Sabtu, 25 Agustus 2012

Masjid Syuhada Kotabaru Jogjakarta

Masjid Syuhada Kotabaru - Yogyakarta dibangun untuk mengenang para syuhada kemerdekaan yang telah gugur dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, juga sebagai kenang kenangan bagi kota Yogyakarta yang pernah menjadi Ibukota Negara sekaligus sebagai ibukota perjuangan Republik Indonesia.

Masjid Syuhada berada di kota Baru, Yogyakarta. Didirikannya Masjid Syuhada ini bertujuan khusus untuk memenuhi kebutuhan Umat Islam untuk beribadah kepada Allah. Dan sebagai monumen untuk memperingati para syuhada (pahlawan yang gugur syahid di medan perang) yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa, mempertahankan kebenaran dan keadilan sebagai tanda mata peninggalan, kenang-kenangan untuk Yogyakarta yang pernah dijadikan sebagai ibukota negara, ibukota perjuangan.

Masjid Syuhada dibangun di atas tanah wakaf dari Kesultanan Ngayokyakarta Hadiningrat, peletakan batu pertama pembangunan masjid ini dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Presiden Soekarno bahkan memberikan sambutan khusus atas pemabangunan masjid ini, tokoh penting Nasional Muhammad Natsir pernah menjadi khatib di masjid ini sementara Muhammad Hatta (Bung Hatta) pernah menyempatkan memberikan kuliah nya disini sepulang dari tanah suci. Tak hanya itu, pembangunan masjid ini turut menarik perhatian muslim dan pemerintah Pakistan yang turut menyumbangkan permadani bagi masjid ini sebagai bentuk persahabatan dan persaudaraan dua bangsa.

dibangun dalam perpaduan arsitektural dengan kubah bawang dan menar menara kecil di atap nya menjadi fitur utama masjid ini. dan di dalam ruang utama masjid terhampar permadani hadiah dari Muslim dan Pemerintah Pakistan.

Lokasi dan Alamat Masjid Syuhada

Masjid Syuhada
Jalan I Dewa Nyoman Oka No. 13 (Kotabaru)
Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta – Indonesia
            
Masjid Syuhada berada di Jalan I Dewa Nyoman Oka No. 13 Kotabaru, Yogyakarta. Saat ini Masjid Syuhada juga mengelola Sekolah Islam dari Taman Kanak Kanak Islam hingga Sekolah Menengah Islam Terpadu yang semuanya bernama Syuhada. 


Sejarah Pembangunan Masjid Syuhada Kotabaru

Pada masa penjajahan Belanda, Kotabaru dihuni oleh orang-orang kulit putih dan orang-orang Indonesia kelas atas/kaya dan berpendidikan tinggi. Suasana Kotabaru adalah merupakan bagian kota yang modern, bersih, sehat namun sama sekali tidak ada masjid di kawasan tersebut. Di masa penjajahan Jepang awal tahun 1942 semua warga kulit putih dan Belanda dipindahkan dari Kotabaru. Rumah-rumah kosong itu lalu ditempati oleh orang-orang Jepang dan sebagian orang-orang Indonesia yang beragama Islam. Saat itu baru muncul kebutuhan suatu tempat ibadah untuk Umat Islam. Dan komposisi penduduk kotabaru kembali berubah di masa kemerdekaan RI, warga Kotabaru menjadi terdiri dari anggota-anggota tentara, pemuda, pelajar muslim dan kebutuhan akan tempat ibadah Umat Islam semakin terasa.

Diakhir tahun 1949, saat Ibu Kota RI di Yogyakarta berlangsung perundingan antara delegasi Indonesia dan Belanda di Gravenhage Belanda. Muncul bayangan pemikiran akan kembalinya Ibu Kota RI dari Yogyakarta ke kota metropolis Jakarta. Maka kemudian timbul keinginan adanya suatu peninggalan, tanda mata dan peringatan untuk Yogyakarta, Ibu Kota perjuangan dan peringatan perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Bangunan peringatan yang sesuai dengan kesucian perjuangan bangsa Indonesia, bukan patung atau tugu / barang mati, melainkan sebuah Masjid Jami’ yang setiap saat tersirat nuansa kehidupan Umat Islam.

Foto sejarah Masjid Syuhada Yogyakarta :: peletakan batu pertama menandai dimulainya pembangunan Masjid Syuhada ini dilakukan langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 23 September 1950 bertepatan dengan hari raya Qurban kedua.

Proses pembangunan masjid Syuhada dimulai pada tanggal 14 Oktober 1949 dengan dibentuknya Panitia Pendirian Masjid Peringatan Syuhada yang disingkat  menjadi Panitia Masjid Syuhada. Menyusul kemudian tanggal 17 Agustus 1950 dilaksanakan penetapan garis kiblat Masjid Syuhada oleh KH. Badawi. Dan sebulan kemudian upacara peletakan batu pertama dilakukan langsung oleh Raja Yogya, Sultan Hamengkubuwono IX selaku menteri pertahanan RI sekaligus sebagai Kepala Daerah Propinsi DIY pada tanggal 23 September 1950/11 Dzulhijjah 1369 bertepatan dengan Hari Raya Qurban kedua.

Pada tanggal 25 Mei 1952 dibentuk secara resmi Yayasan Asrama  dan Masjid Syuhada (YASMA Syuhada). Dan dua tahun setelah peletakan batu pertama yakni pada tanggal 20 September 1952 seluruh bangunan selesai dan dilakukan pembukaan secara resmi yang bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah, 1 Muharram 1372. Selang beberapa hari setelah peresmian diselenggarakan sholat Jum’at pertama di Masjid ini pada hari Jum’at 26 September 1952.

Dulu dan Sekarang :: foto atas adalah lokasi dimana Masjid Syuhada berdiri seperti terlihat pada foto bawah masjid Syuhada berdiri megah disana.

Ibadah Sholat Jum’at pertama tersebut di imami oleh tokoh Nasional Muhammad Natsir, yang sekaligus bertindak sebagai khatib. Setelah itu Wakil Presiden RI Drs. H.M. Hatta yang baru kembali dari menunaikan Ibadah Haji di Mekkah memberikan ceramahnya di ruang aula/kuliah masjid syuhada ini. pembangunan masjid ini rupanya turut menarik perhatian pemerintah dan rakyat Pakistan yang pada tanggal 13 September 1953 menyumbangkan 24 helai permadani buatan Karachi - Pakistan untuk masjid Syuhada.

Pengelolaan Masjid Syuhada

Dengan selesainya pembangunan Masjid Syuhada maka untuk pengelolaan dan penanggungjawab pemakmuran masjid selanjutnya dilaksanakan oleh Yayasan Asrama dan Masjid Syuhada (YASMA SYUHADA) sebagai kelanjutan dari Panitia Pembangunan Masjid Syuhada.  Jabatan Ketua Umum DKM Masjid Syuhada selalu diiberikan kepada pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai waqif tanah dimana Masjid Syuhada didirikan. Saat ini (2008 – 2013) jabatan Ketua Umum diamanahkan kepada H. Kanjeng Raden Tumenggung Djatiningrat (H. Tirun Marwito, SH).

Eksterior Masjid Syuhada dari berbagai sudut.

Dengan tujuan dakwah dan berkontribusi pada dunia pendidikan, maka YASMA SYUHADA membentuk susunan kepengurusan masjid Syuhada yang komposisinya mungkin akan membuat anda tercengang karena berisikan sederet tokoh tokoh Nasional yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Susunan pengurus Masjid Syuhada periode 2008 – 2013 adalah sebagai berikut :

Penasihat : Sri Sultan Hamengku Buwono X êSri Paduka Paku ALam IX êProf. Dr. H. M. Amien Rais, MA êGBPH H. Joyo Kusumo êProf. Dr. H. Moh. Mahfudz MD êKa. Kanwil. DEPAG D. I. Yogyakarta  êdan Wali Kota Yogyakarta.

Pembina : Drs. H. Barmawi Mukri, SH., M.Ag êDr. Ir. H. Harsoyo, M.Sc êProf. H. M. Suyanto, M.Pd., Ph.D  êdan Dr. H. Jawahir Thontowi, SH.

Pengawas : Drs. H. Subowo, M.M êIr. H. Harsoyo M., Dipl.HS êDrs. DIdi Wahyu Sudirman, M.M ê

Eksterior Masjid Syuhada (foto diambil dari berbagai sumber di internet)

Ketua I : Ir. H. Muhammad Hanif, MT
Ketua II : H. E. Zainal Abidin, SH., MS., MPA
Bidang Pendidikan : Ketua, Dr. Ir. H. Hary Sulistyo
Bidang Sarana dan Prasarana : Ketua, Ir. H. Eddy Sofyan H, MT
Bidang Pengembangan Usaha : Ketua, Amir Fansuri, SE
Bidang Ibadah, Keta’miran, Asrama dan Alumni : Ketua, H. Dachwan, M.Si
Bidang Kajian dan Pembinaan Kader : Ketua, Drs. Kusworo, M.Hum
Bidang Kewanitaan : Ketua, Dra. Hj. Yayah Kusiah, M.Pd

Lembaga-lembaga di Masjid Syuhada

Masjid Syuhada Kotabaru Yogya ini juga memiliki sederet lembaga lembaga yang dikelola oleh Masjid, terdiri dari lembaga lembaga pendidikan formal dan non formal yang kesemuanya bernaung dibawah Yayasan Asrama dan Masjid Syuhada (YASMA SYUHADA). Lembaga Lembaga tersebut adalah sebagai berikut :

Interior Masjid Syuhada

Lembaga Pendidikan Formal : Taman Kanak-kanak Masjid Syuhada (TKMS): ± 200 siswa, Sekolah Dasar Masjid Syuhada (SDMS): ± 600 siswa, Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMP-IT MS); sejak 2004: ± 100 siswa, Sekolah Tinggi Agama Islam Masjid Syuhada (STAIMS); terdiri dari dua prodi yaitu: Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI).

Lembaga Non Formal terdiri dari : Lembaga Pendidikan al-Quran Masjid Syuhada (LPQMS) sejak 1952, Pendidikan Anak Masjid Syuhada (PAMS) didirikan 20 Oktober 1953, Pendidikan kader Masjid Syuhada (PKMS) didirikan 20 Nopember 1954, Training Center dan Event Organizer, Corps Dakwah Masjid Syuhada (CDMS), Lembaga Pembinaan Keluarga Sakinah dan Bantuan Hukum (LPKSBH) Masjid Syuhada, Lembaga Amil Zakat Infaq Shodaqoh Masjid Syuhada (LAZIS MS), Baitul Maal Wat Tamwiil Syuhada (BMT Syuhada), Pengajian Putri Masjid Syuhada (PPMS), Kelompok Pengajian Al-Quran (KPA)  Al-Hijrah Masjid Syuhada dan Forum Shoilihat.

salah satu sisi Masjid Syuhada.


Asrama Putra dan Putri : Masjid Syuhada juga mengelola asrama Putera dan Puteri YASMA SYUHADA. Asrama Putra terletak di Jl. I Dewa Nyoman Oka 28 Kotabaru-Yogyakarta 55224 Tlp. 0274-547227 atau tepatnya di sebelah timur Masjid Syuhada.  Asrama putra ini berkapasitas 20 mahasiswa. Asrama putri beralamat di Jl. Pringgokusuman No. 12 berdampingan dengan kampus STAIMS Telp. 0274-514520. Setiap warga yang mondok di Asrama tidak dipungut biaya tetapi sebagai konsekuensinya bertanggungjawab  sepenuhnya atas kegiatan-kegiatan lembaga non-formal.

Program Reguler : Masjid Syuhada juga menyelenggarakan Program Reguler Lembaga-lembaga di Masjid Syuhada termasuk di dalamnya : Studi Islam Efektif, Kajian Keluarga Sakinah, Pelatihan Kader Da’I, Pendidikan Jurnalistik, Pelatihan Bahasa Asing, Training Ustadz/ah TPA, Pelatihan Nasyid dan Pengembangan Masyarakat

Arsitektural Masjid Syuhada Kotabaru

Masjid yang menggabungkan berbagai arsiktektur selain sejumlah perlambang melekat dalam setiap bangunan, di kubahnya mengambil bentuk-bentuk bangunan yang berkembang di Persia, India dan menjadi bagian dari masjid-masjid yang dibangun ketika itu. Kubah bundar di bagian tengah sebagai kubah utama, dikelilingi kubah kecil di empat sudutnya.

Fasad depan Masjid Syuhada. sekilas memiliki kemiripan dengan masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru Jakarta.

Masjid Syuhada Yogyakarta menjadi satu dari saksi sejarah masyarakat muslim dalam memperjuangkan kemerdekaan. Masjid Syuhada menyimpan candrasengkala sekaligus sebagai peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sehingga hal itu digambarkan dalam bagian-bagian penting bangunan masjid ini, seperti 17 anak tangga di bagian depan, delapan segi tiang gapura-nya dan empat kupel bawah serta lima kupel atas.

Keseluruhan bangunan terdiri tiga lantai, ruang bawah untuk ruangan kuliah, dilengkapi 20 jendela yang diharapkan menjadi peringatan atas 20 sifat Allah SWT. Di lantai dua untuk ruang shalat bagi jema’ah perempuan, terdapat dua tiang yang seolah-olah menyangga bangunan yang menggambarkan dua buah iktikad manusia. Sedang di lantai tiga sebagai ruang shalat utama, termasuk shalat Jumat di mihrabnya terdapat lima lubang angin yang memberi gambaran sekaligus mengingatkan kepada masyarakat muslim akan lima rukun Islam.

Program untuk anak anak taman kanak kanak di masjid Syuhada.

Serangan Bom di Masjid Syuhada Kotabaru Yogyakarta

Kamis, 23 Desember 2010 pukul 14.00 WIB sebuah bom rakitan meledak di pekarangan Masjid Syuhada ini, Dari hasil olah TKP, Polda DIY menyimpulkan, bom rakitan tersebut merupakan model bom yang dilontarkan. Saat dilontarkan, bom mengenai pohon, kemudian jatuh di dekat pagar masjid. Cara kerja bom ini mirip dengan mercon dan berjenis low explosive. Saat meledak, bom ini membuat pengurus masjid dan warga sekitar kaget. Mereka lalu berbondong-bondong menuju lokasi ledakan.

Tidak ada korban jiwa dalam ledakan ini. Polisi juga mengamankan barang bukti sisa ledakan berupa pipa aluminium dan pipa paralon dengan diameter 1 inchi dengan panjang sekitar 30 cm. Tidak jelas apa motif dari pelaku pelemparan Bom tersebut. Yang pasti pihak kepolisian meminta warga masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh ulah pihak yang tak bertanggung jawab tersebut.888


Kamis, 23 Agustus 2012

Masjid Al Wustho Mangkunegaran Surakarta

Masjid Al-Wustho, Pura Mangkunegaran, Surakarta

Masjid Al-Wustho merupakan salah satu dari tiga masjid tua dan bersejarah di kota Surakarta, bersama dengan Masjid Darusallam, dan Masjid Agung Surakarta. Pembangunan Masjid Al-Wustho diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara-I (1725-1795) di Praja Mangkunagaran sebagai masjid kerajaan bagi Pura Mangkunagaran dalam menjalankan fungsinya sebagai panotogomo. Lokasi masjid ini sebelumnya berada di wilayah Kauman, Pasar Legi, namun pada masa Adipati Mangkunagara-II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Pura Mangkunagaran.
 
Sebagai masjid kerajaan pada awalnya masjid ini hanya diperuntukkan khusus bagi keluarga kerajaan Pura Mangkunagaran dalam menjalankan ibadahnya. Namun kemudian dalam perkembangannya masjid ini terbuka untuk umum. Nama Al-Wustho pada masjid ini baru eksis sejak tahun 1949, Bopo Penghulu Pura Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi yang memberikan nama tersebut. Meski dibangun dalam bentuk arsitektural khas Jawa dengan reka bentuk masjid Agung Demak, Dalam sejarahnya pembangunan masjid ini sempat melibatkan seorang arsitek dari Prancis.

Lokasi dan Alamat Masjid Al-Wustho

Masjid Al-Wustho Mangkunegaran Solo
Jl RA Kartini 3 RT 003/09, Ketelan, Banjarsari
Solo 57132 Jawa Tengah


Posisi masjid al-Wustho berada di sebelah barat  kompleks istana/Pura Mangkunegaran Surakarta yang dipisahkan dengan jalan R.A. Kartini,  di sisi utaranya bersebelah dengan Sekolah Dasar Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan di sebelah barat masjid merupakan pemukiman penduduk yang cukup padat. Cukup berjalan kaki sekitar 100 meter menuju lokasi masjid ini dari Pura Mangkunegaran.

Arsitektural Masjid Al-Wustho

Dari bentuk arsitektur bangunan, hampir sama dengan bentuk bangunan masjid-masjid Jawa lainnya seperti masjid agung Demak, masjid Agung Keraton Yogyakarta, yang mengambil bentuk gaya arsitektur rumah Jawa dengan atap bangunan teras berbentuk limasan dan atap tumpang untuk bagian atap ruang utama, yang bersusun tiga. Bangunan tersebut mengandung makna filosofis Iman, Islam dan Ikhsan. Yang membedakannya dengan masjid lain adalah adanya markis atau kuncung yaitu semacam pintu utama menuju teras dengan tiga akses pintu masuk, yaitu di sisi kanan atau utara, sisi depan atau timur dan kiri atau selatan, yang pada masing-masing atasnya dihiasi dengan kaligrafi.

Kompleks masjid Al Wustho Mangkunegaran terdiri dari bangunan utama serta bangunan bangunan pendukungnya. Di sebelah selatan terdapat bangunan sekolah Taman Kanak-Kanak Aisyiah Bustanul Athfal yang berhubungan langsung dengan bangunan rumah tinggal keluarga ta’mir atau pengurus masjid. Di sebelah utara terdapat fasilitas Unit Kesehatan Masjid dan tempat tinggal Ta’mir masjid.

Senja di masjid Al-Wustho

Ornamen menarik di masjid Al-Wustho ini berupa nukilan ayat ayat suci Al-Qur'an maupun hadist yang menghiasi beberapa bagian masjid. selain di gapura pertama dan kedua, kaligrafi arab tersebut juga dapat disaksisakan pada pintu pintu masjid, jendela, 4 sokoguru masjid dan 12 soko rowo masjid, markis/kuncungan, soko dan Maligin. Tiap tiap tiang di dalam masjid tersebut dihias dengan kaligrafi. Salah satu nukilan hadist nya berbunyi "siapa yang membangun masjid ini untuk Allah, maka Allah kan mendirikan sebuah rumah untuknya di surga kelak".

Aan Jaelani, dan kawan kawan, peneliti dari Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang melakukan penelitian terhadap inskripsi di Masjid Al-Wustho menemukan bahwa Inskripsi pada masjid Al Wustho berjumlah sekitar 41 buah yang terdiri atas 2 isnkripsi pada gapura (luar dan dalam), 3 inskripsi pada markis/kuncungan (depan, sisi kanan dan sisi kiri), 10 inskripsi pada jendela teras, 9 inskripsi pada pintu, 16 inskripsi pada soko guru di dalam ruang sholat, ditambah 1 inskripsi pada mihrab yang merupakan replica inskripsi pada gapura luar.

Bagian Bagian Masjid Al-Wustho

Luas kompleks masjid Al-Wustho sekitar 4.200 meter persegi dengan batas pagar tembok keliling sebagian besar di muka berbentuk lengkung. Bagian belakang setinggi 3 m, bagian depan dengan bentuk lengkung setinggi 3 m. Gapura depan dihiasi dengan relief tulisan Arab. Bangunan utama masjid terdiri dari ; Serambi, Ruang Shalat Utama, Pawastren dan Maligin. Sedangkan di halaman masjid juga berdiri Tembok Keliling Halaman,  Pintu Gerbang utama, Pintu Gerbang Timur,  Pintu Gerbang Utara,  Markis, Kantor Pengurus Masjid dan Menara.

Detil Masjid Al-Wustho Mangkunegaran

Serambi Masjid
Serambi merupakan ruangan depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan umur Raden Mas Said (Mangkunagara I) ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunagaran. Di bagian timur laut serambi terdapat bedug yang bernama Kanjeng Kyai Danaswara dan kentongan. Ruangan Serambi berukuran 22 m, X 11 m.

Ruang Shalat Utama
Ruang Salat Utama: merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 soko rowo (penyangga pembantu) yang berhias huruf kaligrafi Alquran. Ruang utama untuk shalat berukuran 24 m X 22 m,  Mimbar ukiran untuk berkhotbah diletakkan di dekat mihrab mimbar dengan ukiran khas mataraman. Di bagian depan kaki mimbar yang menghadap ke timur dulunya ada figur dua ekor singa yang bagian kepalanya sudah hilang karena dipotong secara sengaja dengan gergaji. Hal ini dilakukan karena alasan agama yang melarang adanya patung di dalam masjid dan karena adanya keberatan dari beberapa orang jamaah. Sedangkan di pojok ruangan sebelah tenggara dibuat sebuah ruangan untuk menyimpan alat-alat pengeras suara yang dipakai setiap akan mulai shalat rawatib, dan shalat Jum’at.

Pawastren
Pawastren merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat salat khusus wanita. Dahulu sebelum dibangun pawastren tambahan, ada sekat sebagai pemisah tempat shalat untuk wanita. Pawastren ini berukuran 10 m X 7 m. Di dalam ruangan pawastren, ada sebuah ruang gudang serta fasilitas kolah untuk berwudlu wanita dibangun di sebelah timur pawastren.

Interior Masjid Al-Wustho

Maligin
Bangunan Maligin dibangun atas prakarsa Adipati Mangkunagara V (berkuasa 1881-1896), digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunagaran. Sejak pemerintahan Mangkunagara VII (1885-1944), Maligin diperkenankan untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum. Terpisah sedikit dengan pawastren, ada bangunan kecil bundar. Anak yang akan dikhitan di syahadad dulu di serambi masjid.

Tembok Keliling Halaman
Sebagai pembatas antara masjid dengan daerah sekitarnya dibuat tembok yang mengelilingi masjid. Adapun ukuran tembok keliling adalah 260 m, dengan perincian sisi timur 60 m, sisi barat 69 m, sisi utara 70 m, sisi selatan 70 m. Pagar tembok di sebelah barat/belakang, dibuat rata sedangkan di bagian depan/sisi timur dan sisi selatan serta sisi utara, sebagian dibangun dengan hiasan lengkung. Gapura depan bagian luar dan dalamnya dihiasi dengan relief Arab.

Gapura / Pintu Gerbang
Gerbang atau Gapura, gapura berasal dari kata Ghafara yang artinya ampunan Gapura halaman masjid ini dibuat tahun 1917-1918, dengan dinding berhiaskan relief kaligrafi huruf Arab. Ada dua buah pintu gerbang utama, sebelah depan dan sebelah utara dibuat dari jeruji besi.  Pintu Gerbang Timur dengan bentuk lengkungan tinggi dengan hiasan tulisan Arab yang berbunyi: “Al-Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih” serta “Asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah”. Sedang di bagian belakang juga diberi relief Arab. Dan Pintu Gerbang Utara, disediakan untuk masuk masjid bagi orang kampung sekitar masjid sebagai jalan pintas, dengan ukuran lebar 2 m dan tinggi 3 m.

Renovasi Masjid Al-Wustho

Menara
Menara masjid Al-Wustho dibangun tahun 1926 pada masa Mangkunagara VII (1885-1944), Digunakan untuk menyuarakan adzan, pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda. Bangunan menara ini berdiri di depan Kantor Pengurus Masjid  dengan tinggi 25 m dan bergaris tengah 2 m.

Markis
Markis adalah berada di sebelah depan bangunan serambi, merupakan bangunan tambahan dengan ukuran 5 m X 5m.  Markis/Kuncungan berbentuk bujur sangkar dengan lengkungan tembok menyerupai kubah atau gunungan, tempat ini adalah akses utama menuju masjid, dan merupakan batas akhir  bagi kalangan non muslim yang tidak diperkenankan masuk lebih dalam  ke masjid. Bagian depan dan kiri kanan dihias dengan relief Arab yang banyak mengandung makna.

Kantor Pengurus Masjid
Kantor penguru masjid Al-Wustho berada di sebelah utara masjid dengan ukuran 9m X 6m. Di kantor ini  ditempatkan perpustakaan masjid Al-Wustho.

Suasana sholat Idul Fitri di Masjid Al-Wustho

Sejarah Masjid Al-Wustho

pembangunan masjid alwustho merupakan perwujudan dari fungsi pura mangkunegaran sebagai panotogomo yaitu pemerintahan yang tidak hanya berfungsi secara politik melainkan juga berfungsi melaksanakan syiar agama. sebelumnya, masjid Mangkunegaran terletak di wilayah kauman, Pasar legi. karena dirasa jauh dari istana, maka masjid tersebut dipindah oleh KGPAA Mangkunegara-II ke dekat istana pura Mangkunegaran. sebagai masjid resmi pura mengkunegaran, maka pengelolaan masjid ini dilakukan oleh para abdi dalem pura. pada awalnya masjid ini merupakan tempat ibadah khusus bagi keluarga pura namun pada perkembangan selanjutnya masyarakat umum juga diperkenankan untuk beribadah atau sekedar menikmati keunikan arsitekturnya.

Pendirian Masjid Mangkunagaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara-I (1725-1795) di Praja Mangkunagaran sebagai masjid kerajaan dalam menjalan fungsinya sebagai panotogomo atau piñata agama di dalam lingkup wilayah praja Mangkunegaran. Ketika pertama kali dibangun lokasi masjid ini berada di wilayah Kauman, Pasar-Legi, namun pada masa Adipati Mangkunagara-II (berkuasa 1796-1835) dipindah ke lokasinya sekarang ini di wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Pura Mangkunagaran.

Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunagaran terjadi pada tahun 1878 dan selesai tahun 1918 saat pemerintahan Adipati Mangkunagara VII (1885-1944), pada saat itu beliau meminta seorang arsitek Ir. Herman Thomas untuk mendesain bentuk masjid ini. itu sebabnya meski secar keseluruhan masjid ini dirancang dalam arsitektural Jawa namun sentuhan gaya Eropa sangat terasa. Pada tahun 1949 Bopo Penghulu Pura Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi ditahun memberikan nama Masjid Al-Wustho pada masjid Pura Mangkunegaran ini.

suasana ramainya jemaah di masjid ini bakda sholat Idul Fitri

Pengelolaan Masjid al-Wustho

Pengelolaan masjid sejak pertama berdiri dipercayakan kepada para pengurus yang diangkat menjadi Abdi dalem Istana Mangkunegaran, sejak zaman penjajahan Belanda beralih ke penjajahan Jepang berjalan sebagaimana mestinya sebagai Masjid Keraton. Dengan diproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, membawa perubahan-perubahan pula terhadap status masjid. Pengelolaannya diserahkan kepada kementerian Agama dengan suratnya nomor: Pem.50/2/7 tertanggal 12 April 1952, dan putusan Menteri Dalam Negeri nomor: E/23/6/7 tertanggal 14 September 1948.

Dalam keputusan Menteri Agama tahun 1962 disebutkan, bahwa Masjid Al Wustho Mangkunegaran adalah masjid yang diurus dan dipelihara Departemen Agama dengan mengikutsertakan eksponen-eksponen masyarakat. Sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Agama tersebut maka biaya-biaya pengeluaran dibebankan pada anggaran Departemen Agama. Akan tetapi dengan surat Dit. Ura. Islam tanggal 20 Desember 1974 nomor: 117/BKMP/1974, bantuan rutin dari Departemen Agama khusus untuk empat masjid di Kotamadya Surakarta dihentikan sejak tahun 1972/1973.

Hal itu tidak saja berlaku bagi masjid Al-Wustho tetapi juga pada empat masjid yang ada di (Kotamadya) Surakarta. Sejak saat itu pengurus harus mencari sendiri dana untuk biaya operasional masjid Al-Wustho tanpa bantuan dari Departemen Agama, Untuk mencukupi kebutuhan masjid, pengurus harus mencari dana sendiri dengan sekuat tenaga, sementara itu dana diperoleh dari: Kotak amal jama’ah yang dibuka di masjid tiap-tiap sehabis shalat Jum’at, dan dana infaq, shadaqah, dan bantuan-bantuan dari masyarakat secara insidentil. Meskipun pengangkatan pengurusnya disahkan melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah tersebut. ***

Rabu, 22 Agustus 2012

Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta

Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta

Masjid Gedhe Kauman atau juga disebut Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta atau Masjid Kagungan Dalem Karaton Ngayokyakarta Hadiningrat, dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I sebagai masjid sentral yang dibangun di pusat kekuasaan Kesultanan Nyayokyakarta Hadiningrat. Masjid Agung Yogya sekaligus menjadi poros sentral bagi lima Masjid Pahtok Negara Ngayokyakarta Hadiningrat yang dibangun di empat penjuru mata angin, sebagai penanda batas terluar wilayah kesultanan.

Berdiri megah di alun alun utara Yogyakarta, merupakan salah satu bangunan cagar budaya Nasional berdasarkan Monumenten Ordonante 238/1931 dibangun pada hari Ahad 29 Mei 1773 menjadikannya sebagai salah satu masjid tua di pulau Jawa dan Indonesia. Masjid yang sarat dengan sejarah kesultanan Jogja juga sejarah nasional Indonesia. Gerakan Muhammadiyah yang merupakan salah satu organisasi Islam terbesar dan tertua di tanah air lahir di Masjid ini.

Lokasi dan Alamat

Mesjid Gedhe Keraton Yogyakarta
Jalan Alun-alun Utara, Gondomanan
Yogyakarta 55133, Indonesia


Sudah menjadi ciri khas kota pusat kekuasaan kerajaan kerajaan Islam tanah Jawa dengan menjadikan alun alun sebagai titik sentral pusat kekuasaan. Keraton sebagai pusat pemerintahan tempat bertahtanya sang Raja/Sultan berada di sisi selatan alun alun menghadap ke utara, lalu pasar sebagai urat nadi perekonomian, simbol kekuatan ekonomi berada di sisi utara dan Masjid Agung sebagai pusat spiritual berada disisi barat alun alun. Komposisi tata letak semacam ini tidak hanya berada di Jogjakarta. Hampir semua kerajaan jawa memiliki komposisi tata letak semacam ini.

Masjid yang juga dikenal dengan nama Masjid Gede Kauman ini terletak di sebelah barat Alun- Alun Utara yang secara simbolis merupakan transendensi untuk menunjukkan keberadaan Sultan di samping pimpinan perang atau penguasa pemerintahan (senopati ing ngalaga), juga sebagai sayidina panatagama khalifatulah (khalifah Allah) di dunia di dalam memimpin agama (panatagama) di kasultanan.

Sejarah Masjid Gedhe Kauman

Sebagaimana disebutkan dengan jelas pada prasasti pembangunan masjiid yang diletakkan pada tembok pagar menghadap ke Alun alun, Masjid Gedhe Kauman atau Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta ini merupakan Masjid Kagungan Dalem Keraton Yogya.

Pembangunan Masjid Gedhe Kauman dilaksanakan delapan belas tahun setelah berdirinya kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat melalui perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Proses pembangunan-nya dilaksanakan atas perintah dari Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792) dan selesai dibangun pada hari Minggu 29 Mei 1773 sebagai persembahan khusus dari Sultan kepada kaum duafa.

Di bagian sisi selatan masjid bergaya tradisional Jawa ini, terdapat fasilitas mandi dan mencuci untuk kaum dhuafa yang tidak memiliki tempat tinggal. Sultan ingin melihat rakyatnya hidup layak. Bahkan, ketika mereka tinggal di sana, kebutuhan makanan pun akan dipenuhi oleh masjid.

Ekterior Masjid Gedhe Yogyakarta

Selain membangun fasilitas bagi kaum dhuafa, di seputaran masjid juga dibangun fasilitas bagi pengurus masjid. Para ulama, khotib, serta abdi dalem diberi fasilitas perumahan di sekitar masjid yang diberi nama Kauman, yang berarti "tempat para kaum". Sedangkan untuk penghulu keraton dan keluarga, Sultan menyediakan perumahan di sisi utara yang dinamakan Pengulon.

Beliau menunjuk arsitek K. Wiryokusumo untuk merancang masjid ini. dan Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat sebagai penghulu pertama. Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat atau Kyai Muhammad Faqih merupakan saudara ipar dari Sultan Hamengkubuwono I, Kyai Muhammad Faqih menikah dengan putri pertama Ki Derpoyodo sedangkan Sultan Hamengkubuwono I menikah dengan putri ke dua Ki Derpuyudo. Kyai Faqih yang kemudian menyarankan kepada sultan agar diangkatnya para Pathok Kesultanan.

Ekterior Masjid Ghede Kauman Yogyakarta

Pathok yang dimaksud oleh Kyai Muhammad Faqih ketika itu adalah Para ulama yang bertugas memberikan pendidikan moral kepada masyarakat yang dapat mengajar dan menuntun akhlak dan budi pekerti. Kyai Muhammad Faqih sendiri pada ahirnya juga diangkat sebagai Pathok oleh Sultan Hamengkubuwono I. Dan salah satu masjid Pathok Negara Jogya, yaitu Masjid Pathok Negara Taqwa Wonokromo didirikan pertama kali oleh Kyai Muhammad Faqih di atas tanah perdikan pemberian Sultan Jogya.

Dan keseluruhan ada lima Masjid Pahtok yang dibangun di empat penjuru mata angin yakni, Lima masjid pathok tersebut adalah : Masjid Pathok Taqwa Wonokromo dan Masjid Pathok Nurul Huda Dongkelan di selatan, Masjid Pathok Ad-Darojat Babadan di timur, Masjid Jami' An-Nur Mlangi di barat, dan Masjid Pathok Sulthoni Plosokuning di utara. Kelima masjid tersebut di pimpin oleh seorang imam yang juga menjadi perangkat peradilan Keraton Yogya di lokasinya berada dan menginduk kepada Masjid Agung Kauman di Alun Alun Yogya.

yang khas dari Masjid Gedhe Kauman Yogya ::: Ukiran khas Jawa yang begitu indah menghias interior Masjid Ghede Kauman Yogya ini sangat menawan sebagaimana terlihat pada balok balok kayu penyangga atap di foto kiri atas dan pada mimbar masjid foto kanan bawah,  dan layaknya sebuah masjid keraton, masjid Ghede Kauman Yogya ini juga dilengkapi dengan maksura yang merupakan area khsusus untuk Sultan bila sedang sholat di masjid ini seperti pada foto kanan atas. 

Masjid Agung Kauman bersama masjid masjid Pathok Negara menjadi bagian dari masjid Kerajaan sehingga menjalankan fungsi ketakmiran bersama-sama. Kedudukan para imam/pengulu/kyai pengulu masjid juga menjadi anggota al-Mahkamah al-Kabirah (Badan Peradilan Kesultanan Yogyakarta) dalam tingkat Peradilan Agama Islam. Imam Besar Masjid Agung kauman menjadi ketua Mahkamah yang bergelar Kanjeng Kyai Penghulu. Dalam sistem hukum dan peradilan Kerajaan, Sultan tetap memegang kekuasaan kehakiman tertingi.

Masjid Agung Yogya merupakan masjid utama kerajaan yang berfungsi sebagai tempat beribadah, upacara kesagamaan, pusat syiar Islam, dan tempat penegakan tata hukum Islam. Sejak awal mula hingga sekarang Masjid Agung Keraton Yogyakarta merupakan masjid yang sangat penting tidak saja untuk tempat peribadatan umat Islam secara umum, namun juga untuk penyelenggaraan upacara-upacara adat Keraton Yogyakarta.

Rangkaian tradisi di Masjid Ghede Yogyakarta setiap tahun selalu menarik perhatian warga Yogya dan sekitarnya untuk berebut tumpengan yang di arak hingga ke depan Masjid ini. sementara di bulan suci Ramadhan, pengurus masjid menyediakan sajian buka puasa bagi para jemaah seperti pada foto kanan bawah.

Kawasan di sekitar masjid merupakan kawasan pemukiman para santri ataupun ulama. Pemukiman tersebut lebih dikenal dengan nama Kauman dan Suronatan. Dalam perjalanan sejarah Yogyakarta, kehidupan religius di kampung tersebut menjadi inspirasi dan tempat yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya gerakan Muhammadyah pada tahun 1912 M yang dipimpin oleh K.H.Ahmad Dahlan.

Arsitektural Masjid Agung Keraton Yogyakarta

Masjid Agung Keraton Yogya dibangun tak jauh berbeda dengan masjid masjid di tanah jawa yang lebih dulu dibangun sebelumnya, seperti Masjid Agung Demak di kesultanan Demak yang masih eksis hingga kini bersama alun alun dan pasarnya meskipun keraton kesultanan Demak sudah tak bersisa karena dibumi hanguskan oleh penjajah Belanda. Bangunan Masjid Agung Keraton Yogyakarta berada di areal seluas kurang lebih 16.000 meter persegi.

Interior Masjid Ghede Kauman Yogyakarta

Seluruh kompleks Masjid ini dikelilingi oleh pagar tembok tinggi, pada bagian utara dibangun Dalem Pengulon yaitu tempat tinggal Penghulu Keraton dan keluarga Sultan serta kantor pengelola masjid. Abdi dalem pengulon inilah yang membawahi para abdi dalem bidang keagamaan lainnya, seperti abdi dalem pamethakan, suronoto, modin. Disekitar masjid juga dibangun fasilitas bagi para pengurus masjid, ulama dan khatib serta para abdi dalem yang diberi nama Kauman yang berarti "tempat para kaum". Sedangkan di sebelah barat masjid terdapat beberapa makam yang diantaranya adalah makam Nyai Ahmad Dahlan.,

Seperti halnya masjid-masjid lain di Jawa, masjid ini beratap limas bersusun tiga, dalam tradisi Jawa disebut sebagai Tajuk Lambang Teplok, lengkap dengan mastaka/mustoko yang mirip dengan daun kluwih/daun simbar dan gadha di ujung atap tertinggi. Makna daun Kluwih adalah linuwih, atau punya kelebihan yang sempurna, sementara gadha yang berarti tunggal, hanya mengakui ke-esaan Allah SWT. Sistem atap tumpang tiga ini memiliki makna kesempurnaan hidup melalui tiga tahapan kehidupan manusia yaitu, Syariat, Makrifat dan Hakekat.  Keseluruhan struktur atap utama ditopang oleh empat sokoguru utama dari kayu jati Jawa utuh berumur lebih dari 200 tahun berdiri kokoh di ruang sholat utama.

Masjid ini mempunyai dua bagian utama, ruang sholat utama dan serambi Al Makalah Al Kabiroh. Ada juga Pagongan di sebelah utara dan selatan halaman luar masjid yang merupakan tempat gamelan. Setiap bulan Maulid tiba, gamelan ini akan dimainkan mengiringi dakwah para ulama. Jamaah yang datang ke masjid ini diharapkan dapat berbuat baik kepada sesama. Harapan ini sudah muncul ketika pengunjung menginjakkan kaki di depan pintu gerbang masjid, Gerbang yang dikenal dengan nama Gapuro ini berbentuk Semar Tinandu yang melambangkan seorang punakawan yang tugasnya mengasuh, menjaga, dan memberi teladan yang baik. Masjid Agung Jogja dilengkapi lima gerbang untuk memasuki halaman masjid. Dua gerbang di sisi utara dan selatan. Sedangkan gerbang utama yakni Gapuro Semar tinandu berad di sisi timur.

Gerakan Muhammadiyah ::: Organisasi Islam ini tak bisa lepas Sejarahnya dari Masjid Ghede Kauman Yogyakarta. bagi anda para pecinta Film Nasional, anda dapat menikmati kilasan sejarah organisasi ini dan keterkaitannya dengan Masjid Ghede Kauman dari film "Sang Pencerah".

Bangunan serambi masjid berbentuk denah empat persegi panjang. Serambi didirikan di atas batur setinggi satu meter. Pada serambi ini terdapat 24 tiang berumpak batu yang berbentuk padma. Umpak batu tersebut berpola hias motif pinggir awan yang dipahatkan. Atap serambi masjid juga berbentuk limasan.

Pada tahun 1867 terjadi gempa besar yang meruntuhkan bangunan asli serambi Masjid Gedhe Kauman, lalu diganti dengan menggunakan material yang khusus diperuntukkan bagi bangunan keraton. Tidak ketinggalan pula lantai dasar masjid yang terbuat dari batu kali kini telah diganti dengan marmer dari Italia. Pesona dari Masjid Gedhe Kauman terletak pada beberapa keunikan salah satunya pemasangan batu kali putih pada dinding masjid tidak menggunakan semen dan unsur perekat lain.

Samping kiri belakang mihrab terdapat maksura yang terbuat dari kayu jati bujur sangkar dengan lantai marmer yang lebih tinggi serta dilengkapi dengan tombak. Maksura difungsikan sebagai tempat pengamanan raja apabila Sri Sultan berkenan sholat berjamaah di Masjid Gedhe Kauman. Tidak jauh dari mihrab terdapat Mimbar yang berbentuk singgasana berundak sebagai tempat bagi khotib dalam menyampaikan khotbah Jumat. Mimbar dibuat dari kayu jati berhiaskan ukiran indah dengan ornamen floral berwarna emas.

Sebagai Masjid Keraton, Lambang kebesaran Keraton Yogya terpampang Jelas di gerbang utama Masjid Ghede Kauman Yogyakarta ini.

Selain ruang inti masjid induk juga dilengkapi dengan berbagai ruangan yang memiliki fungsi berbeda, seperti pawestren (tempat khusus bagi jamaah putri), yakihun (ruang khusus peristirahatan para ulama, khotib, dan merbot, blumbang (kolam), dan tentu saja serambi masjid. Bagian lain dari kompleks Masjid Gedhe pada masa sekarang adalah KUA, kantor Takmir, Pagongan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan gamelan Sekaten, Pajagan yang dulunya digunakan sebagai tempat prajurit kraton berjaga dan terletak memanjang di kanan kiri gapura, serta regol atau gapura yang berbentuk Semar Tinandu dan merupakan pintu gerbang utama kompleks masjid.

Tak jauh berbeda dengan masjid atau mushalla pada umumnya, menyambut bulan Ramadhan Masjid Gedhe juga menyiapkan rangkaian acara dan takjilan buka bersama yang tiap harinya dikunjungi hingga 600 orang jamaah. Panitia Ramadhan Masjid Gedhe, bahkan terdapat hari khusus dengan menu spesial. "Setiap hari Kamis panitia khusus menyembelih kambing dan menyediakan Gulai Kambing sebagai menu buka puasa". Jika anda bukan penderita tekanan darah tinggi akut, penulis rasa, menu special tersebut patut untuk dicoba dan jangan lupa untuk membawa kamera jika Anda tidak ingin melewatkan wisata religi dari nilai sejarah serta kemegahan yang unik dari arsitektur masjid tertua di Jogja tersebut.***


Masjid Agung Surakarta, Jawa Tengah

Masjid Agung Surakarta - Jawa Tengah

Masjid Agung Surakarta atau Masjid Agung Solo, pada masa lalu merupakan Masjid Agung Negara Keraton Surakarta Hadiningrat, segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan. Semua pegawai pada Masjid Agung merupakan abdi dalem Keraton, dengan gelar dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.

Masjid Agung dibangun oleh Sunan Paku Buwono III tahun 1763M atau 1689 tahun Jawa dan selesai pada tahun 1768. Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.

Lokasi dan Alamat Masjid Agung Surakarta

Masjid Agung Surakarta yang terletak di sebelah barat Alun-Alun Utara Keraton Kasunanan Surakarta bersebelahan dengan Pasar Klewer Surakarta.


Sejarah Masjid Agung Surakarta

Masjid Agung Surakarta merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dari proses perkembangan sejarah Islam di Jawa umumnya dan Keratorn Surakarta Hadiningrat khususnya. Karena seperti kita ketahui bahwa menurut tradisi Islam suatu pusat pemerintahan harus memiliki unsur-unsur antara lain Keraton sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja, Masjid sebagai tempat ibadah utama dan berkumpulnya mukmin, Alun-alun sebagai tempat rakyat bertemu dengan rajanya dan Pasar sebagai tempat kegiatan ekonomi.

Masjid Agung Surakarta merupakan salah satu unsur yang masih tegak dan secara fisik masih dapat dilihat hingga kini. Berdiri megah di sebelah barat alun alun Surakarta bersebelahan dengan pasar Klewer, Masjid Agung Surakarta mulai didirikan oleh Raja Surakarta Paku Buwono III (PB III) pada tahun 1785 M bertepatan dengan 1689 tahun Jawa. Namun menurut Basit Adnan (1996:12) dan Eko Budihardjo (1989:63) masjid ini didirikan pada tahun 1757 dengan acuan bentuk masjid Demak, tepat 12 tahun setelah peristiwa dipindahnya Keraton Kasunanan Surakarta dari Kartasura ke wilayah desa Sala pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana III. (Keraton Surakarta didirikan pada tahun 1745)

Konon disebutkan bahwa kubah (mustoko) Masjid itu pada zaman dulu dilapisi dengan emas murni seberat 7,5 kilogram terdiri dari 192 keping uang ringgit emas. Pemasangan lapisan kubah Masjid itu diprakarsai oleh Sri Susuhunan Paku Buwono VII tahun 1878M atau 1786 tahun Jawa dengan condro sangkolo “Rasa Ngesti Muji ing Allah”.

Gerbang Utama Masjid Agung Surakarta

Namun kubah emas itu sekarang sudah tidak ada lagi, lapisan emas murni itu tidak diketahui secara pasti keberadaannya. Konon, kubah berlapis emas itu juga pernah disambar petir sehingga porak poranda. Sebagian reruntuhannya diambil orang, lainnya, sebagian lagi tak diketahui dimana rimbanya.

Masjid Agung Surakarta pernah mengalami pemugaran. Pemugaran pertama kali dilaksanakan oleh PB IV, kemudian dilakukan penyempurnaan oleh PB VII. Pada tanggal 21 Agustus 1856, dibangun serambi yang maksudnya untuk pertemuan dan pengajian maupun untuk melakukan peringatan hari-hari besar Islam. Selain itu, PB X juga mengadakan perbaikan berupa pembuatan menara untuk adzan, memperbaiki gapuro depan dan tempat wudhu. Gapura masjid ini tadinya berbentuk limasan khas Jawa, namun dibangun ulang  oleh PB X dengan gaya Persia seperti saat ini.

Biaya dalam membangun menara masjid mencapai 100.000 gulden pada tahun 1929 lalu. Tinggi menaranya sekitar 30 meter terbuat dari beton tulang. Untuk penguat pondasinya dipancangkan batang-batang kayu cemara.Pada masa lalu, sebelum dipasangi pengeras suara, muazin mengundangkan adzan langsung dari atas menara tersebut.

Kiri atas : Beduk besar dan kentongan di serambi Masjid. Kanan Atas : Ponpes di Masjid Agung Surakarta. Kiri Bawah : Menara Masjid Agung Surakarta dan Kanan bawah : Kantor pengelola Masjid Agung Surakarta.

Tradisi Sekaten

Di Masjid Agung Surakarta terdapat dua bangsal untuk menyimpan gamelan yang dimainkan setiap Sekaten, atau perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW, terutama pada tanggal 5 sampai 12 Maulud. Setiap kali Sekaten, masyarakat akan berbondong-bondong ke masjid. Mendengar gamelan Sekaten dimainkan, terutama zaman dulu, ibarat kegiatan wajib. Apalagi, gamelan itu hanya dimainkan setahun sekali. Masjid ini juga menjadi pusat penyebaran agama Islam di Surakarta. Bahkan, Sekaten merupakan bagian dari kegiatan penyebaran agama lewat laku budaya di Surakarta.

Sejarah Mudik di Masjid Agung Surakarta

Masjid dan alun-alun Surakarta ini juga punya sejarah besar berkenaan dengan tradisi mudik. Konon, dulu, Mangkunegoro I atau Pangeran Sambernyawa yang bergerilya melawan Belanda, selalu pulang pada saat Idul Fitri untuk shalat Ied di alun-alun Keraton Surakarta. Setelah itu dia akan sungkem meminta maaf kepada orang tuanya.

Ciri khas masjid Agung Surakarta

Kebiasaan Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru masyarakat lain yang mengembara, bahkan kemudian menjadi tradisi hingga kini. Meski begitu, tradisi mudik, kata almarhum budayawan Umar Kayam, sudah mentradisi di masyarakat petani sejak zaman Majapahit. Hanya saja, tradisi itu meluntur dan tak terlalu besar, kemudian menjadi tradisi besar lagi pada masa Pangeran Sambernyawa.

Arsitektural Masjid Agung Surakarta

Bentuk bangunan Masjid Agung Surakarta itu memang menyerupai Masjid Agung Demak. Dengan atap berbentuk atap limasan bersusun. Di dalam ruang sholat utama berdiri kokoh empat soko guru dan 12 saka rawa. Arsitekturnya mengandung filsafat Islam. Atap-atap masjidnya sarat dengan makna. Atap pertama (bagian terbawah) yang lebar, mengandung makna bahwa dalam hidup ini kita harus dapat ngayomi (melindungi) umat menjalankan perintah agamanya.

Atap kedua yang agak sempit bermakna bahwa perlindungan terhadap umat pilihan yang JUMLAHNYA SEDIKIT, artinya sudah menuju jalan kesempurnaan. Sedangkan atap ketiga yang teratas melambangkan ilmu hakekat, yaitu gambaran bagi umat yang paling atas tingkatannya yaitu KEKASIH ALLAH atau “mukhibbin”. Mereka ini orang yang benar-benar “muttaqien” menjauhi larangan dan menjalankan segala perintah Allah SWT.

Ratusan Abdi Dalem mengikuti prosesi Malem Selikuran di Masjid Agung Surakarta, Rabu (8/8/2012) malam. Malem Selikuran digelar untuk menyambut malam ke-21 bulan Ramadhan, dan dimeriahkan dengan parade lampion mengelilingi komplek Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Secara keseluruhan Masjid Agung Surakarta ini terdiri dari beberapa bagian yaitu : Serambi yang mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung. Pawestren, (tempat salat untuk wanita) dan Balai Musyawarah, Tempat berwudhu, Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW).

Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Salat Jumat dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta. Gedung PGA Negeri, didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono X (1914) dan menjadi milik kraton. Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India. Didirikan pada tahun 1928. Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung.

Awalnya Masjid Agung Surakarta (kanan bawah) dibangun tanpa menara seperti halnya Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta (kiri bawah). Menara tunggal yang kini berdiri anggun disamping masjid Agung Keraton Surakarta (foto atas) dibangun belakangan oleh raja berikutnya.

Pagar tinggi dibangun mengelilingi masjid ini dengan pintu gerbang di depan dan dua pintu samping kanan dan kiri dibangun pada masa Sunan Paku Buwono VIII tahun 1858. Bangunan masjid dibuat secara berurut dengan elevasi (pembedaan tinggi) lantai dan keluasannya yaitu : teras, serambi, ruang utama. Secara umum bentuk yang muncul adalah wujud arsitektur Jawa. Ruang utama berdenah persegi empat dengan sisi yang hampir sama dengan 4 (empat ) soko guru berbentuk silinder dilengkapi 12 penanggap. Blandar dibuat secar polos dengan hiasan saton pada plafonnya.

Di sayap kiri dari ruang utama terdapat pawestren yang dipisah atau disekat dengan dinding permanen dari batu bata. Sedangkan di sayap kanan terdapat ruang untuk aktifitas keagamaan yang lain. Pada ruang serambi, teradapat 40 buah tiang dengan hiasan tradisional putri mirong, dan kaligrafi. Sedangkan di teras bawah terdapat 20 tiang batu bata yang dibuat dengan bentuk doric dan kearah depan disambung dengan tratag rambat yang berbentuk kuncung. Akses hubungan dari masing-masing ruang disediakan tangga antara serambi bawah dan serambi utama.

Sedangkan dari serambi utama ke ruang sholat utama terdapat 7 buah pintu. Motif floral diterapkan pada 3 pintu utama di tengah, 2 bermotif flora dan sisanya 2 pintu dibuat polos. Secara keseluruhan finishing ruang didominasi dengan warna biru laut yang diterapkan pada bagian-bagian yang terbuat dari kayu. Seluruh pilar dan bahan bangunan masjid ini menggunakan kayu jati yang sudah sangat tua dari hutan Donoloyo (Alas Donoloyo).

Sebagian kecil detil ornamen Masjid Agung Surakarta ::: Kiri Atas, Lambang Kerajaan Kasunanan Solo di gerbang utama Masjid Agung Surakarta, Kanan Atas : Puncak Menara tunggal Masjid Agung Surakarta yang sangat khas. Kiri Bawah : detil salah satu ubin di Masjid Agung Surakarta. Kanan Bawah : Lukisan kaligrafi di salah satu soko rowo Masjid Agung Surakarta.

Ubin hias di Masjid Agung Surakarta

Masjid Agung Surakarta ini dihias dengan cukup indah menggunakan berbadai ragam ubin hias, jika dihitung, terdapat 20 jenis ragam hias pada bahan ubin yang digunakan baik di bagian luar dan bagian dalam. Untuk di bagian luar hingga kini masih terpelihara dengan baik, sedangkan yang bagian dalam sudah digantikan dengan marmer putih dan disisakan beberapa lembar saja di bagian sudut tenggara ruang sholat utama. Sebenarnya jenis ragam hias itu juga terdapat di bangunan-bangunan di dalam keraton atau rumah-rumah saudagar kaya di sekitar keraton hingga Laweyan. Namun untuk disatukan dalam upaya memperindah ruang-ruang di masjid, hanya pada masjid inilah kita temukan.

Gapura Masjid Agung Solo

Bangunan gapura ini pada awalnya berbentuk limasan, kemudian pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana X diganti dengan bangunan berbentuk arsitektur Persia. Gapura Gapura masjid Agung Surakarta selesai dibangun pada tanggal 6 Mulud 1831 tahun Je atau 1901 Masehi. Pembangunan gapura ini menghabiskan dana 100.000 gulden. Berukuran panjang ± 25 meter, tinggi ± 10 meter, dengan ketebalan ± 2 meter. Posisinya membujur dari utara ke selatan sejajar dengan tampak depan masjid.

Gapura ini menjadi akses utama ke area masjid selain 2 (dua) gapura di sisi selatan yang merupakan akses dari pasar Klewer dan sisi utara yang merupakan akses dari kampung Kauman. Gapura ini dihubungkan dengan gapura di sisi utara dan selatan dengan pagar dinding batu bata setinggi 2,5 meter. Gapura ini juga berfungsi membatasi area halaman masjid dengan area luar, dimana dapat dilihat dari adanya 3 (tiga ) akses pintu yang dilengkapi dengan daun pintu berupa teralis besi.

kiri atas : Jemaah sedang bersiap siap untuk berbuka dengan ta'jil di Masjid Agung Surakarta. Kiri Atas : Anak anak sekolah yang sedang mengikuti program MOS dengan berkunjung ke Masjid Agung Surakarta. Kiri Bawah : Dua pekerja sedang sibuk melakukan perbaikan di Masjid Agung Surakarta. Kanan Bawah : Puluhan Jemaah tidur siang di serambi Masjid Agung Surakarta, meskipun sebenarnya ada amaran yang jelas dipasang disana "dilarang tidur di serambi masjid".

