Minggu, 24 Oktober 2010

Masjid Kampung Keling Malaka, Malaysia

Masjid Kampung Keling (Kampong Kling) Malaka.

Masjid Kampung Keling dibangun tak lama setelah pembangunan Masjid Kampung Hulu Malaka. dimasa penjajahan Belanda di Malaka. Ketika itu Belanda memberikan kebebasan untuk mendirikan masjid sebagai usaha untuk menarik hati orang orang melayu dan kaum muslimin Malaka waktu itu, setelah di era penjajahan Portugis, warga Muslim dilarang mendirikan Masjid bahkan keseluruhan bangunan masjid yang sudah ada dihancurkan oleh Portugis. Keseluruhan biaya pembangunan masjid ini berasal dari jemaah. Masjid Kampung Keling ini merupakan salah satu masjid tertua di Malaysia, dan berada dibawah pengawasan Kementerian Musium dan Purbakala Malaysia.

Menara Masjid Kp. Keling.
Dibangun dengan arsitektur masjid masjid di tanah Jawa dan Sumatera. Kayu kayu yang dipakai untuk pembangunan masjid di datangkan langsung dari Kalimantan, Indonesia. Sementara mastaka masjid, berikut keramik keramik yang menghiasai bangunan masjid ini di datangkan dari Cina. Maski dinding dinding dan tiang tiang kayu nya sudah diganti dengan beton, namun keaslian masjid ini tetap dijaga dengan baik. 4 soko guru utamanya masih berdiri kokoh di tengah masjid tak tergerus waktu, meski 4 sokoguru ini merupakan sokoguru kayu dari bangunan pertama masjid yang sengaja tak diganti dengan beton.

Lokasi Masjid Kampung Keling

Masjid Kampung Keling berada di ujung jalan Hang Lekiu dan Jalan Tokong atau Lorong Harmoni atau Temple street, Malaka 75200, Malaysia. Semua agama utama di Malaka terwakili di jalan ini. dijalan yang sama tak jauh dari Masjid Kampung Keling berdiri Kelenteng Cina Cheng Hoon Tseng dan Kuil Hindu Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi yang juga berada di Jalan Tokong.

 

Arsitektur Masjid Kampung Keling

Interior Masjid Kampung Keling, tampak jelas dua Sokoguru nya

Masjid Kampung Keling yang dibangun tak lama setelah berdirinya Masjid Kampung Hulu Malaka, memiliki arsitektural bangunan yang serupa dengan Masjid Kampung Hulu Malaka. Mengadopsi tradisi masjid Jawa dan Sumatera dengan 4 sokoguru menyanggah struktur atap bangunan utama. Ditambah dengan beranda beratap di sekeliling bangunan utama. Masjid Kampung Keling dapat menampung sekitar 600 jemaah sekaligus.

Kolam wudhu Masjid Kp. Keling 
Masjid Kampung Keling juga dilengkapi dengan bangunan tempat wudhu yang melindungi kolam air dibawahnya. Letaknya sedikit ditinggikan dari permukaan disekitarnya. Dilengkapi dengan beberapa anak tangga. Sama dengan Masjid Kampung Hulu, tempat wudhu di Masjid Kampung Keling tidak menggunakan keran tapi langsung berwudhu di kolam yang disediakan. Di belakang kolam wudhu ini terdapat rumah tempat tinggal pengurus masjid.

Menara masjid dibangun terpisah dari masjid dengan bangunan beton tanpa kayu. Menara yang begitu unik karena tampilannya yang mirip dengan pagoda Cina. Dilengkapi dengan jendela jendela berlengkung dan berterali besi. Sementara tembok pagar sekeliling masjid ditinggikan ditahun 1868 untuk melindungi masjid dari jalan raya.

Keramik di import dari Cina untuk menghiasi atap menara, lantai dan tembok bagian bawah. Selain keramik, pengaruh Cina juga terlihat dari hiasan di ujung ujung atap masjid juga pada bagian puncak bangunan yang dihias dengan Mastaka. Pembangunannya yang dilakukan dimasa kekuasaan Belanda yang sedang bercokol di Malaka sedikit memberikan pengaruh Eropa pada plesteran dinding tembok bagian dalam masjid.

Mastaka di puncak atap masjid

Nuansa Nusantara sangat kental di Masjid Kampung Keling ini. Buka-an lantai bangunan yang persegi empat bukan heksagonal atau persegi panjang seperti kebanyakan masjid masjid timur tengah, tanpa kubah seperti yang biasa kita kenal pada bangunan masjid, tapi menggunakan atap limasan bersusun tiga yang merupakan ciri khas bangunan masjid majid tua di tanah Jawa dan Sumatera. Masjid ini memang dibangun dengan gaya masjid Jawa dan Sumatera, Idonesia.

Ukiran kayu dengan nuansa Nusantara juga bisa dinikmati pada bagian atap, jendela, dinding serta ukiran yang begitu indah pada mimbar masjid ini. Keseluruhan pengukir masjid ini merupakan para pengukir asli melayu. Pada saat dibangun Masjid Kampung Keling memiliki 4 sokoguru utama, 12 tiang lain nya menyokong bangunan masjid dan 20 tiang kayu penopang keliling. Kayu kayu yang digunakan untuk pembangunan masjid ini di datangkan dari Kalimantan, Indonesia.

Mastaka di sisi atas
Gerbang Masjid. 
Namun kemudian tiang tiang tersebut diganti dengan beton di tahun 1872 menyisakan 4 sokoguru utama yang menyanggah struktur atap untuk tetap mempertahankan keaslian bentuk masjid. Masjid ini masih menyimpan lampu hias antik yang menggantung dibawah kubah limas di ruang utama masjid. Meski usianya sudah begitu tua lampu ini masih berfungsi dan dirawat dengan baik. Diperkirakan secara kasar harga lampu tersebut mencapai 150 ribu Ringgit Malaysia, dan merupakan satu satunya di Malaysia.

Sejarah Pembangunan Masjid Kampung Keling

Masjid Kampung Keling dibangun di tahun 1748 atau bertepatan dengan tahun Tahun 1152 Hijriah di masa penjajahan Belanda di Malaka, tak lama setelah pembangunan Masjid Kampung Hulu Malaka. Kemudian masjid ini renovasi tahun 1288H / 1872M dengan bangunan beton. Dan tahun 1908 atap masjid ini ditinggikan mengikut Masjid Kampung Hulu Malaka. Keseluruhan biaya pembangunan masjid ini berasal dari jemaah. Semua ukiran-ukiran yang ada dalam masjid dibuat para pemahat melayu asli. Masjid Kampung Keling merupakan salah satu masjid tertua di Malaysia.

Kini menjadi Bangunan cagar budaya Malaysia

Disebut kampung keling karena di daerah yang kini dipenuhi oleh jejeran rumah toko (RUKO) pedagang pedagang keturunan Cina, dulunya pada saat masjid dibangun merupakan kawasan tempat tinggal Muslim India atau Keling yang berasal dari India selatan. Kampung Keling memanjang di sisi barat sungai Malaka. Tipikal bangunan masjid dengan arsitektur seperti Masjid Kampung Keling ini memang sedang berkembang kala itu. Malaka sendiri memang menjadi pusat perdagangan yang begitu maju di abad ke 14 hingga abad le 18M.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA