Minggu, 29 Januari 2017

Masjid Sultan Ahmed (Masjid Biru) Istanbul

Megah di puncak bukit Istambul, telihat nyaris dari segala penjuru kota. Masjid Sultan Ahmed atau Masjid Biru Istanbul merupakan salah satu dari peningggalan Emperium Islam Usmaniyah yang sudah berumur 4 abad.

Emperium atau Kekaisaran Usmaniyah atau oleh bangsa Eropa disebut dengan Kekaisaran Otoman, sejatinya adalah Ke-Khalifahan Islam terahir yang pernah eksis selama 623 tahun, sejak pertama kali dibentuk Oleh Osman Bey tahun 1299 sampai kemudian dihapuskan oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1922 dan kemudian bekas pusat wilayah kekuasannya berubah menjadi Republik Turki yang kini kita kenal, pusat pemerintahannya pun dipindahkan dari Ankara.

Sejarah Emperium Usmaniyah yang paling terkenal ke seantero dunia adalah sejarah kejatuhan Konstantinopel yang merupakan pusat kekuasaan Emperium Byzantium Romawi Timur oleh pasukan Muhammad Al-Fatih pada Hari Jum,at tanggal 23 Maret 1453. Al-Fatih mengganti nama Konstantinopel menjadi Istambul dan menjadikan kota itu sebagai ibukota Emperium Usmaniyah, setelah sebelumnya berada di Edirne. Masa ini merupakan awal perkembangan luar biasa dari Emperium Usmaniyah.

Paska penaklukan tersebut, Al-Fatih mengubah Gereja Ayasofia menjadi Masjid resmi atau masjid nasional Emperium Usmaniyah. satu setengah abad setelah itu, pada masa pemerintahan Sultan Ahmed I yang memerintah pada tahun 1603-1617 dibangun Masjid Nasional yang baru berhadapan dengan Masjid Hagia Shopia, yakni Masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Sultan Ahmed atau dikenal juga dengan nama Masjid Biru atau Blue Mosque.

The Blue Mosque / Sultan Ahmet Camii
Sultanahmet Mh., At Meydanı No:7, 34122 Fatih/İstanbul, Turki



Kini, Meski telah berumur 4 abad, Masjid Sultan Ahmed ini masih terawatt baik dan masih berfungsi sebagaimana mestinya sekaligus menjadi salah satu destinasi wisata andalan kota Istanbul. Seperti Tradisi masjid masjid bersejarah lain-nya di pekarangan masjid ini juga menjadi tempat dimakamkannya mendiang Sultan Ahmed I, yang membangun masjid ini.

Sejarah Masjid Sultan Ahmed

Masjid Sultan Ahmed atau Masjid Biru dibangun pada tahun 1609 sampai dengan tahun 1616 pada masa Kekuasaan Sultan Ahmed 1. Pembangunnya adalah Husna Bint Mayram dibawah pengawasan langsung dari Hāndān Vālida Sultânā, putra dari Sultan Ahmed I. Pembangunan masjid ini sempat menuai protes dari kalangan ulama ke-khalifahan karena dilaksanakan pada saat Ke-Khalifahan Usmaniyah baru mencapai perdamaian Zsitvatorok dan menderita kekalahan dalam perang Persia, namun justru tujuan dari Sultan Ahmed 1 membangun masjid ini adalah untuk mengembalikan lagi marwah Kekhalifahan.

Sebelumnya Ke-Khalifahan Usmaniyah di Istanbul menggunakan Hagia Sophia sebagai masjid Nasional. Para pengikut Sultan harus bekerja keras membangun masjid ini sebagai pengganti kekalahan perang, sementara Sultan Ahmed 1 harus menguras perbendaharaan Negara untuk biaya pembangunannya, mengingat perang terhadap Persia tidak memberikan hasil yang gemilang.

Masjid Sultan Ahmed dari kejauhan salah satu sudut kota Istanbul

Lokasi pembangunan Masjid ini dipilih pada lokasi Istana kekaisaran Byzantium, di depan Katedral Aya Sofia yang sudah dikonversi menjadi Masjid Agung Hagia Shopia Sejak Kemenangan Muhammad Al-Fatih menghancurkan Emperium Byzantium (Romawi Timur) dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada Hari Jum,at tanggal 23 Maret 1453 dan mendirikan ke-Khalifahan Usmaniyah lalu mengubah nama Konstantinopel menjadi Istambul.

Lokasi ini memang merupakan tempat yang memiliki arti simbolis yang teramat penting, mengingat disini 150 tahun sebelumnya merupakan pusat Kekuasaan Byzantium (Romawi Timur), dipuncak bukit yang mendominasi pemandangan kota Istambul dari arah selatan. Sebagian besar sisi selatan masjid ini berdiri tepat di pondasi bekas Istana Byzantium tersebut berdekatan dengan gedung Hippodrome. Wajar bila Sultan Ahmed 1 bersikukuh membangun masjid ini untuk menunjukkan kekuasaan dan membangkitkan lagi marwah Ke-Khalifahan.

Paralelisasi Sejarah

Pembangunan Masjid Sultan Ahmed ini pada tahun 1609 hingga tahun 1616. Bila disejajarkan dengan sejarah Kesultanan di Nusantara, pada saat di Istambul dilaksanakan pembangunan Masjid ini di Nusantara saat yang sama sedang berkuasa Kesultanan Jayakarta (1527-1619). Menunjukkan bahwa masa kekuasaan Sultan Ahmed 1 di Emperium Usmaniyah (Turki) bersamaan dengan masa Kekuasaan Pangeran Jayakarta di Kesultanan Jayakarta (Indonesia).

Masjid Sultan Ahmed pada dasarnya terdiri dari satu bangunan utama dan satu pelataran tertutup yang diintegrasikan menjadi satu. 

Hanya saja tiga tahun setelah Pembangunan Masjid Sultan Ahmed ini selesai dan digunakan sebagai Masjid Nasional bagi Emperium Usmaniyah, Masjid Agung Jayakarta justru tak bersisa di bumi hanguskan oleh J.P. Coen setelah berhasil menaklukkan Jayakarta pada 12 Maret 1619, sedangkan Emperium Usmaniyah masih berkuasa hingga tiga abad setelah itu. Dan Masjid Sultan Ahmed masih berfungsi hingga hari ini.

Arsitektur Masjid Sultan Ahmed

Masjid Sultan Ahmed dirancang oleh arsitek Sedefkâr Mehmed Ağa (wafat tahun 1622) dengan enam menara lancip, ramping dan menjulang, bangunan utamanya ditutup dengan lima kubah utama, dan enam kubah sekunder. Rancangan ini disebut sebut sebagai titik kulminasi dari dua abad perkembangan masjid masjid Emperium Usmaniyah. Sangat jelas ada perpaduan Antara rancangan dari bangunan Masjid Hagia Shopia yang berada disebelahnya.

Rancangan tersebut kemudian dipadu dengan tradisi arsitektur Islam dan menjadikannya sebagai Masjid Agung terahir yang di bangun pada periode klasik. Arsitek Sedefkâr Mehmed Ağa benar berhasil mensintesa ide ide dari gurunya, Mimar Sinan (1450?-1588) yang dikenal sebagai arsitek termashur Emperium Usmaniyah, dengan rancangan masjid berukuran raksasa, menakjubkan dan mengagumkan. Rancangan masjid Sultan Ahmed ini dan masjid masjid lainnya yang dibangun pada era Emperium Usmaniyah ini dikemudian hari menjadi salah satu rujukan rancang bangun Masjid di seluruh dunia dan kini dikenal sebagai gaya rancangan masjid Turki Usmani.

Serba biru. itu sebabnya disebut Blue Mosque atau masjid biru, merujuk kepada warna biru yang mendominasi langit langit senatero bagian dalam masjid tua ini.

Secara umum bangunan masjid Sultan Ahmen ini dibagi menjadi dua bagian utama yakni bangunan utama masjid dan area pelataran tengah atau court yard yang dikelilingi dengan korodor menyatu dengan bangunan utama. Rancangan seperti ini memang sudah mentradisi sejak masa ke-khalifahan Islam sebelumnya, dimana hampir semua masjid berukuran besar dirancang dengan pola yang sama. Pelataran tengah berupa plaza terbuka ini digunakan sebagai area sholat tambahan bagi jamaah yang tidak tertampung di dalam bangunan utama.

Berdasarkan perhitungan matematika dengan mempertimbangan postur rata rata orang Eropa, Masjid Sultan Ahmed ini dapat menampung hingga 10 ribu Jemaah sekaligus. Dengan ukuran ruang utamanya mencapai 73 x 65 meter. Ketinggian utamanya pada sisi luar mencapai 43 meter serta garis tengah lingkarannya mencapai 23,5 meter. Sementara tinggi masing masing menara runcingnya itu mencapai 64 meter.

Interior Masjid Sultan Ahmed

Pada setiap tingkatan di bagian dalam masjid Sultan Ahmed ini sarat dengan jejeran lebih dari 20 ribu keeping keramik buatan tangan bergaya Iznik yang memang dibuat di Iznik (Nicaea Kuno) corak yang digunakannya berupa lebih dari 50 corak bunga tulip yang berbeda. Pada bagian bawah banyak menggunakan gaya tradisional dalam rancangannya sedangkan pada bagian atas rancangannya lebih flamboyan dengan kehadiran aneka corak bunga, buah dan pepohonan hijau.

Seperti rancangan masjid tradisional di Indonesia, Masjid ini juga ditopang dengan empat tiang, hanya saja tiang tiang di masjid ini berukuran sangat besar dan terbuat dari beton berlapis batu granit dan ornamen keramik hias dari Iznik bewarna biru.

Pembuatan masing masing keping keramik hias tersebut diawasi langsung oleh seorang pakar Iznik, sedangkan harga masing masing kepingan keramik tersebut ditetapkan dengan dekrit dari Sultan Ahmed dengan harga yang tetap kendatipun pada kala itu harga masing masing kepingan keramik Iznik senantiasa meningkat sepanjang waktu.

Interior bagian paling atas masjid ini di dominasi dengan balutan warna biru, warna ini yang kemudian lengket dengan nama masjid ini sebagai Masjid Biru. Ada l ebih dari 200 jendela kaca patri dengan rancangan yang cukup rumit memainkan cahaya alami matahari dan kini dibantu dengan tambahan cahaya lampu gantung. Uniknya pada lampu gantung ini terdapat cangkang telur burung onta untuk mencegah munculnya jaring laba laba di dalam masid ini. lampu lampu gantung ini juga dilengkapi dengan bola bola Kristal, namun Pernik Pernik unik tersebut kini sudah disimpan di museum.

Dekorasi kaligrafi di masjid ini dibuat oleh Seyyid Kasim Gubari, yang dikenal sebagai kaligrafer ternama pada masa itu. Seluruh lantai dalam masjid dilapis dengan karpet yang merupakan sumbangan dari Jemaah dan secara berkala diganti pada saat ada kerusakan. Banyaknya jendela jendela besar di masjid ini mengesankan ruang yang lebih lega dari aslinya.Tingkap (kusen dan bingkai jendela) pada bagian lantai bawah dihias dengan teknik Opus Sectile yakni ragam hias dengan merangkai potongan potongan berbagai material pilihan kemudian dirangkai satu persatu membentuk pola tertentu sebagaimana sebuah mozaik.

Mohrab dan mimbar di Masjid Sultan Ahmed, keduanya sama sama dibangun tinggi sekali.

Kubah utama Masjid Sultan Ahmed dilengkapi dengan 28 jendela (lima diantaranya adalah jendela tanpa kaca) sedangkan masing masing semi kubah nya dilengkapi dengan 14 Jendela dan setiap Exedra (ruang ceruk yang terbentuk oleh bangun semi kubah) dilengkapi dengan lima jendela). Kaca jendela berwarna warni di masjid ini merupakan hadiah dari Signoria of Venice kepada Sultan. Beberapa dari jendela jendela warna warti itu kini telah mengalami penggantian.

Mihrab dan Mimbar

Sesuai dengan ukuran masjidnya, ruangan dalam masjid ini dirancang sebagai sebuah aula besar beratap sangat tinggi setara dengan gedung berlantai 4, Begitupun mihrab dan mimbarnya yang dibangun begitu tinggi. Bentuk mihrabnya berupa ceruk setengah lingkaran kemudian dibingkai dengan bentuk menyerupai sebuah gapura besar dilengkapi dengan dua bentuk pilar di kiri dan kanan yang bagian atasnya dihias dengan ukiran bewarna emas. Bahan nya menggunakan batu pualam yang di ukir dan dipahat begitu halus, kemudian diberikan aksen warna emas. Dibagian atas ceruk di hias dengan sedikit Muqornas (ragam hias stalaktit) dan di sisi Mihrab paling atas diletakkan dua inskripsi kaligrafi.

Mimbar diletakkan disebelah kanan mihrab. Sebuah mimbar yang cukup tinggi dilengkapi dengan jejeran anak anak tangga dan sebuah bentuk seperti gapura di depannya. bagian atas mimbar diberikan atap runcing seperti halnya ujung Menara masjid ini. rancangan mimbar seperti ini bertujuan untuk menempatkan khatib pada posisi yang mudah dilihat oleh seluruh jamaah di dalam masjid dan memungkinkan suaranya terdengar hingga Jemaah terjauh dari mihrab.  dinding pada sisi kiblat masjid ini juga dilengkapi dengan begitu banyak jendela termasuk di sisi kiri, kanan dan atas mimbar dan mihrabnya.

Pelataran tengah tertutup di Masjid Sultan Ahmed. Bangunan segi delapan ditengah tengah itu adalah pancuran air.

Masjid Sultan Ahmed dilengkapi dengan area sholat khusus untuk keluarga kerajaan, bila di Indonesia area tersebut dikenal dengan istilah Maksura yang terdapat di berbagai masjid kesultanan di Indonesia. Selain itu di masjid ini juga dilengkapi dengan area khusus untuk keluarga kerajaan berikut dengan ruangan untuk mereka beristirahat. masih di masjid ini juga terdapat ruangan tempat tinggal Imam masjid.

Exterior Masjid Sultan Ahmed

Seperti disebutkan di bagian depan tulisan ini, masjid Sultan Ahmed terdiri dari bangunan utama masjid dan pelataran dengan masing masing ukuran luasnya hampir sama. Pelataran tengah ini dikelilingi oleh koridor arcade berkesinambungan terhubung langsung ke bangunan utama masjid. disana juga ditempatkan tempat berwudhu di kedua sisinya. dibagian tengah pelataran ini juga terdapat pancuran kecil berdenah heksagonal.

Sebuah gerbang dibangun menuju ke area pelataran masjid dengan rancangan arsitektur yang cukup memukau dilengkapi juga dengan semi kubah dan struktur muqarnas yang apik. di puncak gapura ini dilengkapi dengan satu kubah berukuran kecil berdiri diatas tholobate (bentuk silindris seperti drum yang menopang kubah). Di komplek masjid ini juga terdapat bekas bangunan Sekolah Dasar (Sıbyan Mektebi) yang sangat bersejarah dan kini digunakan sebagai pusat informasi masjid. di pusat informasi ini pengunjung bisa mendapatkan informasi tentang Masjid Biru dan informasi tentang Islam secara umum dengan Cuma Cuma alias gratis.

Enam menara ?, Seharusnya adalah Menara Emas. Hanya saja yang sudah terlanjur berdiri adalah enam menara, bukan menara emas.

Satu hal menarik lainnya dari masjid ini adalah adanya rantai besi yang digantungkan di pintu masuk menuju ke pelataran masjid dari arah barat yang dulunya hanya digunakan khusus sebagai akses untuk Khalifah (kini tebiasa disebut dengan Sultan). Rantai tersebut digantung cukup rencah sehingga setiap kali Sultan hendak masuk ke masjid, beliau harus menundukkan kepala agar tak tersangkut di rantai besi tersebut. Sengaja dibuat demikian sebagai sebuah simbol dari sikap merendahkan diri dan bahwa kekuasaan penguasa sama sekali tidak sebanding dengan kekuasaan Allah Subhanahuwata’ala.

Enam Menara Atau Menara Emas ?

Masjid Sultan Ahmed ini merupakan salah satu dari dua Masjid di Turki yang memiliki enam Menara, salah satunya lagi adalah Masjid Sabanci di kota Adana yang dibangun pada era modern. Konon, berdasarkan kisah tutur, enam Menara pada masjid Sultan Ahmed ini dibangun karena Arsitek yang merancangnya salah mendengar perintah Sultan. Kala itu, dalam Bahasa Turki Sultan memerintahkan dibangun “Altin Minareler” atau “Menara emas” namun yang terdengar oleh arsiteknya justru “Alti Minare” yang berarti “Enam Menara”.

Masalahnya adalah pada saat itu baru Masjidil Harom di Mekah yang memiliki Enam Menara dan sudah menjadi ciri khasnya sebagai masjid dengan Menara terbanyak. Karenanya kemudian Sultan memerintahkan pembangunan satu menara lagi untuk Masjidil Haram di Mekah, hingga jumlah Menara Masjidil Haram menjadi tujuh lebih banyak dari Menara di masjid Sultan Ahmed sehingga tetap menjadikan Masjidil Haram sebagai masjid dengan Menara terbanyak.

Merendahlah dihadapan Allah. Siapapun yang akan lewat pintu ini harus menunduk bila tak ingin kepala terbentur rantai baja tersebut. sebuah simbol bahwa kekuasaan yang dimiliki manusia tak ada apa apa-nya dibandingkan kekuasaan Allah.

Menara Pinsil

Anda tahu bentuk pensil yang diraut, nah begitulah kira kira bentuk dasar Menara Menara masjid dari era Emperium Usmaniyah. Bentuknya selalu ramping, semampai dan runcing. masing masing Menara dilengkapi dengan tiga balkoni (dalam Bahasa Turki disebut (Şerefe) dengan penopangnya yang dibentuk seni muqornas (Stalaktit). Pada masanya, Menara ini benar benar berfungsi sebagai tempat Muazin mengumandangkan azan dari balkoni teratas Menara.

Setiap kali menjelang waktu sholat tiba, muazin akan naik ke Menara meniti tangga melingkar yang sempit di dalam Menara hingga ke balkoni puncak dan mengumandangkan azan disana sekeras kerasnya supaya suaranya terdengar sejauh mungkin. Fungsi tersebut kini sudah digantikan dengan sistem pengeras suara elektronik dan jangkauan suara azan dari masjid ini pun kini terdengar hingga ke seantero kawasan.

Lukisan wajah Sultan Ahmed 1.
Azan magrib di Masjid ini juga menjadi salah satu objek wisata menarik bagi para wisatawan asing disana sambil menyaksikan tenggelamnya matahari di senja hari seiring dengan lantunan azan yang merdu, bebeberapa media bahkan menyebutkan beberapa wisatawan asing yang pernah menikmati momen tersebut kemudian bahkan tersentuh untuk memeluk Islam.

Kunjungan Paus Benedictus XVI ke Masjid Sultan Ahmed

Paus Benedictus XVI selaku pemimpin ummat Katholik sedunia, pernah berkunjung ke Masjid Sultan Ahmed pada tanggal 30 November 2006 dalam rangkaian kunjungan beliau ke Turki. Ditemani oleh Mufti dan Imam Masjid Sultan Ahmed, Paus Benedictuts XVI melepaskan sepatunya, masuk ke masjid menuju ke depan mihrab kemudian berdiam diri disana sambil memejamkan mata sekitar dua menit. Kunjungan tersebut memiliki sejarah tersendiri bagi Masjid Sultan Ahmed dan Turki, mengingat bahwa kunjungan tersebut baru merupakan kunjungan kedua kalinya dari Orang Nomor Satu di Vatikan ke tempat ibadah ummat Islam sepanjang sejarah.***


Sabtu, 28 Januari 2017

Masjid Al-Anshor Pekojan, Jakarta Barat

Masjid Al Anshor Pekojan antara tahun 1910-1921 pada saat lingkungan disekitarnya belum sepadat saat ini. (foto hitam putih dari Tropenmuseum, diwarnai oleh IG @rajakelir)

Kawasan Pekojan di Jakarta memang sejak awal merupakan salah satu pemukiman muslim pertama di Batavia, tak mengherankan bila kini di kawasan ini dapat ditemui masjid masjid peninggalan dari masa lalu yang meski sudah melewati rentang waktu berabad abad masjid masjid tersebut tetap terpelihara dan tetap dengan fungsinya sebagai tempat ibadah bagi kaum muslimin sekaligus menjadi saksi bisu masuk dan berkembangnya Islam di Batavia.

Salah satu penginggalan dari era tersebut adalah Masjid Al-Anshar yang berlokasi di jalan pengukiran IV. Masjid Al-Anshor dibangun pada tahun 1684M, kurang dari 30 tahun setelah Belanda Membungihanguskan Jayakarta dan mendirikan Batavia, menjadikannya sebagai masjid tertua di kawasan Pekojan, lebih tua dari Masjid Jami’ Annawier (1760), Masjid Langgar Tinggi (1829), Masjid Azzawiyah (1812) dan Masjid Raudah (1905) yang semuanya merupakan masjid masjid tua Jakarta di Kawasan Pekojan.

Makin Tua Makin Terjepit

Setelah melewati rentang waktu lebih dari 3 abad, masjid Al-Anshor kini sulit untuk dapat dikenali fisik bangunannya karena sudah terhimpit diantara bangunan bangunan hunian yang semakin rapat disekitarnya. Jalan akses menuju ke masjid ini hanya berupa gang kecil untuk pejalan kaki. Kondisi yang cukup memprihatinkan untuk salah satu situs tapak sejarah di ibukota negara.

Atas dasar perlindungan sejarah, masjid ini masih dipertahankan hingga kini. Hanya saja, perawatan dan renovasi mengakibatkan pudarnya jejak sejarah dari Kampung Arab, ditambah lagi dengan lokasi pemukiman yang kian padat, membuat masjid tak terlihat dari luar. Meski jejak arsitektur sejarahnya sudah tak terlihat namun masjid ini tetap dicatat sebagai masjid tertua di Jakarta.

Masjid Al Anshor
Jalan Pengukiran IV RT 06 RW 04
Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, Indonesia


Sejarah Masjid Al-Anshor Pekojan

Anshor diambil dari bahasa Arab, kata “al anshor” berarti “pendatang”, penamaan yang pas sekali mengingat masjid ini memang didirkan oleh kaum pendatang muslim dari India sekitar tahun 1684. Lahan tempat berdirinya merupakan wakaf dari seorang muslim keturunan India. menurut Adolf HeukeN SJ, sejarawan yang meneliti tentang masjid-masjid tua di Jakarta, menyebutkan bahwa Masjid Al Anshor adalah masjid tertua dibandingkan masjid-masjid lainnya.

Keberadaan masjid ini diketahui dari laporan seorang pendeta di pertengahan abad ke 17, yang menyatakan adanya sebuah masjid dan sekolah agama untuk belajar mengaji di Kampung Pekojan. Adanya sebuah “masigit” tersebut dilaporkan kepada Dewan Gereja pada tahun 1648. Inilah Masjid Al-Anshor, yang kini masih berdiri di Kampung Pekojan, daerah yang paling banyak masjid-nya semasa kekuasan Kompeni di Batavia.

foto atas : Papan pengumuman tanah wakaf masjid Al-Anshor terpasang di depan masjid. Foto kiri bawah : Dua Makam tua di samping Masjid Al-Anshor. Foto kanan bawah : salah satu pintu akses Masjid Al-Anshor diantara tembok rumah warga.

Masjid ini disebut lagi pada tahun 1686-an oleh Abdul Rachman. Masjid sederhana serta polos, tiangnya balok kayu lurus tanpa hiasan. Inilah tanda umumya dan didirikan kurang dari tiga puluh tahun sesudah Masjid Jayakarta terbakar (atau lebih tepatnya dibakar) dalam serbuan J.P. Coen yang menyerbu Sunda Kelapa. Setelah VOC, atau kompeni menaklukkan Jayakarta pada tahun 1619, JP Coen, memporak-porandakan masjid kesultanan Jayakarta yang terletak di Kawasan Kali Besar Timur. Pangeran Jayakarta beserta pengikutnya kemudian hijrah ke Kawasan Jatinegara dan membangun Masjid Jami’ Assalafiyah.

Seiring dengan semakin berkembangnya Jemaah masjid ini dan juga mulai diramaikan oleh kaum muslim dari berbagai etnis sedangkan ukuran masjidnya terlalu kecil untuk menampung lonjakan jamaah, maka pada tahun 1748 orang orang Moor ini mendirikan masjid kedua mereka yakni Masjid Jami Kampung Baru di Jalan Bandengan Selatan, masih di kawasan Pekojan. Sejarah masjid Al-Anshor ini juga merupakah asal muasal dari sejarah kedatangan orang India muslim ke daerah Pekojan, sekaligus asal muasal dari terbentuknya Kampung Arab dahulu. Meski orang keturunan India muslim sudah tidak ada lagi di lingkungan tersebut.

Interior Masjid Al-Anshor.  Foto atas : Ruang dalam bagian paling tua dari Masjid Al-Anshor, Kiri bawah : mimbar dan mihrab Masjid Al-Anshor, foto kanan bawah : jeruji kayu di Masjid Al-Anshor.

Jejak Arsitektur Masjid Al-Anshor

Agak sulit menemukan masjid ini, karena terletak di gang kecil, Jl. Pengukiran IV, tak jauh dari Jl. Pejagalan Raya. Dahulu di sekitar masjid ini terdapat pemakaman. Tidak ada lagi yang tersisa dari pekarangan di sekitar masjid, sehingga kini hampir menyatu dengan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Ukuran bagian tertua masjid ini tidak lebih dari 10 x 10 m2 berdiri di atas lahan seluas 1.705 meter persegi.

Di bagian depan masjid, masih terdapat pemakaman kuno yang berkaitan dengan etnis India di Indonesia. Menurut Van Den Berg, sejarawan Islamologi asal Belanda, dahulunya makam ini ada tiga nisan namun kini hanya ada dua nisan yang terlihat. Namun jika ditanyakan kepada warga sekitar maka mereka hanya akan menjawab bahwa disana memang hanya ada dua makam.

Sukar menentukan bagian mana dari bangunan masjid yang sekarang ini, yang masih asli dari tahun 1648. Setelah diperbaharui pada tahun 1973 dan 1985 tidak meninggalkan bekas arsitektur dari masa pembangunannya. Dari tampak luar, bangunan masjid tidak terlihat sebagai masjid. Tidak ada gerbang, hanya dua buah pintu layaknya pintu di rumah biasa saja. Sebelah kanan terdapat kamar mandi dan tempat berwudhu.

Bagian pertama masjid Al-Anshor berada di sisi paling depan dari bangunan masjid saat ini.

Lantai ruang shalat sudah ditutup dengan ubin keramik yang masih tampak baru. Ruangan berikutnya sedikit menjorok ke bawah menuruni tangga, merupakan ruangan sisa dari Masjid Al Anshor tempo dulu. Tidak banyak yang tersisa, selain jendela masjid berkayu dan empat tiang kokoh penyanggah yang berada di tengah-tengah ruangan serta atap masjid yang masih diasrikan.

Masjid Bersejarah yang dilindungi

Status hokum masjid ini dibuktikan dengan sertifikat bangunan bernomor M. 166 tanggal 18-03-92 AIW/PPAIW : W3/011/c/4/1991 tanggal 8-5-1991. Keudian diperkuat lagi dengan pemasangan papan peringatan Undang Undang Monumen oleh Dinas Musium dan Sejarah Pemerintah DKI Jakarta yang berbunyi: Perhatian: SK Gubernur No.Cb.11/1/12/72 tanggal 10 Januari 1972 (Lembaran Daerah no.60/1972). Gedung ini dilindungi oleh Undang Undang (UU) Monumen ST BL 1931 No: 238. Segala tindakan berupa pembongkaran, perubahan, pemindahan diatas bangunan ini hanya dapat dilakukan seizin Gubernur Kepala Daerah. Setiap pelanggaran akan dituntut sesuai Undang Undang.***

------------------ooOOOoo-----------------

Baca Juga

Masjid “Si Pitung” Al Alam – Marunda          




Minggu, 22 Januari 2017

Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru

Masjid Agung Al-Azhar pada saat masih berdiri sendirian tanpa pesaing gedung gedung disekitarnya memanglah nampak sebagai sebuah landmark tanpa tanding di masanya.

Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru, Kota Administrasi Jakarta Selatan, merupakan salah satu masjid yang begitu populer di tanah air sejak berdiri di tahun 1952 hingga saat ini. Meskipun dari sisi sejarah, masjid ini bukanlah masjid pertama di Jakarta bahkan di wilayah Jakarta Selatan sekalipun, bukan pula masjid dengan ukuran terbesar, namun banyak faktor yang membuat masjid ini begitu terkenal salah satunya adalah kemampuannya untuk mengembangkan masjid sebagai pusat aktivitas ummat, tidak saja sebagai pusat keagamaan namun juga merambah ke ranah pendidikan hingga perekonomian. Para pendiri masjid ini sejak awal sudah menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas, berupaya mengembalikan masjid sebagai pusat peradaban.

Masjid Agung Al-Azhar telah dikukuhkan oleh Pemda DKI Jakarta sebagai salah satu dari 18 situs tapak sejarah perkembangan kota Jakarta. Selain itu, masjid ini dijadikan cagar budaya nasional per tanggal 19 Agustus 1993. Saat ini di komplek Masjid ini telah berdiri sekolah sekolah Islam dari Taman Kanak Kanak hingga Universitas dibawah pengelolaan Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar. Lokasi masjid ini juga sangat strategis, tak jauh dari terminal Bis Blok M, dan Bus Transjakarta (busway) juga telah membangun halte tepat di depan komplek masjid ini yang masuk dalam Koridor I rute blok M – Kota.

Masjid Agung Al-Azhar
Jl. Sisingamangaraja No.1, RT. 2, RW. 1, Selong
Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12110



Sejarah Masjid Agung Al-Azhar

Masjid Agung Al-Azhar dibangun pada tahun 1952 atas usaha 14 orang tokoh tokoh Masyumi diantaranya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid, untuk memiliki sebuah masjid utama di kawasan Kebayoran Baru. Atas anjuran Mr Syamsudin, Menteri Sosial RI pada saat itu, maka oleh para tokoh tersebut didirikanlah Yayasan Pendidikan Islam (YPI), pada tanggal 7 April 1952.

Yayasan tersebut pada tanggal 19 November 1953 mulai mendirikan sebuah masjid di atas lahan seluas 43.755 meter2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili Walikota Jakarta Raya. Pembangunan masjid tersebut selesai dibangun pada tahun 1958 dan diresmikan dengan nama Masjid Agung Kebayoran. Pada saat itu Wilayah Jakarta Raya (kini Provinsi DKI Jakarta) masih di kepalai oleh seorang Walikota.

Manakala beca masih bebas beroperasi di Jakarta

Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan Rektor Universitas Al Azhar, Dr. Mahmoud Syaltout yang diundang memberikan ceramah umum di masjid ini. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Muhammad Abdul Karim atau yang lebih dikenal sebagai Hamka. Hamka pula yang mentradisikan aktivitas kuliah subuh, pegajian hari Ahad, dan kuliah Ramadhan di masjid ini.

Pada tahun 1962 dalam kiprahnya membina pemuda dan pemudi Islam, MAA mengadakan kegiatan Pramuka Gugus Depan dan sore harinya Pendidikan Islam Al-Azhar (PIA) sampai berahirnya masa orde lama dan mulainya orde baru, membawa angin segar bagi dakwah Islam khususnya bagi umat Islam. MAA mulai mendiirikan lembaga pendidikan formal (th 1967), diawali dengan TK Islam Al-Azhar dan seterusnya susul menyusul mendirikan SDIA, SMPIA, SMAIA dan pada akhirnya mendirikan Universitas Al Azhar Indonesia.

dan kini Masjid Agung Al-Azhar tampak mungil diantara gedung gedung jangkung kota Jakarta

Aktivitas Masjid Agung Al-Azhar

Kegiatan yang sudah mentradisi di masjid ini tentu saja adalah kuliah subuh, pegajian hari Ahad, dan kuliah Ramadhannya yang sudah terkenal sejak masa Buya Hamka. Selain itu kegiatan Majelis Taklim, Kursus Kader Mubaligh, Studi Islam, Kursus bahasa dan dakwah di Masjid Al Azhar sangat terbuka menerima jamaah dari daerah lain. Kegiatan di Masjid Agung Al Azhar ini bisa diikuti oleh seluruh masyarakat.

Kegiatan untuk remaja di masjid ini ditangani oleh Youth Islamic Study Club (YISC) saat Ramadan ini menggelar pesantren kilat untuk anak-anak dan remaja. Selama Ramadan, Masjid Agung Al Azhar sudah menyusun berbagai kegiatan keislaman baik yang rutin maupun nonrutin. Kegiatan rutin berlangsung mulai dari subuh hingga malam hari. Sebelum menunaikan salat subuh dan zuhur, serta sebelum berbuka puasa, jemaah Masjid Al Azhar mendapat pencerahan melalui program kuliah tujuh menit (kultum).

Interior Masjid Agung Al-Azhar

Masyarakat yang ingin memperbaiki cara membaca Alquran juga dapat mengikuti tadarus, tahsin, dan tadabbur Alquran. Panitia menyediakan tiga waktu setiap harinya, yakni sebelum salat zuhur, sebelum salat asar, dan bakda atau setelah salat tarawih. Tadabbur atau kajian tafsir Alquran dilakukan bakda tarawih setiap Senin dan Rabu. Bagi masyarakat yang belum bisa atau lancar dalam membaca Alquran, panitia menyediakan waktu belajar dasar membaca Alquran,

Kegiatan nonrutin yang diadakan di bulan Ramadan antara lain bazar Ramadan di lapangan parkir utara dan kampung Ramadan di lapangan hijau Masjid Agung Al Azhar. Acara buka puasa untuk anak-anak yatim dan duafa digelar di Aula Buya Hamka, Selain itu, Masjid Agung Al Azhar juga mengadakan berbuka puasa lokasi tak biasa yakni di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan negara (rutan) seperti di Rutan Pondokbambu, Lapas Anak Tangerang, dan Lapas Pemuda di Tangerang. sementara pengajian khusus untuk mereka yang sibuk dengan profesi dan pekerjaannya tersedia program pengajian lepas kerja. Selengkapnya tentang aktivitas di Masjid Agung Al-Azhar ini dapat dilihat di situs resmi Masjid Agung Al-Azhar.***

--------------------------------ooOOOoo--------------------------------

Artikel Masjid Jakarta Selatan Lain-nya


Sabtu, 21 Januari 2017

Masjid Dar-As-Salam Pertama di P.E.I Kanada

Tidak mirip dengan masjid pada umumnya, bangunan Masjid Dar-As-Salam di kota Charlestown provinsi Prince Edward Island, Canada, dibangun dengan gaya seperti bangunan setempat pada umumnya sehingga keberadaan Masjid pertama di Prince Edward Island ini tidak terlihat mencolok diantara gedung gedung lainnya.

Prince Edward Island (P.E.I) adalah salah satu provinsi di Kanada dengan luas dan jumlah penduduk terkecil. Provinsi juga merupakan satu satunya provinsi di Kanada yang seluruh wilayahnya merupakan jajaran pulau pulau terdiri dari pulau terbesarnya adalah Prince Edward Island atau Pulau Pangeran Edward serta 231 pulau pulau kecil disekitarnya. Keseluruhan wilayah daratan pulau pulau di provinsi ini bila disatukan luasnya sekitar 5,685.73 km2, sedikit lebih luas dari pulau Bali 5.561 km2 ataupun pulau Madura 5.290 km2.

Pulau Prince Edward terhubung langsung dengan daratan besar Kanada melalui sebuah jembatan laut sepanjang 13 kilometer bernama Jembatan Konfederasi (Confederation Bridge / Pont De La Confederation). Provinsi P.E.I beribukota di Charlottetown. Nama pulau ini dinisbatkan kepada Pangeran Edward, Duke of Kent and Strathearn (1767–1820) yang merupakan putra ke empat dari Raja George III dan Ratu Victoria.

Penjelajah Prancis Jacques Cartier merupakan orang Eropa pertama yang melihat pulau tersebut di tahun 1534 menyusul kemudian menjadi bagian dari Koloni Prancis, dan kemudian menjadi koloni Inggris sejak 1763. Pulau Pangeran Edward ini memiliki sejarah penting bagi Kanada Karena di pulau inilah sejarah awal pembentukan negara Kanada di tahun 1867, itu sebabnya Pulau ini juga seringkali disebut sebagai Pulau Konfederasi.

Di provinsi P.E.I Kanada ini terdapat sekelompok kecil kaum muslimin yang tinggal disana, Komunitas kecil muslim di P.E.I ini kebanyakan berasal dari Timur Tengah termasuk Mesir. Sejak tahun 1990 mereka telah membentuk organisasi resmi dengan nama Muslim Society of Prince Edward Island. Mereka juga telah memiliki satu bangunan Masjid lengkap dengan sarana pendukungnya dan masjid tersebut merupakan masjid pertama di provinsi P.E.I. Masjid tersebut bernama Masjid Dar-As-Salam.

Masjid Dar As-Salam
15 MacAleer Drive, Charlottetown, PE C1E 2A1, Canada



Masjid Dar As Salam P.E.I ini berada di 15 MacAleer Drive. Kota Charlottetown, Propinsi Prince Endward Island, Kanada. Lokasi masjid ini berada di ujung barat daya Bandara Charlottetown, dan hanya terpaut sekiat 200 meter dari Gereja Good News Baptist Church-Fundamental, atau sekitar 100-an meter dari gerbang Bandara Charlottetown.

Masjid Dar-As-Salam dibangun seperti kebanyakan  bangunan setempat, tidak seperti bangunan masjid yang kita kenal dengan kubah besar dan menara. Seperti kebanyakan bangunan setempat lainnya, Masjid Dar-As-Salam inipun dilengkapi dengan ruang basement yang menjadi ruang pendukung bagi aktivitas masjid ini, di lantai ini merupakan area ruang pengelola, tempat wudhu hing dapur untuk keperluan masjid.

Pembangunan masjid ini diselenggarakan oleh The Muslim Society of P.E.I yang merupakan Komunitas Muslim setempat dengan dana swadaya jemaah, proses pembangunannya dimulai sejak empat tahun 2008. Gagasan pembangunannya sudah dicetuskan sejak pertama kali pembentukan komunitas Muslim P.E.I di tahun 1990 dimulai dengan dengan penggalangan dana dari seluruh jemaah.

Masjid Dar-As-Salam pada saat dalam proses tahap ahir pembangunan

Pada saat rencana pembangunan masjid pertama kali digulirkan, panitia pembangunan hanya mengantongi dana kurang dari $100 ribu, rasanya tidak mungkin dapat dilakukan untuk mengumpulkan dana hingga setengah juta dolar hanya dalam waktu enam bulan. Namun berkat kerja keras dari panitia penggalangan dana yang diketua oleh Dr. Suleiman Sefau, sukses menangguk dana dari berbagai kalangan.

Metoda penggalangan dana dilakukan dengan mengirimkan ratusan surat, menelepon semua pihak yang dianggap dapat membantu termasuk kolega, sahabat dan saudar, malam penggalangan dana, bazaar makanan, permintaan dana dari individu ke individu lainnya sampai ahirnya berhasil mendapatkan dana yang dibutuhkan. setelah melalui masa pembangunan selama hampir 4 tahun Masjid Dar As Salam diresmikan hari Sabtu 14 Juli 2012 dihadiri oleh seluruh muslim di propinsi pulau tersebut.

Pada saat peresmian masjid seluruh anggota komunitas berkumpul disana dengan membawa anggota keluarga mereka. Upacara peresmian ditandai dengan pemotongan kue oleh presiden komunitas muslim P.E.I, Najam Chishti. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa pembangunan masjid tersebut tidak akan terwujud tanpa kerjasama dari seluruh komponen masyarakat P.E.I.

Interior Masjid Dar-As-Salam

Acara peresmian tersebut turut dihadiri Walikota Charlottetown, Clifford Lee yang hadir dalam acara open house di masjid tersebut. Beliau sempat berujar  bahwa masjid tersebut merupakan satu contoh pengakuan akan pentingnya para imigran di P.E.I dan bagaimana masjid tersebut menjadi contoh sempurna bagi sebuah tempat dimana semua orang dari komunitas masyarakat dapat datang dan berkumpul disana.

Jum’atan di Gereja

Sebelum masjid ini dibangun komunitas muslim disana meyelenggarakan ibadah sholat berjamaah dengan menumpang di aula gereja. Di hari minggu gereja dipakai oleh umat Kristen dan tiba di hari Jum’at digunakan oleh muslim disana untuk menunaikan ibadah sholat fardhu Jum’at.

Kini setelah masjid Dar As Salam resmi dibuka komunitas muslim disana dapat dengan leluasa menjalan aktivitas komunal mereka termasuk sholat berjamaah, aktivitas sosial dan budaya termasuk pendidikan bagi putra putri mereka, di masjid yang baru berdiri tersebut.

Area tempat wudhunya yang unik

Masjid Dar As Salam tidak saja menyelenggarakan kegiatan ibadah rutin, tapi juga berfungsi sebagai Islamic Center dengan menyelenggarakan program pendidikan Sunday School (Sekolah Minggu untuk anak anak –mirip dengan program Gereja), halaqoh, belajar membaca Al-Qur’an serta ta’lim bagi jemaah muslim dan muslimah. Masjid ini juga terbuka bagi non muslim dalam suasana yang  bersahabat guna menciptakan iklim yang baik bagi dialog lintas kepercayaan, perdamaian dan saling pengertian.

Komunitas kecil muslim di P.E.I yang sebagian besar adalah imigran telah menjadi bagian integral dari pulau tersebut, mereka secara aktif terlibat dalam semua aktivitas sosial kemasyarakatan termasuk dalam berbagai aktivitas penggalangan dana bagi pembangunan rumah sakit, Bank makanan, hingga penggalangan dana untuk palang merah Kanada.(dari bujanglanang)***

--------------------------------------

Baca Juga



Minggu, 15 Januari 2017

Masjid Jami’ Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Masjid Jami' Kebun Jeruk, salah satu masjid tertua di Jakarta, dibangun oleh Muslim Thionghoa Batavia.

Kiprah muslim Thionghoa Indonesia terekam dengan indah di Masjid Jami’ Kebon Jeruk, Jakarta Barat, salah satu masjid tua Jakarta dari Era kejayaan Batavia di masa lalu. Masjid Jami’ Kebon Jeruk ini pertama kali dibangun oleh Chau Tsien Hwu atau Tschoa pada tahun 1786M. Di halaman sebelah timur masjid tua terdapat makam Fatimah Hwu yang merupakan istri Chau Tsien Hwu. Nisan dari makam yang bertarikh 1792M ini cukup unik dengan bentuk naga bertulisan huruf cina berbunyi “Hsienpi Men Tsu Mow yang artinya “inilah makam China dari keluarga Chai, dan menggunakan pertanggalan Arab.

Surau kecil itu yang kemudian berkembang menjadi sebuah masjid yang diberi nama Masjid Jami’ Kebon Jeruk dan bertahan melintasi jaman melayani ummat Islam, menjadi saksi bisu manis getirnya sejarah etnis Thionghoa di Jakarta. Masjid Jami’ Kebon Jeruk menjadi masjid pertama yang dibangun oleh muslim Thionghoa di Indonesia dan menjadi masjid pertama di kawasan pusat bisnis Glodok. Kini, setelah 220 tahun berlalu, Masjid Jami’ Kebon Jeruk selalu di padati oleh jamaah dari berbagai daerah, bahkan muslim dari berbagai negara pun mudah kita jumpai di sini termasuk jemaah dari Pakistan, India, Arab Saudi dan Malaysia.

Alamat dan Lokasi Masjid Jami’ Kebon Jeruk

Masjid Jami’ Kebon Jeruk
Jalan Hayam Wuruk No. 85,
Kelurahan Maphar, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat.



Akses:
Bianglala P 69 Kota – Ciputat
Bianglala AC 45 Kota – Ciputat
Steady Safe 949         Kota – Kaliders
Steady Safe AC110 Tanjung Priok – Tanah Abang

Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum dan Sejarah melalui SK Gubernur No Cb11/1/12/72 tanggal 10 Januari 1972 menetapkan Masjid Jami , Kebon Jeruk di Jl Hayam Wuruk, Jakarta Barat, ditetapkan sebagai monumen sejarah.

Sejarah Masjid Jami’ Kebon Jeruk

Menurut data dari Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi Jakarta, Masjid Jami’ Kebon Jeruk didirikan oleh seorang Muslim Tionghoa bernama, Chau Tsien Hwu atau Tschoa atau Kapten Tamien Dosol Seeng di tahun 1786. Beliau adalah salah seorang pendatang dari Sin Kiang, Tiongkok yang kabur dari negerinya karena ditindas oleh pemerintah setempat. Sesampai di Batavia, ia menemukan sebuah surau yang tiangnya telah rusak serta tidak terpelihara lagi. Kemudian di tempat tersebut, ia dan teman-temannya, sesama pendatang dari Tiongkok mendirikan mesjid dan diberi nama Masjid Kebon Jeruk. Alasan diberinya nama Masjid Kebon Jeruk, menurut petugas Istiqbal (humas-red) Masjid Kebon Jeruk, Abdul Salam, karena memang pada waktu itu di daerah ini ditumbuhi banyak pohon jeruk.

Jauh sebelumnya, tahun 1448 Masehi, di lokasi ini telah berdiri sebuah mesjid surau atau langgar. Bangunannya bundar, beratap daun nipah, bertiang empat, masing-masing penuh dengan ukiran. Siapa saja pendirinya tidak diketahui. Chan tsin Hwa beserta istrinya Fatima hwu tiba di Batavia pada tahun 1718, dan menetap di daerah Kebon Jeruk sekarang ini. Mereka ini adalah rombongan muhajirin (pengungsi) yang memeluk agama Islam, yang terpaksa meninggalkan negrinya karena terdesak oleh penguasa Dinasti Chien yang menganut agama leluhur mereka, Budha.

Detil ekterior Masjid Jami' Kebun Jeruk. atas papan peringatan cagar budaya, kiri bawah : makam tua di Masjid Jami' Kebun Jeruk dan kanan bawah ; detil ornamen pada ujung atap masjid Jami Kebun Jeruk.

Oleh karena itu mereka tidak berniat lagi untuk kembali ke negri leluhurnya, mereka bermukim di sini. Lalu Mendirikan mesjid di lokasi bekas mesjid mungil tersebut tadi. Itulah Mesjid Kebun Jeruk yang sekarang ini. Menaranya sudah lama runtuh karena memang telah sangat tua. Mimbarnya yang antik terbuat dari kayu kembang, kini masih tersimpan di Museum Fatahillah.

Fatima hwu wafat tahun 1792, dimakamkan di halaman belakang mesjid. Pada nisan bergaya Cina, terdapat pahatan enam aksara cina yang berbunyi :”Hsienpi Chai Men Tsu Mow”, yang berarti “Inilah makam wanita dari keluarga Chai”. Sedangkan Chan Tsin Hwu, menurut sejarah wafat di Cirebon dan dimakamkan di gunung Sembung.

Selain nilai historisnya, masjid ini menjadi terkenal karena Masjid Kebon Jeruk sebagai pusat kegiatan tabligh dan dakwah Islam di Indonesia. Masjid Jami’ Kebon Jeruk ini menjadi markas kegiatan Jemaah Tabligh untuk wilayah Indonesia dengan kegiatan jamaahnya adalah melakukan penyebaran Islam dengan mengunjungi berbagai tempat di seluruh nusantara dan berbagai negara.

Aktivitas Masjid Jami’ Kebon Jeruk

Hal yang menarik, selama bulan Ramadhan, banyak jamaah dari berbagai daerah dan negara melakukan I’tikaf di Masjid Kebon Jeruk ini. Jemaah yang datang dari berbagai penjuru tanah air dan mancanegara itu melakukan semua aktivitas kesehariannya di Masjid ini selama bulan suci Ramadhan. Banyaknya jemaah dari berbagai penjuru tanah air dan mancanegara di masjid ini karena memang Masjid Kebon Jeruk merupakan markas dari Jemaah Tabligh Indonesia.

Detil Interior Masjid Jami' Kebun Jeruk

kegiatan yang paling unik adalah saat berbuka puasa. Pada waktu berbuka puasa, ada sekitar puluhan kelompok secara bersama-sama menyantap hidangannya dalam satu tampah. ritual tersebut dijalankan karena disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Rasulullah sering menyantap hidangan berbuka puasa bersama-sama dengan para sahabatnya dalam satu wadah. Dengan cara ini, kita juga merasakan kebersamaan dan Ukhuwah Islamiyah.

Selain ritual tersebut, ada dua amalan yang harus dikerjakan oleh para jamaahnya, yakni amalan Infiradhi dan Ijtima’i. Pada amalan infiradhi, setiap orang menjalankan ibadahnya secara sendiri-sendiri, seperti Shalat Dhuha, Shalat Tahajud, Shalat Isra’, membaca Al-Qur’an setiap harinya minimal satu Juz, dan melakukan dzikir sepanjang hari. Sedangkan amalan Ijtima’i, adalah amalan yang dilakukan secara bersama-sama, seperti menjalankan shalat fardhu, Shalat Tarawih, berbuka puasa dan menghadiri berbagai majelis-majelis. ada dua majelis yang wajib dihadiri setiap jamaah, yakni Majelis Khurghazi dan Majelis Bayan.

Majelis Khurgazi adalah suatu majelis yang berupa kesaksian seseorang yang baru pulang dari perjalanannya di jalan Allah dan mengajak para jamaah untuk ikut melakukan perjalanan ini. Biasanya majelis ini diadakan setelah Shalat Ashar sampai jam setengah lima sore, Setelah Shalat Shubuh dan Tarawih, Majelis Bayan digelar. Dan setiap jamaahnya wajib mendengarkan ceramah-ceramah para ustad. Isi ceramahnya mengenai pentingnya amal shaleh bagi kita.

Bangunan baru di Masjid Jami Kebun Jeruk Jakarta yang kini menjadi Markas Jama'ah Tabligh Indonesia

Diluar bulan suci Ramadhan, Masjid Kebon Jeruk ini tetap ramai dengan aktivitasnya. Masjid Kebon Jeruk saat ini merupakan markaz (pusat kegiatan) usaha Tabligh di Indonesia. Semua hal yang berkaitan dengan permasalahan, kendala, rencana kegiatan, pengiriman jamaah dan lain-lainya yang berkaitan dengan usaha Tabligh di Indonesia digodog dalam musyawarah yang setiap hari dilakukan di masjid ini.

Masjid ini setiap harinya selalu dipenuhi dengan jamaah-jamaah transit, yang datang dari berbagai tempat di dalam maupun luar negeri, untuk kemudian pergi melanjutkan perjalanan dakwahnya ke tempat-tempat yang telah diputuskan dalam musyawarah. Apa yang dilakukan di masjid ini adalah ingin mencontoh apa yang telah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya di Masjid Nabawi dulu. Bukan pada kemegahan bangunannya, atau keindahan arsitekturnya, tetapi pada amalan-amalan agama yaitu menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan dakwah, ta’lim dan taallum, dzikir dan ibadah serta hidmat (pelayanan).

Seakan tak mau kalah dengan kesibukan kesibukan di kawasan jalan Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, aktivitas di masjid ini juga berlangsung selama 24 jam setiap hari, 7 hari dalam seminggu, 30 hari dalam sebulan dan 365 hari dalam setahun. Tidak ada kata libur atau waktu luang di dalam aktifitas keagamaan di masjid ini, hari-hari di dalamnya full dengan berbagai kegiatan ; ta’lim, muzakarah, bayan, dzikir, shalat, baca Alquran, musyawarah, khidmat dan lain sebagainya.***

--------------------------------ooOOOoo--------------------------------

Baca Juga Artikel Masjid Masjid Jakarta Lain-nya