Senin, 23 April 2012

Mesjid Lama Gang Bengkok, Kota Medan

Masjid Lama Gang Bengkok, sumbangan Tjong A Fie untuk warga muslim kota Medan.

Simbol Pembauran Melayu dan Thionghoa

Tak banyak masjid dengan keistimewaan seperti masjid lama Gang Bengkok di kota Medan ini. baik dari arsitekturalnya maupun dari sosio kemasyarakatannya. Masjid Lama Gang Bengkok diperkirakan berdiri pada tahun 1874, dibangun di atas tanah wakaf dari Haji Muhammad Ali yang lebih dikenal dengan nama Datuk Kesawan dan seluruh biaya pembangunannya di tanggung oleh Tjong A Fie (1860-1921) seorang saudagar Thionghoa dari daratan China yang kemudian hijrah ke Kota Medan di awal abad ke 19.

Masjid yang dibangun dalam sentuhan kental akulturasi budaya Thionghoa dan Melayu dalam satu bentuk masjid yang unik ini merupakan masjid tertua ke dua di Kota Medan. Dibangun 20 tahun setelah Masjid Al Osmani (1854) di Labuhan Deli, yang merupakan masjid tertua di Kota Medan. Masjid Lama Gang Bengkok tidak saja merekam jejak sejarah pembauran orang melayu dengan orang Thionghoa di kota Medan dalam pembangunan masjid ini tapi juga mewariskan nafas pembauran itu hingga kini.

Lokasi Masjid Lama Gang Bengkok.

Mesjid Lama Gang Bengkok
Jalan Mesjid, Kelurahan Kesawan
Kecamatan Medan Barat, Kota Medan
Sumatera Utara - Indonesia


Sejarah Masjid Lama Gang Bengkok – Kota Medan

Masjid Lama Gang Bengkok (1874), ini merupakan salah satu dari tiga masjid tertua di kota Medan. Dua masjid tertua lainnya adalah Masjid Al Osmani (1854), di Jalan Yos Sudarso Kilometer 17,5 dan Mesjid Raya Al-Mashun (Mesjid Raya) di Jalan Sisingamangaraja. Dari sisi usia, Masjid Lama Gang Bengkok merupakan masjid tertua ke dua di Kota Medan setelah Masjid Al Osmani. Masjid ini bahkan lebih dulu dibangun dari Masjid Raya Al Mashun (1909).

Sebuah Nama Yang Aneh

Disebut Masjid Gang Bengkok, karena pada awal pembangunannya masjid ini berada di dalam sebuah gang sempit. Ruas gang tersebut memiliki belokan atau tikungan atau bengkokan pas di depan lokasi masjid ini berdiri. Karena sejak dibangun masjid ini memang tidak pernah secara resmi diberi nama oleh pendirinya ataupun oleh Sultan Deli, maka masyarakat setempat menyebutnya sebagai masjid di Gang Bengkok.

Lalu setelah sekian lama waktu berlalu, makin banyak masjid berdiri di kota Medan,  untuk membedakannya dengan masjid masjid yang baru, dengan sendirinya masyarakat disana menyebut masjid ini sebagai masjid lama, maksudnya masjid yang sudah sejak lama berdiri disana lebih dulu dibandingkan dengan masjid lainnya. Maka, hingga kini masjid ini disebut dengan nama Masjid Lama Gang Bengkok.

Interior Masjid Lama Gang Bengkok Kota Medan.

Satu Tempat Dua Nama

Anda tak kan menemukan nama Jalan Kesawan di peta kota Medan, karena yang dimaksud jalan Kesawan oleh orang medan itu kini bernama Jalan [Jendral] Ahmad Yani. Kawasan yang kini dilintasi oleh jalan Ahmad Yani itu memang mula mula bernama Kampung Kesawan. Hampir keseluruhan wilayah Kesawan ini dulunya di abad ke 19 dimiliki oleh Datuk Muhammad Ali, seorang saudagar kaya raya melayu asli. Karena besarnya pengaruh beliau di kawasan tersebut, masyarakat memanggil beliau dengan panggilan Datuk Kesawan.


Kini Kesawan merupakan salah satu pusat niaga di kota Medan. Di kawasan Kesawan ini juga banyak berdiri bangunan tua peninggalan peninggalan zaman kolonial. Gang bengkok di depan Masjid ini pun kini sudah tidak lagi berbentuk gang karena sudah diperluas sebagai jalan raya dan diberi nama Jalan Masjid. Tapi masyarakat setempat sudah terlanjur menyebutnya gang bengkok.

Di masa yang sama di kota Medan yang kala itu masih bernama Deli Tua, begitu terkenal seorang pengusaha Thionghoa kaya raya yang berasal dari China daratan. Beliau bernama Tjong A Fie (1860-1921). Beliau tak saja dikenal karena kekayaannya yang berlimpah tapi juga karena sifat dermawannya yang tak pandang bulu. 

Mimbar dan Masjid Masjid Lama Gang Bengkok Kota Medan.

Kedermawanan dan Kejayaan bisnis Tjong A Fie di Kota Medan sudah seperti sebuah legenda. Rumah kediaman mendiang Tjong A Fie di Kesawan kini dikenal dengan nama Tjong A Fie Mansion ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya kota Medan dan ditetapkan sebagai warisan sejarah dunia Unesco. 

Tanah wakaf dari orang Melayu dibangun oleh orang China
 
Masjid Lama Gang Bengkok, Kota Medan dibangun diatas tanah milik Datuk Muhammad Ali atau Datuk Kesawan yang memang beliau hibahkan untuk keperluan membangun masjid di wilayah Kesawan, namun keseluruhan proses pembangunan masjid nya sendiri ditanggung sepenuhnya oleh Tjong A Fie. konon hal tersebut dilakukan oleh Tjong A Fie sebagai bentuk penghormatan beliau kepada muslim melayu. Peletakan batu pertama pembangunan masjid ini bahkan dilakukan sendiri oleh Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924), Sultan Deli ke-9 yang berkuasa saat itu.
 
Tjong A Fie.
Ketokohan Tjong A Fie yang begitu disegani membuatnya begitu dekat dengan Keluarga Kesultanan dan Penguasa penjajah Belanda. Tak mengerankan bila kemudian proses pembangunan Masjid Gang Bengkok ini pun turut menarik perhatian Sultan Deli. Keseluruhan pembangunan masjid ini diperkirakan dilaksanakan tahun 1874-1885. Tjong A Fie yang membangun masjid ini kemudian menghadap kepada Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam untuk melaporkan sudah selesainya pembangunan masjid tersebut sekaligus menyerahkannya kepada Sultan dan Sultan kemudian menunjuk Syech Mohammad Yacub untuk mengurus dan memelihara mesjid ini.
 
Arsitektural Masjid Lama Gang Bengkok – Kota Medan
 
Pepatah yang mengatakan “Jangan hanya menilai buku dari sampulnya”, tampaknya benar benar berlaku untuk masjid Lama Gang Bengkok di kota Medan ini. Bila hanya sekilas pandang saja melihat masjid ini tanpa berusaha untuk mencari tahu lebih jauh, siapapun pasti akan mengira masjid ini adalah sebuah Klenteng bagi umat Khonghucu bukan masjid bagi ummat Islam. Arsitektural masjid tua satu ini memang lebih mirip sebuah kelenteng dibandingkan sebuah masjid, tak mengherankan, karena Tjong A Fie yang membangunnya adalah tokoh kota medan dari etnis Thionghoa. Tak salah bila disebut masjid Lama Gang Bengkok ini sebagai monumen pembauran Melayu dan Thionghoa di Kota Medan. Meski bentuk Kelenteng begitu mendominasi, namun sentuhan melayu dan Islam menjadi pembeda mutlak bangunan ini dengan Kelenteng.
 
Masjid Lama Gang Bengkok Kota Medan.

Seni bina Melayu tampak jelas pada plafon mesjid yang terdapat umbai-umbai yaitu semacam hiasan yang disebut "lebah bergantung". Ukiran ini terbuat dari kayu, berbentuk semacam tirai berwarna kuning, warna khas Melayu. Sedangkan gapuranya bernuansa Islam Persia. Masjid lama Gang Bengkok hanya mengalami renovasi sedikit pada bagian pintu, dinding dan atap yang sudah rapuh. 75 % dari bangunan ini masih asli, termasuk ruang utama masjid seluas 18x18 meter dan 4 penyangganya yang berdiameter 2,1 centimeter dengan tinggi 2,2 meter. Empat tiang penyangga tersebut serupa dengan tiang penyanggah yang ada rumah Tjong A Fie di jalan Ahmad Yani Kota Medan. Konong, tukang yang membangun masjid inipun adalah tukang yang sama yang membangun rumah Tjong A Fie. Di masjid ini masih disimpan benda-benda bersejarah hingga sekarang.
 
Aktivitas dan pengelolaan Masjid Lama Gang Bengkok
 
Kepengurusan Masjid Lama Gang bengkok kebanyakan dipegang oleh Medan beretnis Mandailing. Mereka kebanyakan menjadi pengurus secara turun- temurun. Pengurus saar ini adalah generasi ke-4 dari pengurus masjid pertama. Seperti disebutkan di awal tulisan bahwa setelah seleasi pembangunan masjid ini, Syech Mohammad Yacub untuk mengurus dan memelihara mesjid ini. Keturunan beliau yang kemudian melanjutkan tradisi mengurus dan menjaga masjid ini. Sementara jemaah masjid terdiri dari banyak etnis dari Melayu sendiri, Jawa, Mandailing, China, Karo, dan Arab.
 
Masjid Lama Gang Bengkok Kota Medan.

Aktivitas pengajian rutin diselenggarakan di Masjid Lama Gang Bengkok. Masjid berdaya tampung hingga 2000 jemaah ini juga memiliki perpustakaan masjid yang dibuka untuk umum dengan koleksi buku sebanyak 500 judul buku pengetahuan umum dan agama. Selama bulan suci Ramadhan masjid ini penuh sesak oleh jamaah yang kebanyakan merupakan jemaah dari luar Kesawan. Aktivitas rutin yang diselenggarakan adalah antara lain adalah pengajian yang dilakukan setiap hari setelah sholat Zhuhur yaitu Tafsir Al-Quran dan hadist beberapa orang ulama. Satu hal yang juga dilakukan selama bulan Ramadhan adalah dengan menyediakan hidangan buka puasa bubur pedas khas Melayu seperti yang disediakan di Masjid Raya Al Mashun.
 
Seiring dengan berjalannya waktu, daerah kesawan yang dulunya merupakan pemukiman warga pun kini berubah menjadi area bisnis, perkantoran dan pertokoan. Dengan sendirinya jemaah masjid ini juga berubah dari yang dulunya mayoritas adalah warga sekitar, kini malah ramai oleh karyawan dan pelaku bisnis di kawasan tersebut. Jemaah masjid membludak saat sholat jum’at dan ramai di hari kerja namun jemaahnya justru menyusut di hari libur.***


2 komentar:

  1. wiekhiun Tjoe Mengucapkan Terimakasih Buat Bung Hendra Gunawan,

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum..
    bro..ada sumber referensi bukunya gk?
    maaf nih,, data-data tahun itu dapat dari mana ya?

    BalasHapus

Dilarang berkomentar berbau SARA