Senin, 30 April 2012

Masjid Raya Sulaimaniyah, Masjid Kesultanan Serdang


Masjid Raya Sulaimaniyah, Masjid Kesultanan Serdang, dibangun oleh Sultan Sulaiman

Wilayah Kesultanan Serdang awalnya merupakan bagian dari kesultanan Melayu Deli yang berpusat di kota Medan, proses suksesi yang tak berjalan lancar di keraton kesultanan Deli sebagai akibat terjadinya perebutan tahta, berujung kepada pecah kesultanan Deli dan berdirinya Kesultanan Serdang terpisah dari Kesultanan Deli. Peninggalan kesultanan serdang masih dapat dinikmati hingga kini berupa Masjid Raya Sulaimaniiyah di Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Masjid Raya Sulaimaniyah didirikan oleh Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah pada tahun 1894 seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan Serdang dari Rantau Panjang (sekarang berada di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang) ke Istana kota Galuh Perbaungan (dulu Serdang). Nama masjid ini sendiri dinisbatkan kepada Sultan Sulaiman, yang membangunnya. Selain di Kota Galuh Perbaungan, Sultan Sulaiman juga membangun masjid dengan nama yang sama di Pantai Cermin pada tahun 1901 dan sama sama masih eksis hingga kini.

Lokasi Masjid Raya Sulaimaniyah

Masjid Raya Sulaimaniyah
Desa Kota Galuh, Kecamatan Perbaungan
Kabupaten Serdang Bedagai – Sumatera Utara
Indonesia


Setiap orang yang melintas dari arah Medan menuju Tebing Tinggi atau sebaliknya, akan melewati mesjid ini. Setiap harinya, masjid ini menjadi tempat persinggahan musafir yang ingin melaksanakan sholat sambil berwisata rohani untuk melihat dari dekat mesjid peninggalan Sultan Serdang ini. Bahkan setiap sholat Jumat, masjid ini nyaris tidak bisa menampung jamaah yang hampir melewati teras masjid.

Sekilas Sejarah Kesultanan Serdang

Sejarah Awal Berdirinya Kesultanan Serdang

Seperti disebutkan di awal tulisan ini bahwa kesultanan Serdang pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Deli. Sejarah kesultanan Deli bermula ketika Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan diangkat sebagai wakil kesultanan Aceh di wilayah Aru (Sumatera Timur) di tahun 1632 setelah beliau berhasil menaklukkan daerah tersebut atas perintah Sultan Iskandar Muda.

Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan wafat di tahun 1641 M, kekuasaan atas wilayah Deli diberikan kepada putranya, Tuanku Panglima Perunggit (1614-1700 M) bergelar sebagai Panglima Deli karena beliaulah yang memproklamirkan kemerdekaan Deli atas Aceh di tahun 1669. Ketika Tuanku Panglima Perunggit wafat beliau digantikan oleh putranya Tuanku Panglima Paderap hingga tahun 1720M.

Lokasi Serdang Bedagai
di provinsi Sumatera Utara
Masalah terjadi ketika Panglima Paderap wafat, ke-empat putranya berseteru berebut tahta kerajaan. Perang saudara tak terhindarkan diperparah lagi dengan mulai berpengaruh nya kerajaan Siak Sri Indrapura. Panglima Paderap dikaruniai empat orang putra yaitu [1]. Tuanku Jalaludin bergelar Kejuruan Metar, berasal dari turunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tanjung Mulia. [2] Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari keturunan bangsawan Deli dan Bedagai. [3] Tuanku Tawar (Arifin) Kejeruan Santun, berasal dari keturunan bangsawan Denao dan Serbajadi, dan [4] Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari keturunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan yang merupakan putra Panglima Paderap dari permaisuri.

Berdasarkan konstitusi kerajaan, semestinya Tuanku Umar Johan Alamsyah bergelar Kejeruan Junjongan yang merupakan Putra Tuanku Panglima Paderap dari permaisuri, yang berhak menggantikan ayahnya sebagai raja, namun ketika ayahandanya wafat, beliau masih dibawah umur, dan Tuanku Panglima Pasutan berambisi jadi raja. Perang saudara tak terelakkan berbuntut pada kekalahan Tuanku Umar Johan Alamsyah. Tuanku Panglima Pasutan naik tahta menjadi raja Deli ke 4

Sultan Sulaiman Syariful 
Alam Syah
Berdirinya Kesultanan Serdang Tahun 1723

Tuanku Umar Johan Alamsyah yang menelan kekalahan, bersama ibundanya Tuanku Puan Sampali [permaisuri mendiang Tuanku Paderap], terpaksa menyingkir dan mengungsi hingga kemudian mendirikan Kampung Besar (Serdang), Atas perlakuan terhadap Tuanku Umar Johan tersebut maka dua orang besar di Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah serta bersama dengan seorang Raja Urung Batak Timur yang menghuni wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan juga seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), merajakan Tuanku Umar Johan sebagai Raja Serdang yang pertama tahun 1723.

Sedangkan kakak dari Tuanku Umar yang lain, yakni Tuanku Tawar (Arifin) bergelar Kejuruan Santun, yang membuka negeri di Denai dan meluas sampai ke Serbajadi, kemudian menggabungkan diri dengan Kesultanan Serdang di masa pemerintahan Sultan Serdang yang pertama. Tuanku Umar Johan, memiliki tiga orang putra, yakni [1] Tuanku Malim, [2] Tuanku Ainan Johan Alamsyah, dan [3] Tuanku Sabjana atau yang sering dikenal sebagai Pangeran Kampung Kelambir.

Tuanku Umar Johan (1723-1767) mangkat di tahun 1767 dan digantikan oleh putra keduanya Tuanku Ainan Johan Alamsyah (1767-1817). Karena putra pertamanya menolak untuk jadi raja. Sultan Ainan Johan Alamsyah beristrikan Tuanku Puan Sri Alam dari Kerajaan Perbaungan yang kemudian bergabung dengan Kesultanan Serdang.

Masjid Raya Sulaimaniyah

Putra pertama Sultan Ainan Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin, terbunuh ketika berperang di Langkat. Maka dari itu, ditunjuklah Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah, putra kedua dari Sultan Ainan Johan Alamsyah, sebagai penerus tahta Kesultanan Serdang. Sultan Thaf Sinar Baharshah yang kemudian dianugerahi nama kebesaran sebagai Sultan Besar Serdang memerintah selama periode 1817-1850 M.

Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah ini Kesultanan Serdang mengalami era kejayaan dengan menjadi kerajaan yang makmur dan sentosa karena perdagangannya. Nama kesultanan Serdang begitu besar dan dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-kerajaan lain, seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta bantuan militer dari Kesultanan Serdang.

Sebagai pengganti dari Sultan Thaf Sinar Baharshah adalah putranya yang tertua, yaitu Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-1880). Kepemimpinan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah mendapat legitimasi dari Sultan Aceh, Ibrahim Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap Sembilan.

Masjid Raya Sulaimaniyah

Pada tahun 1854 Aceh mengirimkan ekspedisi perang 200 perahu perang untuk menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh. Dalam menjalankan pemerintahannya Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah didampingi oleh orang-orang besar, wazir, serta raja-raja taklukkan. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat menyebabkan Serdang kemudian harus takluk dan mendapat pengakuan dari Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862.

Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada bulan Desember 1880, sang putra mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan. Pengakuan resmi dari pemerintah kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini baru diberikan melalui Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887.

Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas kendati beberapa solusi telah dilakukan untuk meminimalisir konflik, termasuk melalui hubungan perkawinan dan kekerabatan. Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946).

Masjid Raya Sulaimaniyah

Kesultanan Serdang Bergabung Denan NKRI

3 Maret 1946, terjadi “Revolusi Sosial” di wilayah Sumatera Timur oleh orang orang komunis, mereka menuduh Raja-raja dan kaum bangsawan Sumatera sebagai pengkhianat karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selama revolusi sosisal tersebut terjadi penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis. Seperti terjadi di Simalungun di mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di antaranya dibunuh, dan istana mereka dijarah.

Di Langkat, Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas, termasuk sastrawan Tengku Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun berhasil meloloskan diri dan berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian menyerahkannya kepada pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar. Demikian juga di wilayah Batubara dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk para bangsawan utama, dan harta benda mereka dirampok.

Di wilayah kesultanan Serdang keadaan sedikit berbeda. Berkat dukungan positif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap kaum pergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan ataupun pembunuhan terhadap keluarga kesultanan.

Masjid Raya Sulaimaniyah

Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah tidak menyandarkan diri kepada pasukan Sekutu karena banyak kerabat dan para bangsawan Serdang yang dianjurkan menempati posisi di dalam struktur angkatan bersenjata Republik, partai-partai politik yang berhaluan Islam dan nasionalis. ketika terjadi “Revolusi Sosial” 3 Maret 1946, diadakanlah perundingan antara Kapten Tengku Nurdin (Komandan Batalion III TRI di Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang dan para tokoh adat Kesultanan Serdang. Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan bahwa Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang bertindak mewakili pemerintah Republik Indonesia.

Keesokan harinya, tanggal 4 Maret 1946, diutus Jaksa Tengku Mahmuddin dan Panitera Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak TRI atas nama pemerintah Republik Indonesia yang dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia wilayah Serdang dan sejumlah wakil organisasi masyarakat serta organisasi politik lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Dan Serah terima berjalan pada 4 Maret 1946 ke segenap pelosok wilayah Serdang. Atas jasa jasanya Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dianugerahi Bintang Mahaputra Adi Pradana dari pemerintah RI. Sedangkan wilayah kesultanan Serdang kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang yang dikemudian hari dimekarkan lagi menjadi Kabupaten Deli Serdang  dan Kabupaten Serdang Begadai.

struktur atap Masjid Raya  -
Sulaimaniyah
Sejarah Masjid Raya Sulaimaniyah

Masjid Raya Sulaimaniyah merupakan salah satu bukti eksistensi Kesultanan Serdang di masa lalu. Dahulu kala, lokasi masjid ini berada tidak jauh dari Istana Kesultanan Serdang, Istana Darul Arif. Namun Pada tahun 1865 istana tersebut dibakar Belanda bersama Masjid Raya Rantau Panjang, sebagai akibat kemarahan Belanda karena di dua tempat tersebut dijadikan markas para pejuang kemerdekaan Indonesia atas seizing Sultan yang memang mendukung pergerakan tersebut.

Sebagaimana dijelaskan dalam prasasti pembangunan masjid di tembok Masjid Raya Sulaimaniyah, dijelaskan bahwa masjid ini didirikan oleh Sultan Syariful Alamsyah pada tahun 1894 seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan dari Rantau Panjang ke Istana kota Galuh Perbaungan. Tahun 1901, Masjid Raya Sulaimaniyah dibangun secara permanen.

Dari catatan sejarah yang tertulis itu, dapat juga diketahui bahwa Masjid Raya Sulaimaniyah telah mengalami beberapa renovasi, yaitu tahun 1964, 1967, dan tahun 2004 (selesai tahun 2005). Beberapa renovasi tersebut atas bantuan mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri, Gubernur Sumatera Utara (alm) Rizal Nurdin dan Sekjen Departemen Kesehatan RI Dr. Safii Ahmad MPH.

Arsitektural Masjid Raya Sulaimaniyah

Bangunan Masjid Raya Sulaimaniyah ini tidak terlalu menonjol, mirip dengan bangunan-bangunan khas melayu lainnya. Sepintas lalu masjid ini terkesan biasa-biasa saja bahkan tak tampak seperti sebuah masjid. Namun masjid ini memiliki keunikan tersendiri. Sepintas tidak seperti bangunan masjid, melainkan seperti kantor pemerintahan dengan corak khas adat budaya melayu dengan figura berwarna kuning dengan atap berwarna hijau. Sedangkan bangunan menara dibangun terpisah dari masjid dan memang dibangun belakangan.

Makam Sultan Sulaiman di komplek Masjid Raya Sulaimaniyah

Yang menjadi cirri khas adalah pada bangun atapnya yang dibuat berundak undak, keseluruhan atap masjid ini hingga bersusun empat dihitung dari atap tertinggi hingga atap pada terasnya. Atap beranda masjid pun dibuat bersusun dua. Ataup bangunan utama masjid ini dibangun begitu tinggi dibandingkan atap lainnya seakan akan juga berfungsi sebagai menara. Bila atap masjid masjid tua Indonesia lainnya kebanyakan berdenah segi empat bujur sangkar, atap masjid Raya Sulaimaniyah justru berbentuk persegi panjang sama dengan denah masjidnya.

Di dalam masjid terdapat empat pilar beton berukuran besar sebagai penyanggah bangunan dengan 1 lampu hias berada di tengah-tengah bundaran langit masjid dikelilingi kaligrafi dari ayat-ayat alquran tentang sholat. Kesan dan nafas melayu sangat kental terlihat dari mimbarnya yang berwarna kuning dengan 4 anak tangga berlapis karpet hijau serta di atas mimbar terdapat kubah yang atasnya juga menggunakan lambang bulan sabit dan bintang. Teras masjid yang sudah berlantai keramik ini ditopang dengan tiang-tiang berukuran kecil serta puluhan lampu kecil dan besar yang mengelilingi teras samping kiri dan belakang serta dilengkapi dengan toilet dan tempat berwudhu.

Sultan Serdang ke-5 Tuanku Achmad Talaa Syariful Alamsyah didamping Orang-orang Besar Kesultanan Negeri Serdang menziarahi makam Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah di Perbaungan yang dianugerahi Bintang Mahaputra Adi Pradana dari pemerintah RI dan makam Diraja Serdang lainnya.

Sebagai masjid kesultanan Masjid Raya Sulaimaniyah menjadi masjid utama bagi semua kegiatan kesultanan termasuk tempat penyelenggaraan sholat jenazah bagi Sultan dan keluarganya. Halaman masjid ini juga menjadi tempat pemakaman sultan Serdang Sulaiman Syariful Alamsyah dan keluarganya yang terletak tepat di depan masjid yang telah di pagar serta pejabat-pejabat penting kesultanan. 

Petinggi kesultanan Serdang terahir yang disemayamkan di Masjid ini adalah jenazah Alamarhum Tengku Lukman Sinar Basarsyah II, Pemangku Adat Kesultan Serdang, sejarawan Melayu yang juga menjabat Ketua Forum Komunikasi Antaradat Sumut. Beliau wafat di Malaysia, hari Kamis pukul 19.50 waktu Malaysia. Setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Sime Darby Medical Center, Subang Jaya, Malaysia.***

Rabu, 25 April 2012

Masjid Raya Al Mashun, Medan - Sumatera Utara

Masjid Raya Al Mashun Kota Medan.

Masjid Raya Al Mashun atau Masjid Raya Medan atau kadang juga disebut Masjid Raya Deli, merupakan salah satu dari dua masjid yang pernah menjadi Masjid resmi kesultanan Deli pada masa jayanya. Masjid Raya Al Mashun juga merupakan masjid tertua ke tiga di kota Medan setelah Masjid Al Osmani di Labuan Deli yang juga merupakan masjid kesultanan Deli yang pertama dan Masjid Lama Gang Bengkok di Jalan Masjid Kesawan.

Al-Mashun yang berarti ‘dipelihara’, sesuai namanya hingga kini masih terpelihara dan terawat dengan baik. Tidak heran, karena masjid ini di masa silam merupakan Masjid Negara pada masa jayanya Kesultanan Melayu Deli, lokasinya berdiri hanya terpaut sekitar 200 meter dari Istana Maimun yang merupakan Istana kesultanan Deli. Pembangunan Masjid Raya Al Mashun dimulai pada tahun 1906, dan selesai pada tahun 1909. Secara keseluruhan biaya pembangunan masjid ditanggung sendiri oleh Sultan Maamun Al-Rasyid Perkasa Alamsjah, menghabiskan dana sebesar satu juta gulden Belanda.

Lokasi Masjid Raya Al Mashun Medan

Sisi timurMasjid Raya Al Mashun menghadap ke Jalan Sisingamangaraja sedangkan sisi utaranya menghadap ke Jalan Masjid Raya. Letaknya yang demikian membuat beberapa orang menulis alamat masjid ini berada di Jl. Sisingamangaraja yang lain nya menuliskannya berada di Jl. Masjid Raya. Namun yang pasti Masjid Raya Al Mashun ini berada di pusat kota Medan, tak jauh dari Istana Maimun yang sama sama peninggalan Kesultanan Melayu Deli.


Sejarah Singkat Kota Medan

Kota medan yang kini menjadi ibukota propinsi Sumatera Utara, pada mulanya adalah sebuah kampung bernama Kampung Medan Putri yang didirikan oleh Guru Patimpus putra Karo bermarga Sembiring Pelawi pada 1 Juli 1590. Dalam bahasa Karo, kata "Guru" berarti "Tabib" atau "Orang Pintar", kata "Pa" adalah sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, lalu kata "Timpus" berarti bundelan, bungkus atau balut. Guru Patimpus bermakna seorang Tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Sebagai penghormatan kepada beliau Pemerintah Kota Medan membangun Monumen Guru Patimpus di sekitar Balai Kota Medan. Dan tanggal 1 Juli setiap tahun diperihati sebagai hari jadi kota Medan.

Karena letaknya yang berada di Tanah Deli, Kampung Medan juga sering dikenal sebagai Medan Deli. Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat di mana Sungai Deli bertemu dengan Sungai Babura. Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber literatur mengenai asal-usul kata "Medan" itu sendiri. Dari catatan penulis-penulis Portugis dii awal abad ke-16, Kata Medan berasal dari nama "Medina", sumber lainnya menyatakan Medan berasal dari bahasa India "Meiden".

Masjid Raya Al Mashun Kota Medan.

Yang lebih kacau lagi ada sebagian masyarakat menyatakan Medan merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku sehingga disebut sebagai medan pertemuan. Adapula yang mengatakan ketika saudagar Arab yang melihat tanah Medan mengatakan Median yang berarti datar atau rata dan memang pada kenyataannya Medan memiliki kontur tanah yang rata mulai dari pantai Belawan hingga daerah Pancur Batu. Dalam Kamus Karo-Indonesia yang ditulis Darwin Prinst SH: 2002, Kata "Medan" berarti "menjadi sehat" ataupun "lebih baik". Hal ini memang berdasarkan pada kenyataan Guru Patimpus adalah seorang tabib yang memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional Karo pada masanya.

Medan pertama kali ditempati suku Karo. Hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan Bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan Aceh di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut mendorong pertumbuhan penduduk maupun kebudayaan. Di masa pemerintahan Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit (1669-1698), terjadi perang kavaleri dan sejak itu Medan menjadi pembayar upeti kepada Sultan Deli. Kesultanan Deli ini pula yang meninggalkan warisan sejarah termasuk dua masjid kesultanan di dua tempat berbeda di kota Medan, yakni Masjid Al Osmani di Labuhan Deli dan Masjid Raya Almashun di pusat kota Medan.

Sekilas Sejarah Kesultanan Melayu Deli

Kesultanan Melayu Deli pertama kali didirikan oleh Muhammad Dalik pada tahun 1653 (versi lain menyebut tahun 1630), sebagai negeri bawahan Kesultanan Aceh. Muhammad Dalik adalah seorang pemuka yang menjadi laksamana di Kesultanan Aceh dikenal juga dengan nama Gocah Pahlawan bergelar Laksamana Khuja Bintan atau Laksamana Kuda Bintan. Beliau adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan Samudra Pasai. Dia dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah sungai Lalang-Percut.

Masjid Raya Al Mashun Kota Medan.

Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan
menjadi Sultan Deli Ke 2, dan pada tahun 1669 mengumumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh. Setelah Mangkatnya Sultan Deli ke-3 Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli, sempat terjadi perebutan kekuasaan antara putra putranya dan menjadi awal berdirinya kesultanan Serdang.

Berdirinya Masjid Raya Al Mashun Medan

Di tahun 1728 Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, ke Kampung Alai [Labuhan Deli] Tercatat enam Sultan Deli yang pernah bertahta di Istana Kerajaan Melayu Deli di Labuhan Deli, sejak dari Sultan Deli ke 4 hingga Sultan Deli ke-9. Masjid Al Osmani yang merupakan masjid Kesultanan bagi Kesultanan Deli dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Osman Perkasa Alam (Sultan ke-8) masih berdiri kokoh hingga kini menjadi saksi sejarah kesultanan Melayu Deli.

Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (Sultan Deli ke-9) kemudian memindahkan kembali ibukota kerajaan ke daerah Padang Datar [pusat kota medan]. Pemindahan kembali ibukota kerajaan terebut dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai Belanda, ketika Sultan Mahmud Perkasa Alam [sultan Deli ke-8) terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah Belanda pada tahun 1863 untuk ditanami tembakau Deli.

Sultan Al Rasyid di abadikan
dalam sebuah perangko tahun
emisi 2006
Di ibukota pemerintahan baru ini Kesultanan Deli berkembang pesat, setelah Deli lepas sama sekali dari Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak Sri Indrapura pada 1861. Meski masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam kemudian membangun Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891.

Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam memulai pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada tanggal 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H). Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan ditandai dengan pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini. keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun mesjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota medan dari etnis Thionghoa yang sejaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyd turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.

Pada awalnya Masjid Raya Al Mashun di rancang oleh Arsitek Belanda Van Erp yang juga merancang istana Maimun, namun kemudian proses-nya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah. Sebagian bahan bangunan diimpor antara lain: marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu gantung langsung dari Prancis. Mesjid Raya sedikit berbeda dengan masjid pada umumnya karana tidak banyak kaligrafi sini namun banyak terdapat ukiran bunga dan tanaman yang keseluruhanya di cat.

Masjid Raya Al Mashun Kota Medan.

Arsitektural Masjid Raya Al Mashun

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa dan Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid masjid kebanyakan. Di ke empat penjuru masjid masing masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan art nouveau periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam. Seluruh ornamentasi di dalam mesjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda dan jendela-jendela lengkung itu mengingatkan disain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah mesjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikitari empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Mesjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang mesjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara mesjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.

Masjid Raya Al Mashun Kota Medan.

Pengelolaan Masjid Raya Al Mashun

Secara tradisi turun temurun keluarga Sultan sangat berperan dalam pengelolaan masjid ini. Sejak era kemerdekaan, pemerintah kota Medan mengambil andil dalam perawatan dan pengelolaan masjid. Pengurus masjid sangat ketat menjaga masjid ini termasuk menjaga keaslian bangunan dengan tidak sembarangan melakukan perbaikan apalagi perombakan mengingat material yang dipakai untuk membangun masjid ini memang dari bahan bahan pilihan yang kini tidak mudah untuk didapatkan.

