Minggu, 26 Februari 2017

Mesjid Besar Bujang Salim Krueng Geukuh, Aceh Utara

Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh benar benar menorehkan bentuknya di Masjid Besar Bujang Salim di Krueng Gekeuh, ibukota kabupaten Aceh Utara ini.

Masjid Besar Bujang Salim merupakan masjid pertama yang dibangun dikawasan yang kini dikenal dengan kecamatan Dewantara, kabupaten Aceh Utara. Pembangunan masjid ini diprakarsai dan dibangun di atas tanah seorang bangsawan kerajaan Nisam, Teuku Rhi Bujang alias Teuku Bujang Slamat bin Rhi Mahmud yang kemudian dikenal dengan nama Bujang Salim. Semasa hidupnya beliau juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, dan nama masjid ini merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada beliau.

Masjid Besar Bujang Salim ini seringkali disebut sebagai kembarannya Masjid Raya Baiturrahman di Kutaraja Banda Aceh karena kemiripan diantara keduanya. Namun demikian kedua masjid ini tidaklah benar benar serupa meski memang pembangunan masjid Bujang Salim ini meniru gaya masjid Raya Baiturrahman. Sekilas pandang kedua masjid ini memanglah tampak serupa. Namun demikian, bila Masjid Raya Baiturrahman memiliki tujuh buah kubah, Masjid Besar Bujang Salim ini hanya memiliki lima kubah saja.

Masjid Budjang Salim
Jl. Ramai Keude Krueng Geukueh
Ds. Beringin Dua, Kec. Dewantara, Kab. Aceh Utara
Provinsi Aceh, Indonesia


Masjid Percontohan Nasional 2016

Masjid Besar Bujang Salim meraih penghargaan sebagai juara satu lomba masjid percontohan kategori Ri’ayah (pembangunan/pemeliharaan) tingkat nasional tahun 2016 yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) RI. Pada awal 2016, Masjid Besar Bujang Salim terpilih menjadi masjid besar percontohan di Aceh, menjadikannya sebagai wakil provinsi Aceh untuk mengikuti lomba masjid tingkat nasional yang diadakan Kementerian Agama RI melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Proses penilaian diawali dengan verifikasi oleh tim Kemenag RI pada September 2016. Tim yang turun langsung ke lokasi masjid ini, menilai idarah (manajemen), imarah (kemakmurah/peribadatan), dan ri’ayah. Aspek penilaian bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga sarana dan kegiatan di masjid. Hasil verifikasi lapangan ini diperiksa kembali dalam sidang yang melibatkan Dewan Majelis Indonesia (DMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), panitia lomba, serta organisasi masyarakat Islam.

Pada 13 Desember 2016, Kabid Imarah Bujang Salim Tgk M Katsir Syamsyuddin memenuhi undangan panitia untuk mempresentasikan profil masjid tersebut di hadapan para guru besar dari berbagai universitas dan unsur lainnya, yang menjadi dewan juri, di Lumire Hotel Pasar Senen, Jakarta Pusat. Setelah melewati proses panjang dan perbandingan dengan masjid-masjid lain dari seluruh Indonesia, dewan juri sepakat menetapkan Masjid Besar Bujang Salim sebagai juara satu masjid percontohan untuk kategori Ri’ayah (pembangunan/pemeliharaan). Sementara juara kedua diraih oleh Masjid Asmaul Husna Banten dan juara tiga Masjid Baitul Makmur, Kepulauan Riau.

Fitur interior Masjid Besar Bujang Salim

Tropi dan piagam penghargaan yang diteken Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, diserahkan Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, Prof Dr Muhammadiyah Amin. Tropi itu diterima Ketua Badan Kesejahteraan Masjid Besar Bujang Salim Tgk Jalaluddin Ibrahim, didampingi Tgk M Katsir Syamsyuddin dan Kasi Kemasjidan Kantor Wilayah Kemenag Aceh Rizal Mulyadi MA, di Lumire Hotel, Jakarta. Selain tiga masjid tersebut, juga diberikan piagam penghargaan kepada 9 masjid lain di Indonesia dalam kategori percontohan iradah, imarah, dan paripurna.