Fisik bangunan dibuat dari batu bata yang kokoh dengan finishing cat tembok warna krem tidak bertekstur. Di atas pintu utama terdapat relief simbol Kraton Kasunanan Surakarta yang terbuat dari besi, sedangkan di atas dua pintu samping terdapat kaligrafi bertuliskan do’a masuk dan keluar dari masjid. Pada bagian atas terdapat jam dinding dengan dikelilingi relief bintang. Sedangkan pada tiap pilar, puncaknya dibuat dengan bentuk kuluk (topi) dan buah keben terbalik.

Jam Istiwa’ (Jam Matahari) di Masjid Agung Surakarta

Jam istiwa' atau jam Matahari dulunya digunakan sebagai penunjuk waktu sholat berdasarkan bayangan sinar matahari. Jam Istiwa’ Masjid Agung Surakarta berada di bagian kiri halaman Masjid Agung atau di depan kantor tata usaha masjid. Kondisi jam yang berusia hampir seratus tahun ini cukup terawat. Dipasang di atas tembok kokoh dan ditutup dengan kaca bening terbuka sehingga setiap saat bisa dilihat oleh siapapun. Jam matahari ini dibuat tahun 1926, pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X, bertepatan dengan ulang tahun raja ke 64 tahun.

Kitab Kuno Masjid Agung Surakarta

Masjid Agung Surakarta ini juga memiliki koleksi berharga berupa 67 kitab kuno yang sudah berumur ratusan tahun yang membutuhkan perhatian lebih untuk mengkonservasinya dari kerusakan. Di antara koleksi kitab kuno itu yang bernilai tinggi. Antara lain, Al Quran yang ditulis tangan yang dibuat sekitar tahun 1800-an, kitab berisi kumpulan hadis, dan kitab Ihya Ulumuddin yang menggunakan huruf Arab gundul. Kitab-kitab kuno tersebut saat ini disimpan dalm dalam sebuah lemari kaca yang ditempatkan di ruang perpustakaan masjid.

Ustad Ahmad Al Habsyi menyampaikan tausiah dalam tabligh akbar di Masjid Agung, Solo, Senin (15/8/2011).Kegiatan tersebut diikuti seribuan peserta. 

Beberapa pihak juga telah menawarkan untuk membeli naskah-naskah kuno tersebut, termasuk di antaranya warga negara Malaysia yang pernah menawar untuk membelinya dan dibawa kenegara Malaysia. Tetapi, tawaran tersebut ditolak oleh pengelola Masjid Agung karena menilai naskah kuno tersebut merupakan koleksi yang sangat berharga dan tidak boleh keluar dari Indonesia.

Pengelolaan Masjid Agung Surakarta

Sebagai bagaian dari aset kerajaan, masjid ini pada awalnya dikelola khusus oleh pejabat kraton yang bergelar KRTP (Kanjeng Raden Tumenggung Pengulu Tafsiranom ) yang diangkat oleh Raja dan secara struktural berada di bawahnya. Semua pengelolaan masjid termasuk diantaranya gaji pengelola ditanggung oleh raja. Hal demikian terjadi karena sebagai wujud dari keberadaan raja yang juga bergelar Sayidin Panatagama Kalifatullah atau Kalifatullah Pengatur Bidang Keagamaan (Basit Adnan, 1996:5).

Sampai saat masa pemerintahan diambil alih oleh pemerintah RI di masa kemerdekaan, masjid ini masih dikelola oleh KRTP Tafsiranom hingga generasi KRTP Tafsiranom VI. Baru kemudian sejak tanggal 3 Juli 1962 oleh Menteri Agama ketika itu K.H. Syaifuddin Zuhri diserahkan pengelolaannya kepada umat Islam sendiri dan pemerintah hanya sebagai pengawas. Meskipun demikian Keraton Surakarta masih memiliki pengaruh cukup besar di masjid ini, termasuk dalam pengangkatan Imam yang ditunjuk langsung oleh Raja sebagaimana dengan penunjukan salah satu imam masjid agung Solo KRT Tafsir Anom H. Muhammad Dasuki, tahun 1986 silam yang ditunjuk langsung oleh mendiang Sinuwun PB XII. Gelar KRT Tafsir Anom merupakan gelar kehormatan yang diberikan langsung oleh mendiang PB XII sebagai gelar kehormatan kepada beliau selaku imam Masjid Agung Solo sekaligus Imam Masjid Keraton. 


Atas : Jemaah yang memadati ruang utama Masjid Agung Surakarta, Kiri Bawah : Para abdi dalem yang dikawal prajurit Keraton membawa gunungan dalam rangka perayaan Grebeg Syawal dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menuju Masjid Agung Surakarta untuk didoakan. Gunungan ini lantas diperebutkan warga, Rabu (31/8/2011). Dua buah gunungan tersebut terbuat dari hasil bumi serta berbagai macam makanan tradisional. Kanan Bawah : Ratusan Abdi Dalem mengikuti prosesi Malem Selikuran di Masjid Agung Solo, Rabu (8/8/2012) malam. Malem Selikuran digelar untuk menyambut malam ke-21 bulan Ramadhan, dan dimeriahkan dengan parade lampion mengelilingi komplek Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Renovasi

Sejak tahun 2010 lalu Masjid Agung Surakarta ini sudah ditemukan mengalami kerusakan di bagian atap dan tiang penyangga, dan harus segera diperbaiki. Dinas Tata Ruang Kota Surakarta mengucurkan anggaran perbaikan awal sebesar Rp 1 miliar, dan bantuan dari pemerintah provinsi dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Pengurus Masjid Agung Surakarta sudah melakukan perbaikan sebagian atap, kayu penyangga atap, tiang, struktur papan di bawah atap, dan saluran air di bawah atap. Memang belum mencakup semua. Karena menyesuaikan anggaran yang ada,

Masjid Agung terakhir kali direnovasi pada 2005-2006. Saat itu memperbaiki bangunan induk, yang menghabiskan anggaran Rp 4,53 miliar. Renovasi yang dilakukan tahun 2010 adalah tahap kedua. Proses konservasi serambi Masjid Agung Surakarta tahap I selesai dilaksanakan pada bulan September 2010. konservasi serambi Masjid Agung Surakarta tahap I meliputi perbaikan tiang dan atap bagian barat. Proyek dengan kontrak senilai Rp 778.129.000 dari dana hibah APBD Kota Solo ini mulai dikerjakan pada awal Juli 2010.

Selain mengalami kerusakan di bagian atap, 40 pilar penyangga (saka rawa) bangunan serambi Masjid Agung Surakarta juga sempat mengalami pelapukan dan bahkan ada yang sudah anjlok sampai beberapa sentimeter. Sebagai langkah antisipasi, pegurus masjid sempat memasang tiang tambahan dari besi pada delapan pilar penyangga di serambi masjid tersebut.

Kiblat Masjid Agung Solo

Arah kiblat Masjid Agung Surakarta ini telah mengalami pergeseran sejak tahun 2010 lalu, setelah dilakukan pengukuran secara akurat dan mengikuti fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan arah kiblat seharusnya mengarah ke barat laut bukan barat seperti yang terjadi sebelumnya. Sebelumnya arah kiblat masjid ini pernah dilakukan pengukuran dan telah disertifikasi namun sertifikat tersebut hilang ketika terjadi banjir akhir 2008.

Grebeg Besar Keraton Surakarta

Grebeg besar adalah upacara tradisional untuk memperingati Ibadah Haji (Idul Adha). Acara ini berlangsung di depan Masjid Agung Solo. Puncak perayaan ditandai saat Hajad Dalem Gunungan dibawa dalam prosesi dari Keraton Surakarta menuju Masjid Agung.***