Sebagai bangunan tua, Pemkot Medan dan Pengelola Masjid Raya Al Mashun memberikan penangangan khusus terhadap masjid ini. Di sebuah papan yang berada dipintu gerbang masuk kompleks masjid misalnya, para pengunjung hendak memasuki masjid di”warning” agar tidak melakukan tujuh hal, yaitu dilarang masuk bagi segala jenis kendaraan, dilarang memakai alas kaki, dilarang berjualan di dalam kompleks, dilarang bermain segala jenis olahraga, dilarang meludah di atas lantai, dilarang membuang sampah sembarangan, dan dilarang merokok. Bagi yang melakukan ketujuh larangan tersebut, akan dituntut melanggar pasal 406 ayat 1 KUHP, dengan ancaman 2 tahun dan 8 bulan penjara.

Interior Masjid Raya Al Mashun.

Aktivitas Masjid Raya Al Mashun

Pada bulan Ramadhan, suasana di Masjid Raya ini menjadi jauh lebih semarak dibanding hari-hari biasa. Kegiatan ibadah tidak hanya berlangsung siang hari, melainkan juga malam hari hingga menjelang waktu sahur. Siang disisi dengan kegiatan muzakarah, diskusi tentang hukum sya’ri Islam, ceramah Ramadhan, dan berbagai kegiatan pengkajian Islam lainnya.

Pada malam hari kegiatannya berupa shalat Tarawih dan Tadarrus Al-Qur’an hingga larut malam hingga sampai dini hari saat sahur tiba. Selain itu, untuk menghidupkan suasana di komplek masjid, pengurus juga menyiapkan makanan bukaan setiap sore dari sumbangan para dermawan dan masyarakat sekitar masjid. Makanan berbuka yang disiapkan hingga 300 - 500 orang tersebut khusus bagi anak-anak yatim, gelandangan, dan kaum musafir yang jauh dari rumahnya saat waktu berbuka tiba. Hidangan khas di masjid ini adalah sajian bubur pedas khas masjid Raya Al Mashun.***

Senin, 23 April 2012

Mesjid Lama Gang Bengkok, Kota Medan

Masjid Lama Gang Bengkok, sumbangan Tjong A Fie untuk warga muslim kota Medan.

Simbol Pembauran Melayu dan Thionghoa

Tak banyak masjid dengan keistimewaan seperti masjid lama Gang Bengkok di kota Medan ini. baik dari arsitekturalnya maupun dari sosio kemasyarakatannya. Masjid Lama Gang Bengkok diperkirakan berdiri pada tahun 1874, dibangun di atas tanah wakaf dari Haji Muhammad Ali yang lebih dikenal dengan nama Datuk Kesawan dan seluruh biaya pembangunannya di tanggung oleh Tjong A Fie (1860-1921) seorang saudagar Thionghoa dari daratan China yang kemudian hijrah ke Kota Medan di awal abad ke 19.

Masjid yang dibangun dalam sentuhan kental akulturasi budaya Thionghoa dan Melayu dalam satu bentuk masjid yang unik ini merupakan masjid tertua ke dua di Kota Medan. Dibangun 20 tahun setelah Masjid Al Osmani (1854) di Labuhan Deli, yang merupakan masjid tertua di Kota Medan. Masjid Lama Gang Bengkok tidak saja merekam jejak sejarah pembauran orang melayu dengan orang Thionghoa di kota Medan dalam pembangunan masjid ini tapi juga mewariskan nafas pembauran itu hingga kini.

Lokasi Masjid Lama Gang Bengkok.

Mesjid Lama Gang Bengkok
Jalan Mesjid, Kelurahan Kesawan
Kecamatan Medan Barat, Kota Medan
Sumatera Utara - Indonesia


Sejarah Masjid Lama Gang Bengkok – Kota Medan

Masjid Lama Gang Bengkok (1874), ini merupakan salah satu dari tiga masjid tertua di kota Medan. Dua masjid tertua lainnya adalah Masjid Al Osmani (1854), di Jalan Yos Sudarso Kilometer 17,5 dan Mesjid Raya Al-Mashun (Mesjid Raya) di Jalan Sisingamangaraja. Dari sisi usia, Masjid Lama Gang Bengkok merupakan masjid tertua ke dua di Kota Medan setelah Masjid Al Osmani. Masjid ini bahkan lebih dulu dibangun dari Masjid Raya Al Mashun (1909).

Sebuah Nama Yang Aneh

Disebut Masjid Gang Bengkok, karena pada awal pembangunannya masjid ini berada di dalam sebuah gang sempit. Ruas gang tersebut memiliki belokan atau tikungan atau bengkokan pas di depan lokasi masjid ini berdiri. Karena sejak dibangun masjid ini memang tidak pernah secara resmi diberi nama oleh pendirinya ataupun oleh Sultan Deli, maka masyarakat setempat menyebutnya sebagai masjid di Gang Bengkok.

Lalu setelah sekian lama waktu berlalu, makin banyak masjid berdiri di kota Medan,  untuk membedakannya dengan masjid masjid yang baru, dengan sendirinya masyarakat disana menyebut masjid ini sebagai masjid lama, maksudnya masjid yang sudah sejak lama berdiri disana lebih dulu dibandingkan dengan masjid lainnya. Maka, hingga kini masjid ini disebut dengan nama Masjid Lama Gang Bengkok.

Interior Masjid Lama Gang Bengkok Kota Medan.

Satu Tempat Dua Nama

Anda tak kan menemukan nama Jalan Kesawan di peta kota Medan, karena yang dimaksud jalan Kesawan oleh orang medan itu kini bernama Jalan [Jendral] Ahmad Yani. Kawasan yang kini dilintasi oleh jalan Ahmad Yani itu memang mula mula bernama Kampung Kesawan. Hampir keseluruhan wilayah Kesawan ini dulunya di abad ke 19 dimiliki oleh Datuk Muhammad Ali, seorang saudagar kaya raya melayu asli. Karena besarnya pengaruh beliau di kawasan tersebut, masyarakat memanggil beliau dengan panggilan Datuk Kesawan.


Kini Kesawan merupakan salah satu pusat niaga di kota Medan. Di kawasan Kesawan ini juga banyak berdiri bangunan tua peninggalan peninggalan zaman kolonial. Gang bengkok di depan Masjid ini pun kini sudah tidak lagi berbentuk gang karena sudah diperluas sebagai jalan raya dan diberi nama Jalan Masjid. Tapi masyarakat setempat sudah terlanjur menyebutnya gang bengkok.

Di masa yang sama di kota Medan yang kala itu masih bernama Deli Tua, begitu terkenal seorang pengusaha Thionghoa kaya raya yang berasal dari China daratan. Beliau bernama Tjong A Fie (1860-1921). Beliau tak saja dikenal karena kekayaannya yang berlimpah tapi juga karena sifat dermawannya yang tak pandang bulu. 

Mimbar dan Masjid Masjid Lama Gang Bengkok Kota Medan.

Kedermawanan dan Kejayaan bisnis Tjong A Fie di Kota Medan sudah seperti sebuah legenda. Rumah kediaman mendiang Tjong A Fie di Kesawan kini dikenal dengan nama Tjong A Fie Mansion ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya kota Medan dan ditetapkan sebagai warisan sejarah dunia Unesco. 

Tanah wakaf dari orang Melayu dibangun oleh orang China
 
Masjid Lama Gang Bengkok, Kota Medan dibangun diatas tanah milik Datuk Muhammad Ali atau Datuk Kesawan yang memang beliau hibahkan untuk keperluan membangun masjid di wilayah Kesawan, namun keseluruhan proses pembangunan masjid nya sendiri ditanggung sepenuhnya oleh Tjong A Fie. konon hal tersebut dilakukan oleh Tjong A Fie sebagai bentuk penghormatan beliau kepada muslim melayu. Peletakan batu pertama pembangunan masjid ini bahkan dilakukan sendiri oleh Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924), Sultan Deli ke-9 yang berkuasa saat itu.
 
Tjong A Fie.
Ketokohan Tjong A Fie yang begitu disegani membuatnya begitu dekat dengan Keluarga Kesultanan dan Penguasa penjajah Belanda. Tak mengerankan bila kemudian proses pembangunan Masjid Gang Bengkok ini pun turut menarik perhatian Sultan Deli. Keseluruhan pembangunan masjid ini diperkirakan dilaksanakan tahun 1874-1885. Tjong A Fie yang membangun masjid ini kemudian menghadap kepada Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam untuk melaporkan sudah selesainya pembangunan masjid tersebut sekaligus menyerahkannya kepada Sultan dan Sultan kemudian menunjuk Syech Mohammad Yacub untuk mengurus dan memelihara mesjid ini.
 
Arsitektural Masjid Lama Gang Bengkok – Kota Medan
 
Pepatah yang mengatakan “Jangan hanya menilai buku dari sampulnya”, tampaknya benar benar berlaku untuk masjid Lama Gang Bengkok di kota Medan ini. Bila hanya sekilas pandang saja melihat masjid ini tanpa berusaha untuk mencari tahu lebih jauh, siapapun pasti akan mengira masjid ini adalah sebuah Klenteng bagi umat Khonghucu bukan masjid bagi ummat Islam. Arsitektural masjid tua satu ini memang lebih mirip sebuah kelenteng dibandingkan sebuah masjid, tak mengherankan, karena Tjong A Fie yang membangunnya adalah tokoh kota medan dari etnis Thionghoa. Tak salah bila disebut masjid Lama Gang Bengkok ini sebagai monumen pembauran Melayu dan Thionghoa di Kota Medan. Meski bentuk Kelenteng begitu mendominasi, namun sentuhan melayu dan Islam menjadi pembeda mutlak bangunan ini dengan Kelenteng.
 
Masjid Lama Gang Bengkok Kota Medan.

Seni bina Melayu tampak jelas pada plafon mesjid yang terdapat umbai-umbai yaitu semacam hiasan yang disebut "lebah bergantung". Ukiran ini terbuat dari kayu, berbentuk semacam tirai berwarna kuning, warna khas Melayu. Sedangkan gapuranya bernuansa Islam Persia. Masjid lama Gang Bengkok hanya mengalami renovasi sedikit pada bagian pintu, dinding dan atap yang sudah rapuh. 75 % dari bangunan ini masih asli, termasuk ruang utama masjid seluas 18x18 meter dan 4 penyangganya yang berdiameter 2,1 centimeter dengan tinggi 2,2 meter. Empat tiang penyangga tersebut serupa dengan tiang penyanggah yang ada rumah Tjong A Fie di jalan Ahmad Yani Kota Medan. Konong, tukang yang membangun masjid inipun adalah tukang yang sama yang membangun rumah Tjong A Fie. Di masjid ini masih disimpan benda-benda bersejarah hingga sekarang.
 
Aktivitas dan pengelolaan Masjid Lama Gang Bengkok
 
Kepengurusan Masjid Lama Gang bengkok kebanyakan dipegang oleh Medan beretnis Mandailing. Mereka kebanyakan menjadi pengurus secara turun- temurun. Pengurus saar ini adalah generasi ke-4 dari pengurus masjid pertama. Seperti disebutkan di awal tulisan bahwa setelah seleasi pembangunan masjid ini, Syech Mohammad Yacub untuk mengurus dan memelihara mesjid ini. Keturunan beliau yang kemudian melanjutkan tradisi mengurus dan menjaga masjid ini. Sementara jemaah masjid terdiri dari banyak etnis dari Melayu sendiri, Jawa, Mandailing, China, Karo, dan Arab.
 
Masjid Lama Gang Bengkok Kota Medan.

Aktivitas pengajian rutin diselenggarakan di Masjid Lama Gang Bengkok. Masjid berdaya tampung hingga 2000 jemaah ini juga memiliki perpustakaan masjid yang dibuka untuk umum dengan koleksi buku sebanyak 500 judul buku pengetahuan umum dan agama. Selama bulan suci Ramadhan masjid ini penuh sesak oleh jamaah yang kebanyakan merupakan jemaah dari luar Kesawan. Aktivitas rutin yang diselenggarakan adalah antara lain adalah pengajian yang dilakukan setiap hari setelah sholat Zhuhur yaitu Tafsir Al-Quran dan hadist beberapa orang ulama. Satu hal yang juga dilakukan selama bulan Ramadhan adalah dengan menyediakan hidangan buka puasa bubur pedas khas Melayu seperti yang disediakan di Masjid Raya Al Mashun.
 
Seiring dengan berjalannya waktu, daerah kesawan yang dulunya merupakan pemukiman warga pun kini berubah menjadi area bisnis, perkantoran dan pertokoan. Dengan sendirinya jemaah masjid ini juga berubah dari yang dulunya mayoritas adalah warga sekitar, kini malah ramai oleh karyawan dan pelaku bisnis di kawasan tersebut. Jemaah masjid membludak saat sholat jum’at dan ramai di hari kerja namun jemaahnya justru menyusut di hari libur.***


Rabu, 18 April 2012

Masjid Al Osmani, Tertua di Kota Medan

Masjid Al-Osmani Labuan, Masjid Tertua di Kota Medan.

Dua puluh kilometer sebelah utara kota Medan, propinsi Sumatera Utara, di daerah Labuan, berdiri sebuah masjid tua bersejarah peninggalan kejayaan kesultanan melayu abad ke 19. Masjid bewarna kuning ini bernama Masjid Al Osmani. Karena lokasinya yang berada di daerah Labuan maka sebagian masyarakatpun menyebutnya dengan sebutan Masjid Labuan. Masjid ini adalah masjid tertua di kota Medan.

Masjid Al Osmani didominasi warna kuning, warna kebesaran kesultanan melayu. Masjid Osmani bahkan lebih dulu dibangun dibandingkan dengan Masjid Raya Al Mahsun di pusat kota medan, Sultan Osman Perkasa Alam, Sultan Deli ke 7 yang pertama kali membangun masjid ini pada tahun 1854. Putra beliau yang kemudian meneruskan tahtanya membangun masjid ini menjadi sebuah bangunan permanen yang masih berdiri kokoh hingga kini.

Lokasi Masjid Al Osmani

Masjid Al Osmani
Jl. Yos Sudarso 17,5, Kelurahan Pekan Labuhan
Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan
Sumatera Utara – Indonesia


Sejarah Masjid Al Osmani

Perpindahan Ibukota Kesultanan Deli

Sejarah Masjid Al Osmani bermula ketika Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, sebutan Kota Medan waktu itu, ke Kampung Alai, sebutan untuk Labuhan Deli dan membangun Istana kerajaan yang lokasinya [dulu] berada di depan Masjid Al Osmani. Pemindahan itu dilakukan setelah Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli (Raja Deli III) memecah daerah kekuasaannya menjadi empat bagian untuk empat putranya.

Tercatat enam Sultan Deli yang pernah bertahta di Istana Kerajaan Melayu Deli di Labuhan Deli, sejak dari Sultan Deli ke 4 hingga Sultan Deli ke-9. Mereka adalah :

[1] Sultan Deli ke-4 Tuanku Panglima Pasutan (berkuasa 1728-1761)
[2] Sultan Deli ke-5 Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805)
[3] Sultan Deli ke-6 Sultan Amaluddin Perkasa Alam (1805-1850)
[4] Sultan Deli ke-7 Sultan Osman Perkasa Alam (1850-1858)
[5] Sultan Deli ke-8 Sultan Mahmud Perkasa Alam (1858-1873)
[6] Sultan Deli ke-9 Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924).

Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924) merupakan Sultan Deli yang pernah bertahta di dua Istana. Pada masa pemerintahannya, beliau memindahkan kembali ibukota kerajaan ke daerah Padang Datar dengan dibangunnya Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891. Diikuti pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada 1907 dan selesai pada 10 September 1909.

Pemindahan kembali ibukota kerajaan terebut dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai Belanda, yaitu ketika kerjaan itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam [sultan Deli ke-8) terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah Belanda pada 1863 untuk ditanami tembakau Deli.

Masjid Kesultanan Deli yang pertama dinamai Masjid Al Osmani untuk mengenang Sultan yang membangunnya, disebut Masjid Labuhan Deli karena berada di Labuhan Deli, atau Masjid Kuning karena warnanya yang kuning terang sebagai warna kebesaran kesultanan melayu.


Dibangun Oleh Sultan Deli Ke-7

Pada tahun 1854 Sultan Deli ke tujuh, Sultan Osman Perkasa Alam membangun sebuah masjid kerajaan di depan istana Kesultanan Deli di Labuhan Deli. Pembangunan masjid kesultanan dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian pada 1870 hingga 1872 masjid yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun permanen oleh putra-nya yakni Sultan Mahmud Perkasa Alam [Sultan Deli ke-8].

Ketika itu rakyat dan kerajaan Melayu Deli hidup dalam kemakmuran dari hasil menjual rempah-rempah dan tembakau. Rejeki yang berlimpah sebagian digunakan Sultan Mahmud Perkasa Alam, yang berkuasa pada saat itu, untuk menjadikan masjid itu sebagai bagunan megah. Masjid Al Osmani yang dibangun oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam inilah yang kini berdiri kokoh di Labuan Deli.

Masjid Al-Osmani tempo dulu. Rancangan masjid cordoba di Spanyol di citrakan kedalam rancangan masjid Al Osmani ini oleh perancangnya yang memang berasal dari Eropa, terlihat pada ornamen pada lengkungan lengkungannya


126 Tahun Tanpa Masjid ?

Bila kita menghitung jarak waktu antara perpindahan pusat pemerintahan dari Padang Datar [pusat kota Medan], ke Kampung Alai [Labuhan Deli] di tahun 1728 di masa pemerintahan Tuanku Panglima Pasutan [Sultan Deli ke-4] hingga pendirian Masjid Al Osmani di tahun 1854 pada masa pemerintahan Sultan Osman Perkasa Alam [Sultan Deli ke-7] terpaut waktu sekitar 126 tahun, waktu yang cukup lama bagi sebuah kesultanan berdiri tanpa kehadiran sebuah Masjid. Lalu, dimanakah para Sultan dan kerabatnya serta rakyat Deli menyelenggarakan sholat berjamaah selama 126 tahun sebelum masjid Al Osmani di bangun ?.

Sejarah hanya menyebutkan bahwa masjid Al Osmani dibangun oleh Sultan Osman Perkasa Alam [Sultan Deli ke-7] tanpa menyebutkan apakah sebelumnya sudah ada tempat yang difungsikan sebagai masjid atau tidak. Boleh jadi sebelum Sultan Osman membangun masjid ini, sudah ada ruang khusus di Istana kesultanan Deli yang difungsikan sebagai mushola / masjid kerajaan yang digunakan untuk beribadah termasuk penyelenggaraan sholat Jum’at dan dua hari raya. Yang pasti butuh penelitian lebih jauh untuk menjawab pertanyaan sederhana itu.

Masjid Al-Osmani, Labuan, Kota Medan.

Renovasi dan Pemugaran

Sebagai Masjid Kesultanan, dahulunya istana Kesultanan Deli pertama yang dibangun di depan masjid ini sehingga sultan cukup berjalan kaki jika ingin ke masjid. Sekarang setelah lebih dari 150 tahun berlalu istana itu sudah rata dengan tanah, berganti bangunan sekolah dasar. Ketika pertama kali dibangun, ukuran Masjid Al Osmani hanya 16 x 16 meter dengan material utama dari kayu. Fungsi utamanya sebagai masjid tempat sultan melaksanakan salat serta kegiatan keagamaan dan syiar Islam.

Pada tahun 1870, Sultan Deli ke-8, Mahmud Al Rasyid melakukan pemugaran besar-besaran terhadap bangunan masjid yang diarsiteki arsitek asal Jerman, GD Langereis. Selain dibangun secara permanen, dengan material dari Eropa dan Persia, ukurannya juga diperluas menjadi 26 x 26 meter. Renovasi itu selesai tahun 1872. Rancangannya unik, bergaya India dengan kubah tembaga dan kuningan bersegi delapan. Kubah yang terbuat dari kuningan tersebut beratnya mencapai 2,5 ton Sementara kaligrafi dan lukisan bagian dalam kubah tidak kalah indah dengan Masjid Raya Al Mashun.

Pemugaran berikutnya dilaksanakan pada tahun 1927 yang digagas Deli Maatschappij, perusahaan kongsi Kesultanan Deli dan Belanda. Lantas dilakukan lagi pada tahun 1964 oleh T Burhanuddin, Direktur Utama PT Tembakau Deli II. Rehabilitasi berikutnya dilakukan Walikota Medan HM Saleh Arifin pada tahun 1977. Terakhir, pemugaran dilakukan Walikota Medan Bachtiar Djafar pada tahun 1992.

Bentuk Kubah masjid Al Osmani mengingatkatkan kita pada bentuk kubah kubah masjid tua di Sumatera lainnya, sebut saja kubah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan Masjid Azizi Tanjungpura peninggalan Kesultanan Langkat.


Arsitektural Masjid Al Osmani

Beberapa kali pemugaran terhadap bangunan masjid ini telah dilaksanakan tanpa menghilangkan arsitektur asli yang merupakan perpaduan bangunan Timur Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China. Terdapat tiga pintu utama berukuran besar yang berada di utara, timur, dan selatan masjid dan dulunya hanya digunakan oleh Sultan Deli beserta kalangan istana. Sedangkan rakyatnya masuk melalui empat pintu yang berukuran kecil yang berada di bagian utara dan selatan. Kedua pintu berukuran kecil itu mengapit pintu utama.

Di bagian dalam masjid ber-kapasitas 500 jamaah ini terdapat empat tiang besar dan kokoh berfungsi sebagai penyangga utama kubah masjid yang tergolong berukuran besar dibandingkan kubah mesjid lain. Empat penyangga itu juga mempunyai arti menjunjung empat sifat kenabian, yakni sidiq [benar], amanah [dapat dipercaya], fathonah [pintar], dan tabligh [menyampaikan].

Layaknya sebuah masjid tua dan milik kerajaan, pekarangan masjid ini juga dijadikan lahan pemakaman. Di pemakaman masjid ini terdapat lima makam Sultan Deli yang pernah berkuasa di Istana Labuhan Deli, mereka adalah : Tuanku Panglima Pasutan (Sultan Deli ke-4), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Sultan Deli ke-5), Sultan Amaluddin Perkasa Alam (Sultan Deli ke 6), Sultan Osman Perkasa Alam (Sultan Deli ke-7), dan Sultan Mahmud Perkasa Alam (Sultan Deli ke-8)

Interior Masjid Al-Osmani.

Masjid Al Osmani Kini

Kondisinya saat ini, masih menunjukkan kemegahan pada zamannya. Sebuah mimbar dari kayu berukir, jam dinding antik dan lampu gantung dari kristal menjadi ornamen yang memperindah bagian dalam masjid. Dominasi warna kuning dan hijau dinding bangunan menjelaskan entitas Melayu yang melekat pada masjid tersebut. Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan  hari besar keagamaan dan tempat pemberangkatan jemaah haji yang berasal dari wilayah Medan utara menuju pemondokan jamaah haji.

Kebesaran Masjid Al Osmani juga menarik para petinggi negara untuk singgah dan sholat disini. Diantara mereka tercatat Menteri Kehutanan RI Ir Zulkifli Hasan SE M dan Menteri Prekonomian RI Ir H Hatta Rajasa berkesempatan melaksanakan sholat Jum’at di masjid ini pada 27 Januari 2012 lalu dalam rangkaian acara safari Jum’at yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Medan, memasuki tahun 2012.***