Sejarah Masjid Bujang Salim

Masjid Bujang Salim dibangun pada tahun 1921 dengan semangat memperkuat persatuan dan kesatuan. Kala itu, belum ada masjid di kawasan yang kini masuk wilayah Kecamatan Dewantara, sehingga masyarakat setempat harus melaksanakan shalat jamaah di rumah masing-masing atau di meunasah dengan kondisi yang terbatas. Kondisi ini mendapat perhatian serius dari bangsawan kerajaan Nisam Teuku Rhi Bujang alias T Bujang Slamat bin Rhi Mahmud. Pria pemberani yang kerap menentang kolonial Belanda ini merupakan pahlawan perintis kemerdekaan RI yang berasal dari Nisam.

Teuku Bujang Slamat memprakarsai pembangunan masjid, di atas tanahnya yang berada pusat Keude Krueng Geukueh dengan ukuran 20 x 15 meter. Namun, sebelum dapat meletakkan batu pertama pendirian masjid tersebut, tahun 1921 Teuku Bujang diasingkan ke Papua, karena menentang Kolonial Belanda. Bahkan, untuk menghilangkan pengaruhnya dari negeri ini, Bujang Slamat diasingkan hingga ke Australia. Kendati demikian, pembangunan masjid yang digagasnya terus dilanjutkan oleh masyarakat setempat.

Jemaah sholat jum'at di dalam Masjid Besar Bujang Salim

Pembangunan masjid ini dilanjutkan Uleebalang asal Dewantara, Ampon Hanafiah. Hingga kemudian berhasil dibangun masjid sederhana dengan ukuran 20x15 meter. Dalam perjalanannya, masyarakat setempat sepakat menambalkan nama Teuku Bujang Slamat menjadi nama masjid Jamik tersebut, yaitu dengan nama Bujang Salim.

Tahun 1980 dibawah pimpinan tokoh masyarakat, Tgk H A Gani masjid ini diperluas dari ukuran 20 x 15 meter menjadi 40 x 30 meter. Tahun 1990 statusnya menjadi Masjid Besar Bujang Salim, karena selain karena masjid pertama yang didirikan di Dewantara juga karena lokasinya berada di pusat kecamatan serta sudah banyak masjid jami lainnya di sekitar kawasan tersebut.

Perluasan masjid tersebut kembali dimulai pada 1996 atas usulan masyarakat yang dipimpin Camat Dewantara kala itu, Drs H Marzuki M Amin. Masjid yang sebelumnya berukuran 40 x 30 meter menjadi 60 x 30 m. Perluasan juga dilakukan untuk pekarangan masjid, dari ukuran 50 x 30 meter menjadi 95 x 80 meter dan pembangunan menara, Taksiran dana yang digunakan untuk membangun masjid itu sudah mencapai Rp 12 miliar.

Mimbar dan Mihrab Masjid Besar Bujang Salim

Aktivitas Masjid Besar Bujang Salim

Masjid Besar Bujang Salim tidak saja memiliki ukuran yang besar namun juga memiliki keindahan tersendiri baik ekterior maupun interiornya. Masjid Bujang Salim memiliki luas 1650 meter persegi dan mampu menampung hingga 2500 jemaah sekaligus. Pembangunannya di danai oleh masyarakat muslim setempat serta bantuan dari beberapa perusahaan seperti PT AAF, PT PIM, PT Arun, Pemda Aceh Utara, dan Pemerintah Aceh.

Tak hanya salat lima waktu dan salat Jumat, Masjid Bujang Besar Salim juga digunakan untuk pengajian rutin saban malam yang diasuh sejumlah ulama. Kecuali Senin malam dan Jumat malam karena pada Senin malam pengurus masjid masjid ini mengikuti pengajian di Abu Paloh Gadeng (Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Utara, pimpinan dayah di Paloh Gadeng). Di masjid ini, ada pula majelis taklim dari kelompok pemuda, pengajian kaum ibu, dan pengajian anak-anak. Selain dari semua itu, masjid Besar Bujang Salim ini juga memiliki aula dan Stasiun Radio sendiri.

Genset di masjid ini memiliki cerita unik tersendiri. Adalah Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf atau Mualem, dalam satu kesempatan ber i’tikaf dalam masjid tersebut seusai Magrib, tiba-tiba listrik padam. Dan sebulan kemudian di awal tahun 2013 beliau memberikan bantuan generator set (genset) otomatis berukuran besar untuk masjid Besar Bujang Salim.

Teuku Bujang bin Teuku Rhi Mahmud (1891-1959) Pahlawan Pergerakan Kemerdekaan asal Aceh yang belum menjadi Pahlawan Nasional.

Siapakah Bujang Salim ?

Bujang Salim (1891-1959) atau Teuku Rhi Bujang Selamat atau Bujang Salim Bin Rhi Mahmud dikenal sebagai salah seorang Pahlawan Perintis Pergerakan Kebangsaan / Kemerdekaan). Beliau dilahirkan pada tahun 1891 di Nisam, Kecamatan Keude Amplah, Kabupaten Aceh Utara. Putra Uleebalang Nanggroe Nisam.

Pada tahun 1912 beliau menyelesaikan kelas 5 (lima) Kweekschool dan Osvia di Bukit Tinggi (Sumatera Barat) dan kemudian kembali ke Aceh. Tahun 1913 menjabat sebagai Zelfbsrtuurdier Nanggroe Nisam, namun pada tanggal 8 Februari 1920 beliau dipecat dan dibuang ke Mearuke (Papua) akibat dari aktifitasnya di bidang politik dan keagamaan, yang mengundang kekhawatiran pihak penjajah Belanda.

Selama di sana, Bujang Salim juga melakukan aktifitas pendidikan dan keagamaan yang merupakan suatu kegiatan bertentangan dengan kebijakan Belanda ketika itu dan lagi lagi beliau dibuang ke Tanah Merah (Digul) pada 5 April 1935. Semasa penjajahan Jepang, pada 11 Mei 1942, Bujang Salim diungsikan ke hutan Bijan, kemudian dikembalikan lagi ke Meurauke. Pada 3 November 1942, ia kembali dibawa pulang ke Tanah Merah. Pertengahan tahun 1943, atas anjuran Van Der Plas pemerintahan interniran Belanda, mengangkut semua orang buangan untuk diungsikan ke Australia, termasuk Bujang Salim. Tiba di Mackay, Australia, 5 Juni 1943.

Masjid Besar Bujang Salim. 

Akhir tahun 1945, pemerintah interniran Belanda memerdekakan orang-orang buangan tersebut dan dijanjikan akan dipulangkan ke masing-masing tempat asal. Pada 7 Oktober 1946, Bujang Salim dan rombongan eks buangan diberangkatkan dengan kapal barang tentara sekutu dan tiba di Jakarta, 14 Oktober 1946. Ia dimasukkan ke kamp Chause Complex, satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke Cirebon dan diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Sedangkan Bujang Salim, karena anaknya sakit keras, tidak jadi diberangkatkan sampai empat bulan lamanya.

Bujang Salim kemudian berhubungan sendiri dengan pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementrian Dalam Negeri di Purwokerto, dipekerjakan di sana sementara menunggu kapal yang berangkat dari Cilacap menuju Sumatera. Karena Agresi I Belanda pada 31 Juli 1947, ia dan keluarga terpaksa mengungsi ke lereng-lereng gunung Slamet (Jawa Tengah) selama enam bulan.

Pada Maret 1948, ia ditangkap oleh satu pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk diperiksa. Dua hari kemudian ia dilepaskan dan dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia dibawa ke Medan (Sumatera Utara), tiba 20 April 1948. Pada Februari 1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu, Bujang Salim diberangkatkan ke Kutaradja (Banda Aceh). Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukuh, yang saat itu merupakan bagian dari Nanggroe Nisam. Bujang Salim meninggal dunia pada Rabu, 14 Januari 1959 dan dikebumikan di Krueng Geukuh, di dekat Masjid Besar Bujang Salim yang beliau prakarsai pembangunannya. Selama hidup, beliau dikaruniai 8 (delapan) orang putra dan putri.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA