Minggu, 08 April 2012

Masjid Jami’ Al Atiq, Kampung Melayu – Jakarta Selatan

Masjid Jami' AL-Atiq Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan. Kisah Tutur menyebutkan masjid ini merupakan masjid tertua di Jakarta.

Masjid Jami’ Al-Atiq di Kampung Melayu Besar kawasan Tebet, Jakarta Selatan ini diyakini secara lisan sebagai masjid tertua di Jakarta, awalnya didirikan sebagai sebuah mushola bagi pasukan Banten yang menyerbu Batavia. Awalnya masjid ini bernama masjid Kandang Kuda karena berada di perkampungan tukang Sado, kemudian berubah menjadi Masjid Jami’ Kampung Melayu. Gubernur Ali Sadikin di era 1970-an yang kemudian memberi nama Masjid Jami’ Al-Atiq untuk masjid ini. Al-Atiq memilki makna tertua, sesuai dengan sejarah lisan masjid ini sebagai masjid tertua di Jakarta.

Ketuaan masjid ini sudah nyaris tak terlihat dengan bentuk bangunannya yang sudah mengalami renovasi menjadi bangunan beton meski masih menyisakan beberapa pernik aslinya. Ditambah lagi ketiadaan bukti tertulis otentik tentang kapan pastinya masjid ini pertama kali dibangun, namun salah satu versi sejarah masjid ini menyebutkan bahwa masjid ini pertama kali dibangun oleh Sultan pertama Banten, Maulana Hasanudin yang berkuasa tahun1552-1570, beliau adalah putra dari Sunan Gunung Jati dari Cirebon

Alamat Masjid Jami' Al Atiq
Jl Masjid 1, RW 1 Kampung Melayu
Kelurahan Kebon Baru, Tebet
Jakarta Selatan 12830




Sejarah Masjid Jami’ Al-Atiq

Kapan tepatnya masjid ini pertama kali dibangun sebetulnya tak ada yang tahu persis. Ada dua versi tentang sejarah masjid ini. Versi Pertama disampaikan oleh tetua setempat, mereka meyakini masjid didirikan tahun 1632M/1053H. Pendirinya adalah pasukan Sultan Ageng Tirtayasa (Banten) yang tengah berperang dengan VOC. Dugaan itu diperkuat dengan letak masjid yang persis di tepi Kali Ciliwung pada zaman dahulu pergerakan tentara memang selalu saja memanfaatkan sungai, baik sebagai transportasi atau sumber minum. Tak heran, banyak tempat peristirahatan raja dulu dibangun di tepi sungai.

Versi kedua menyebut Masjid Jami Al Atiq dibangun lebih awal, sekitar tahun 1500-an oleh Sultan pertama Banten, Maulana Hasanudin (1552-1570) yang juga putra dari Sunan Gunung Jati. Saat itu masjid ini diberi nama Masjid Kandang Kuda, karena letaknya di perkampungan tukang sado. Pasukan Sultan Ageng kemudian membantu merenovasi masjid tersebut. Yang percaya versi ini umumnya menunjuk struktur dan arsitektur masjid yang tak banyak beda dengan masjid-masjid buatan Walisongo yang berada di Jawa Tengah. Pembangunan Masjid Al-Atiq diduga berbarengan dengan pembangunan masjid yang ada di Banten dan daerah Karang Ampel, Jawa Tengah. Dua masjid yang juga dibangun karena peran Sultan Maulana Hasanuddin.

Ornamen di puncak atap Masjid ini yang berbentuk trisula penunjuk ke arah mata angin, sedangkan atap limasnya yang bersusun tiga merupakan bentuk asli masjid masjid tua Nusantara. Dua hal ini merupakan pernik asli dari Masjid Al-Atiq.

Versi kedua ini berkaitan dengan sumber lain yang mengaitkan Masjid ini dengan Pangeran Jayakarta. Sekitar awal tahun 1619, ketika Pangeran Jayakarta dan pasukannya hendak menuju pusat kota Batavia menyusuri Kali Ciliwung, Masjid Al Atiq dahulu berada dalam keadaan menyedihkan. Tidak terpelihara dan nyaris roboh. Sebelum meneruskan perjalanan dikisahkan rombongan itu singgah dan memperbaiki wujud masjid serta menetap beberapa lama di wilayah itu yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai pengusaha sado. Maka tak heran awalnya masjid ini disebut dengan Masjid Kandang Kuda.

Sejarah memang sulit untuk di runut dengan pasti karena memang senantiasa terkait kepada siapa yang meriwayatkan beserta bukti bukti otentik yang menguatkan masing masing riwayat. Bila merujuk kepada versi pertama yang menyebut tahun 1632M sebagai tahun pendirian masjid maka gugurlah pernyataan bahwa masjid ini adalah masjid tertua di Jakarta karena kalah tua dengan Masjid “Si Pitung” Al Alam – Marunda yang dibangun tahun 1527M oleh Fatahillah yang memimpin pasukan gabungan Demak dan Cirebon selama penyerbuan ke Sunda Kelapa.

Interior Masjid Al-Atiq dengan kaligrafinya. 

Masjid Jami’ Al-Atiq dan Duo Jagoan Betawi

Kisah tutur menyebutkan bahwa masjid ini juga menjadi tempat bersembunyinya duo jagoan Betawi ::; Si Pitung dan Ji’ih ::: yang berjuang menentang penjajahan Belanda. Bertahun-tahun dibui, tahun 1890 Pitung dan Ji’ih akhirnya berhasil kabur dari penjara Meester Cornelis. Mereka berdua melarikan diri sambil menyusuri Kali Ciliwung. Karena kelelahan terus-menerus dikejar Opas Belanda, dua sahabat itu bersembunyi di sebuah masjid pinggiran kali. Beruntung, ulama dan jamaah masjid yang tahu ada berita santer pelarian pribumi dari penjara Mester–, menyembunyikan mereka di dalam masjid. Pitung dan Ji’ih mujur, rupanya masyarakat seputar masjid tahu reputasi jagoan dari Marunda itu. Jadi ‘ngumpet’ berbulan-bulan di masjid tak jadi masalah bagi mereka berdua dan jamaah masjid.

Tidak cuma sebagai saksi bisu singgahnya tokoh-tokoh bersejarah, Masjid Al Atiq banyak juga menyimpan dongeng-dongeng mistis. Misalnya, tentang ampuhnya tongkat khatib di mimbar masjid. Alkisah pernah suatu ketika ada seorang yang disembuhkan penyakitnya lewat ramuan dari serpihan kayu pada tongkat itu. Sekarang satu-satunya benda pusaka yang masih tersisa ya tongkat itu. Tapi tentunya, Anda sekarang tidak bisa sembarangan menyentuh tongkat itu. Di masjid ini juga masih menyimpan sebuah ukiran kaligrafi yang maknanya hingga kini masih menjadi misteri, karena belum ada satupun yang mampu membaca tulisan kaligrafi tersebut.

Empat sokoguru di Masjid Al-Atiq ini aslinya dulu terbuat dari kayu Jati, sebagaimana kebanyakan masjid masjid di tanah Jawa. Meski kini sudah diganti dengan pilar pilar beton berlapis keramik namun bentuk aslinya masih dijaga dengan baik.

Arsitektural & Pemugaran Masjid Jami’ Al-Atiq

Awalnya Masjid Jami’ Al-Atiq berstruktur kayu jati dengan empat sokoguru penopang atap di tengah masjid. Empat sokoguru itu kini sudah diganti dengan empat pilar beton. Masjid aslinya sudah dirombak menjadi menjadi bangunan masjid berlantai dua yang lebih modern meski tak menghilangkan unsure aslinya. Sedangkan pernak pernik asli masjid ini sudah diserahkan kepada museum sejarah Jakarta.

Namun demikian secara keseluruhan masjid ini masih mempertahankan bentuk aslinya yang dikatakan seperti masjid Demak. Satu komponen masjid yang tetap dipertahankan adalah trisula masjid yang berada puncak menara masjid. Salah satu keunikan masjid ini adalah tulisan kaligrafi yang berada di atas mimbar khotib yang ternyata sampai sekarang belum diketahui apa tulisannya. Sebelum mengalami pemugaran, di dalam masjid ini terdapat dua buah makam pengurus pertama masjid ini, tepatnya berada tepat di samping mimbar atau tepat di tempat berdirinya imam. Namun memang, siapa nama pemilik makam tersebut sampai sekarang belum diketahui. Namun sesudah pemugaran, makam-makam tersebut dipindahkan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA