sedikit menyulitkan untuk mengambil gambar masjid ini utuh dalam satu frame.

Dibagian dalam masjid terasa lega dengan atap sisi mihrab yang cukup tinggi. Lantai dua masjid berbentuk mezanin dengan menyisakan ruang kosong disisi mihrab. Mihrab masjid ini tidak dipakai sebagai tempat imam karena lokasi sajadah imam berada di depan mihrab bukan di dalam ruang mihrab. Sementara mimbar khatib dibuat dari kayu berukir, bukan sebagai sebuah podium tapi benar benar sebuah mimbar dimana khatib berdiri di puncak tangga tertinggi. Mimbar seperti ini memang lazim digunakan di negara negara timur tengah dan kebanyakan masjid masjid di Indonesia.

Sisi depan Masjid Al-Riyadh dengan pilar pilar besar segi empat

Makam Habib Kwitang

Ada aturan ketat saat berziarah ke makam Habib Kwitang di dalam komplek masjid ini. ditulis dengan jelas disana pesan dari Almarhum Habib Kwitang semasa hidupnya bagi siapa saja yang akan menziarahi makamnya : Wasiat Habib Ali Alhabsy ini dipegang teguh oleh putra beliau K.H.S. Muhammad Bin Ali Alhabsyi semada hidupnya, wasiat tersebut adalah :
  • Jangan taruh tromol (kotak amal) makna nya dilarang memberikan / meletakkan uang dimakamnya
  • Jangan taruh kemenyan, membawa / menaruh air, di area / di atas makam. Maknanya : almarhum tidak ingin dikultuskan / disucikan, apabila umat islam melakukan kekeliruan dalam berziarah ini, maka almarhum ikut pula menanggung dosanya.
  • Kalau ingin memberikan hadiah bacaan Fatihah / Yasin, maknanya almarhum masih mengharapkan bantuan ummat, agar almarhum mendapat ampunan Alloh SWT. 
Madrasah Diniyyah Masjid Jami' Al-Riyadh

Aktivitas Masjid Al-Riyadh Kwitang

Pada masa kemerdekaan sampai era reformasi saat ini, masjid bersejarah ini tetap berdiri kokoh. Selain digunakan untuk berdakwah dan menjalankan ibadah sehari-hari, oleh pengurus dan pengelola, masjid ini dijadikan tempat belajar secara formal. Sebuah sekolah dasar Islam bernama Madrasah Diniyyah Al Riyadh didirikan sekitar tahun 1975. Melalui lembaga pendidikan ini, masyarakat lebih mudah mengenalkan Islam pada putra-putrinya.

Secara umum, kegiatan-kegiatan keagamaan masjid selama Ramadhan hampir sama dengan masjid-masjid yang lain yaitu ceramah keagamaan, terawih, buka puasa bersama, pesantren kilat dan lain-lain. Namun, tradisi khusus yang masih dijaga sampai saat ini adalah setiap malam 25 Ramadhan selalu diadakan Khotmil Qur'an atau khataman Al Qur'an di dalam shalat terawih. Setiap momen tersebut, banyak jamaah dari luar Jakarta, bahkan seluruh Indonesia berdatangan. Ada yang juga dari Surabaya, Blitar, Kalimantan. Acara diadakan dari pukul 21.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB.

Makam Habib Ali Kwitang, Putra & menantunya di komplek Masjid Jami' Al-Riyadh Kwitang.

Masjid Al Riyadh ini sendiri memiliki keunikan yang dapat membedakan dengan masjid-masjid yang lain. Di dalam masjid terdapat makam sang pendiri, Habib Ali Al Habsyi, beserta  putranya, Habib Muhammad bin Al Habsyi dan istri putranya. Keberadaan makam mereka menjadi daya tarik bagi sebagian umat Islam untuk berziarah. Ini salah satu bentuk karamah beliau (Habib Ali). Sudah wafat tetapi dapat memberikan berkah bagi masyarakat sekitar. Dengan banyaknya peziarah, puluhan bahkan ratusan orang bisa berdagang disini.

Foto Foto Masjid Ar-Riyadh Kwitang

Mihrab dan Mimbar di Masjid Al-Riyadh Kwitang.

Interior Masjid Al-Riyadh sisi selatan

Interior Masjid Al-Riyadh sisi utara

Papan Nama Masjid Jami' Al-RIyadh di atas pintu masuk masjid

Papan jadwal sholat, di masjid Jami' Al-RIyadh


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA