Senin, 30 April 2012

Masjid Raya Sulaimaniyah, Masjid Kesultanan Serdang


Masjid Raya Sulaimaniyah, Masjid Kesultanan Serdang, dibangun oleh Sultan Sulaiman

Wilayah Kesultanan Serdang awalnya merupakan bagian dari kesultanan Melayu Deli yang berpusat di kota Medan, proses suksesi yang tak berjalan lancar di keraton kesultanan Deli sebagai akibat terjadinya perebutan tahta, berujung kepada pecah kesultanan Deli dan berdirinya Kesultanan Serdang terpisah dari Kesultanan Deli. Peninggalan kesultanan serdang masih dapat dinikmati hingga kini berupa Masjid Raya Sulaimaniiyah di Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Masjid Raya Sulaimaniyah didirikan oleh Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah pada tahun 1894 seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan Serdang dari Rantau Panjang (sekarang berada di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang) ke Istana kota Galuh Perbaungan (dulu Serdang). Nama masjid ini sendiri dinisbatkan kepada Sultan Sulaiman, yang membangunnya. Selain di Kota Galuh Perbaungan, Sultan Sulaiman juga membangun masjid dengan nama yang sama di Pantai Cermin pada tahun 1901 dan sama sama masih eksis hingga kini.

Lokasi Masjid Raya Sulaimaniyah

Masjid Raya Sulaimaniyah
Desa Kota Galuh, Kecamatan Perbaungan
Kabupaten Serdang Bedagai – Sumatera Utara
Indonesia


Setiap orang yang melintas dari arah Medan menuju Tebing Tinggi atau sebaliknya, akan melewati mesjid ini. Setiap harinya, masjid ini menjadi tempat persinggahan musafir yang ingin melaksanakan sholat sambil berwisata rohani untuk melihat dari dekat mesjid peninggalan Sultan Serdang ini. Bahkan setiap sholat Jumat, masjid ini nyaris tidak bisa menampung jamaah yang hampir melewati teras masjid.

Sekilas Sejarah Kesultanan Serdang

Sejarah Awal Berdirinya Kesultanan Serdang

Seperti disebutkan di awal tulisan ini bahwa kesultanan Serdang pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Deli. Sejarah kesultanan Deli bermula ketika Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan diangkat sebagai wakil kesultanan Aceh di wilayah Aru (Sumatera Timur) di tahun 1632 setelah beliau berhasil menaklukkan daerah tersebut atas perintah Sultan Iskandar Muda.

Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan wafat di tahun 1641 M, kekuasaan atas wilayah Deli diberikan kepada putranya, Tuanku Panglima Perunggit (1614-1700 M) bergelar sebagai Panglima Deli karena beliaulah yang memproklamirkan kemerdekaan Deli atas Aceh di tahun 1669. Ketika Tuanku Panglima Perunggit wafat beliau digantikan oleh putranya Tuanku Panglima Paderap hingga tahun 1720M.

Lokasi Serdang Bedagai
di provinsi Sumatera Utara
Masalah terjadi ketika Panglima Paderap wafat, ke-empat putranya berseteru berebut tahta kerajaan. Perang saudara tak terhindarkan diperparah lagi dengan mulai berpengaruh nya kerajaan Siak Sri Indrapura. Panglima Paderap dikaruniai empat orang putra yaitu [1]. Tuanku Jalaludin bergelar Kejuruan Metar, berasal dari turunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tanjung Mulia. [2] Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari keturunan bangsawan Deli dan Bedagai. [3] Tuanku Tawar (Arifin) Kejeruan Santun, berasal dari keturunan bangsawan Denao dan Serbajadi, dan [4] Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari keturunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan yang merupakan putra Panglima Paderap dari permaisuri.

Berdasarkan konstitusi kerajaan, semestinya Tuanku Umar Johan Alamsyah bergelar Kejeruan Junjongan yang merupakan Putra Tuanku Panglima Paderap dari permaisuri, yang berhak menggantikan ayahnya sebagai raja, namun ketika ayahandanya wafat, beliau masih dibawah umur, dan Tuanku Panglima Pasutan berambisi jadi raja. Perang saudara tak terelakkan berbuntut pada kekalahan Tuanku Umar Johan Alamsyah. Tuanku Panglima Pasutan naik tahta menjadi raja Deli ke 4

Sultan Sulaiman Syariful 
Alam Syah
Berdirinya Kesultanan Serdang Tahun 1723

Tuanku Umar Johan Alamsyah yang menelan kekalahan, bersama ibundanya Tuanku Puan Sampali [permaisuri mendiang Tuanku Paderap], terpaksa menyingkir dan mengungsi hingga kemudian mendirikan Kampung Besar (Serdang), Atas perlakuan terhadap Tuanku Umar Johan tersebut maka dua orang besar di Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah serta bersama dengan seorang Raja Urung Batak Timur yang menghuni wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan juga seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), merajakan Tuanku Umar Johan sebagai Raja Serdang yang pertama tahun 1723.

Sedangkan kakak dari Tuanku Umar yang lain, yakni Tuanku Tawar (Arifin) bergelar Kejuruan Santun, yang membuka negeri di Denai dan meluas sampai ke Serbajadi, kemudian menggabungkan diri dengan Kesultanan Serdang di masa pemerintahan Sultan Serdang yang pertama. Tuanku Umar Johan, memiliki tiga orang putra, yakni [1] Tuanku Malim, [2] Tuanku Ainan Johan Alamsyah, dan [3] Tuanku Sabjana atau yang sering dikenal sebagai Pangeran Kampung Kelambir.

Tuanku Umar Johan (1723-1767) mangkat di tahun 1767 dan digantikan oleh putra keduanya Tuanku Ainan Johan Alamsyah (1767-1817). Karena putra pertamanya menolak untuk jadi raja. Sultan Ainan Johan Alamsyah beristrikan Tuanku Puan Sri Alam dari Kerajaan Perbaungan yang kemudian bergabung dengan Kesultanan Serdang.

Masjid Raya Sulaimaniyah

Putra pertama Sultan Ainan Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin, terbunuh ketika berperang di Langkat. Maka dari itu, ditunjuklah Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah, putra kedua dari Sultan Ainan Johan Alamsyah, sebagai penerus tahta Kesultanan Serdang. Sultan Thaf Sinar Baharshah yang kemudian dianugerahi nama kebesaran sebagai Sultan Besar Serdang memerintah selama periode 1817-1850 M.

Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah ini Kesultanan Serdang mengalami era kejayaan dengan menjadi kerajaan yang makmur dan sentosa karena perdagangannya. Nama kesultanan Serdang begitu besar dan dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-kerajaan lain, seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta bantuan militer dari Kesultanan Serdang.

Sebagai pengganti dari Sultan Thaf Sinar Baharshah adalah putranya yang tertua, yaitu Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-1880). Kepemimpinan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah mendapat legitimasi dari Sultan Aceh, Ibrahim Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap Sembilan.

Masjid Raya Sulaimaniyah

Pada tahun 1854 Aceh mengirimkan ekspedisi perang 200 perahu perang untuk menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh. Dalam menjalankan pemerintahannya Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah didampingi oleh orang-orang besar, wazir, serta raja-raja taklukkan. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat menyebabkan Serdang kemudian harus takluk dan mendapat pengakuan dari Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862.

Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada bulan Desember 1880, sang putra mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan. Pengakuan resmi dari pemerintah kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini baru diberikan melalui Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887.

Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas kendati beberapa solusi telah dilakukan untuk meminimalisir konflik, termasuk melalui hubungan perkawinan dan kekerabatan. Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946).

Masjid Raya Sulaimaniyah

Kesultanan Serdang Bergabung Denan NKRI

3 Maret 1946, terjadi “Revolusi Sosial” di wilayah Sumatera Timur oleh orang orang komunis, mereka menuduh Raja-raja dan kaum bangsawan Sumatera sebagai pengkhianat karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selama revolusi sosisal tersebut terjadi penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis. Seperti terjadi di Simalungun di mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di antaranya dibunuh, dan istana mereka dijarah.

Di Langkat, Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas, termasuk sastrawan Tengku Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun berhasil meloloskan diri dan berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian menyerahkannya kepada pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar. Demikian juga di wilayah Batubara dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk para bangsawan utama, dan harta benda mereka dirampok.

Di wilayah kesultanan Serdang keadaan sedikit berbeda. Berkat dukungan positif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap kaum pergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan ataupun pembunuhan terhadap keluarga kesultanan.

Masjid Raya Sulaimaniyah

Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah tidak menyandarkan diri kepada pasukan Sekutu karena banyak kerabat dan para bangsawan Serdang yang dianjurkan menempati posisi di dalam struktur angkatan bersenjata Republik, partai-partai politik yang berhaluan Islam dan nasionalis. ketika terjadi “Revolusi Sosial” 3 Maret 1946, diadakanlah perundingan antara Kapten Tengku Nurdin (Komandan Batalion III TRI di Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang dan para tokoh adat Kesultanan Serdang. Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan bahwa Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang bertindak mewakili pemerintah Republik Indonesia.

Keesokan harinya, tanggal 4 Maret 1946, diutus Jaksa Tengku Mahmuddin dan Panitera Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak TRI atas nama pemerintah Republik Indonesia yang dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia wilayah Serdang dan sejumlah wakil organisasi masyarakat serta organisasi politik lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Dan Serah terima berjalan pada 4 Maret 1946 ke segenap pelosok wilayah Serdang. Atas jasa jasanya Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dianugerahi Bintang Mahaputra Adi Pradana dari pemerintah RI. Sedangkan wilayah kesultanan Serdang kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang yang dikemudian hari dimekarkan lagi menjadi Kabupaten Deli Serdang  dan Kabupaten Serdang Begadai.

struktur atap Masjid Raya  -
Sulaimaniyah
Sejarah Masjid Raya Sulaimaniyah

Masjid Raya Sulaimaniyah merupakan salah satu bukti eksistensi Kesultanan Serdang di masa lalu. Dahulu kala, lokasi masjid ini berada tidak jauh dari Istana Kesultanan Serdang, Istana Darul Arif. Namun Pada tahun 1865 istana tersebut dibakar Belanda bersama Masjid Raya Rantau Panjang, sebagai akibat kemarahan Belanda karena di dua tempat tersebut dijadikan markas para pejuang kemerdekaan Indonesia atas seizing Sultan yang memang mendukung pergerakan tersebut.

Sebagaimana dijelaskan dalam prasasti pembangunan masjid di tembok Masjid Raya Sulaimaniyah, dijelaskan bahwa masjid ini didirikan oleh Sultan Syariful Alamsyah pada tahun 1894 seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan dari Rantau Panjang ke Istana kota Galuh Perbaungan. Tahun 1901, Masjid Raya Sulaimaniyah dibangun secara permanen.

Dari catatan sejarah yang tertulis itu, dapat juga diketahui bahwa Masjid Raya Sulaimaniyah telah mengalami beberapa renovasi, yaitu tahun 1964, 1967, dan tahun 2004 (selesai tahun 2005). Beberapa renovasi tersebut atas bantuan mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri, Gubernur Sumatera Utara (alm) Rizal Nurdin dan Sekjen Departemen Kesehatan RI Dr. Safii Ahmad MPH.

Arsitektural Masjid Raya Sulaimaniyah

Bangunan Masjid Raya Sulaimaniyah ini tidak terlalu menonjol, mirip dengan bangunan-bangunan khas melayu lainnya. Sepintas lalu masjid ini terkesan biasa-biasa saja bahkan tak tampak seperti sebuah masjid. Namun masjid ini memiliki keunikan tersendiri. Sepintas tidak seperti bangunan masjid, melainkan seperti kantor pemerintahan dengan corak khas adat budaya melayu dengan figura berwarna kuning dengan atap berwarna hijau. Sedangkan bangunan menara dibangun terpisah dari masjid dan memang dibangun belakangan.

Makam Sultan Sulaiman di komplek Masjid Raya Sulaimaniyah

Yang menjadi cirri khas adalah pada bangun atapnya yang dibuat berundak undak, keseluruhan atap masjid ini hingga bersusun empat dihitung dari atap tertinggi hingga atap pada terasnya. Atap beranda masjid pun dibuat bersusun dua. Ataup bangunan utama masjid ini dibangun begitu tinggi dibandingkan atap lainnya seakan akan juga berfungsi sebagai menara. Bila atap masjid masjid tua Indonesia lainnya kebanyakan berdenah segi empat bujur sangkar, atap masjid Raya Sulaimaniyah justru berbentuk persegi panjang sama dengan denah masjidnya.

Di dalam masjid terdapat empat pilar beton berukuran besar sebagai penyanggah bangunan dengan 1 lampu hias berada di tengah-tengah bundaran langit masjid dikelilingi kaligrafi dari ayat-ayat alquran tentang sholat. Kesan dan nafas melayu sangat kental terlihat dari mimbarnya yang berwarna kuning dengan 4 anak tangga berlapis karpet hijau serta di atas mimbar terdapat kubah yang atasnya juga menggunakan lambang bulan sabit dan bintang. Teras masjid yang sudah berlantai keramik ini ditopang dengan tiang-tiang berukuran kecil serta puluhan lampu kecil dan besar yang mengelilingi teras samping kiri dan belakang serta dilengkapi dengan toilet dan tempat berwudhu.

Sultan Serdang ke-5 Tuanku Achmad Talaa Syariful Alamsyah didamping Orang-orang Besar Kesultanan Negeri Serdang menziarahi makam Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah di Perbaungan yang dianugerahi Bintang Mahaputra Adi Pradana dari pemerintah RI dan makam Diraja Serdang lainnya.

Sebagai masjid kesultanan Masjid Raya Sulaimaniyah menjadi masjid utama bagi semua kegiatan kesultanan termasuk tempat penyelenggaraan sholat jenazah bagi Sultan dan keluarganya. Halaman masjid ini juga menjadi tempat pemakaman sultan Serdang Sulaiman Syariful Alamsyah dan keluarganya yang terletak tepat di depan masjid yang telah di pagar serta pejabat-pejabat penting kesultanan. 

Petinggi kesultanan Serdang terahir yang disemayamkan di Masjid ini adalah jenazah Alamarhum Tengku Lukman Sinar Basarsyah II, Pemangku Adat Kesultan Serdang, sejarawan Melayu yang juga menjabat Ketua Forum Komunikasi Antaradat Sumut. Beliau wafat di Malaysia, hari Kamis pukul 19.50 waktu Malaysia. Setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Sime Darby Medical Center, Subang Jaya, Malaysia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA