Senin, 20 Mei 2013

Masjid Agung Sang Cipta Rasa – Cirebon (Bagian 4)

Sisi depan Masjid Agung Sang Ciptarasa - Cirebon

Terhindar dari ledakan Bom

Jum’at, 26 Februari 2010 Masjid Agung Sang Ciptarasa dihebohkan dengan ditemukannya bungkusan yang di duga Bom. Merujuk kepada penjelasan pihak kepolisian bom tersebut berdaya ledak rendah dan dilengkapi dengan pengatur waktu. Bom tersebut ditemukan selang sehari setelah perayaan besar peringatan Maulid Nabi Muhammad S.A.W di masjid tersebut. 

Peringatan Maulid Nabi atau Mauludan diperingati setiap tahun secara meriah di masjid ini dan dihadiri ribuan jemaah dari penjuru Nusantara memadati masjid hingga ke luar halaman. Merujuk kepada Ustadz Rahmad salah satu pengurus masjid yang menemukan bungkusan tersebut, Bila melihat kondisi fisiknya, kemungkinan bom tersebut semestinya sudah meledak namun Alhamdulillah Allah melindungi masjid ini beserta jemaahnya dari bencana.

Anggota GEGANA POLRI di Masjid Agung
Sang Ciptarasa - Cirebon.
Menurut penjelasan Putra mahkota Keraton Kasepuhan PRA Arief Natadiningrat, kepada media, kemungkinan besar bom tersebut sengaja dipasan dengan menjadikan sultan sepuh Maulana Pakuningrat sebagai target utama mengingat lokasi penemuannya berada di dekat denga Krapyak (maksurah) Sultan Sepuh di shaf paling depan disamping mihrab dan mimbar masjid. Kemungkinan besar bom tersebut akan diledakkan saat sholat Jum’at atau proseso Pajang jimat yang kan digelar dihari yang sama. Seyogyanya hari Jum’at tersebut Sultan akan melaksanakan Sholat Jum’at di Masjid tersebut namun batal karena sesuatu dan lain hal. 

Ancaman bom di tahun 2010 tersebut bukanlah pertama kali terjadi di masjid ini. Merujuk penjelasan para tetua disana, semasa perang kemerdekaan masjid ini beberapa kali menjadi target serangan bom oleh pasukan Belanda maupun Jepang, namun tak satupun bom bom tersebut yang berhasil menyasar masjid tua ini, tapi justru menghantam sasaran lain.

Tradisi Tradisi di Masjid Agung Sang Ciptarasa

Seperti halnya masjid masjid tua serta merupakan masjid keraton kesultanan. Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon ini juga memiliki beberapa tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun temurun tanpa terputus sejak awal pembangunannya hingga kini. Diantara tradisi tradisi tersebut merupakan tradisi unik dan hanya ada di masjid ini. Terutama adalah tradisi Azan Pitu atau azan tujuh yang sudah di ulas tuntas dalam bagian-3.

Azan Pitu

Azan pitu atau azan tujuh adalah azan yang dikumandangkan oleh tujuh orang muazin sekaligus. Tradisi ini bermula sejak awal berdirinya masjid Agung Sang Ciptarasa dan sejak awal berkembangnya Islam di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Azan pitu pada awalnya dilakanakan atas perintah langsung dari Sunan Gunung Jati untuk mengatasi serangan ghaib dari Menjangan wulung yang menyebar terror di masjid ini sehingga menyebabkan tewasnya beberapa muazin serta menyebabkan kebakaran di masjid ini. 

Kemungkinan besar peristiwa tersebut terjadi di tahun 1549 masehi. Tahun tersebut merupakan tahun wafatnya Dewi Pakungwati, permaisuri Sunan Gunung Jati yang wafat di masjid ini. Beberapa sumber menyebutkan beliau wafat dalam usia yang sanga tua di dalam masjid ini setelah turut serta dalam upaya memadamkan kebakaran yang terjadi di masjid ini.

Khutbah Berbahasa Arab

Mimbar di masjid Agung Sang Ciptarasa - Cirebon, tanpak sedikit disebelah kanan foto adalah Maksurah atau Krapyak tempat sholat khusus Sultan dan Keluarga. disebelah Maksurah itu ada satu lagi mimbar lama yang disimpan disana.

Tradisi yang tak kalah uniknya dari masjid ini adalah sampai saat ini khotbah Jum'at selalu dibawakan dengan menggunakan bahasa Arab. Dan meski hampir semua jama'ah tak memahami artinya jamaah tetap menyimaknya dengan khusu tanpa mengobrol dengan rekan disebelahnya. Tujuan dari tetap dilestarikannya khotbah berbahasa Arab ini sendiri konon untuk memotivasi jamaahnya agar mau belajar bahasa Arab.

Ada jemaah perempuan yang ikut sholat Jum'at

Pada setiap sholat Jum'at yang kebetulan jatuh pada hari pasaran kliwon, banyak jemaah perempuan yang ikut sholat Jum'at di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon ini dengan satu keyakinan bahwa bila mereka ikut sholat Jum'at yang jatuh tepat pada hari Jum'at Kliwon maka yang bersangkutan akan memperoleh berkah. Atas dasar keyakinan itulah, pada Jum'at Kliwon banyak jemaah perempuan yang datang tidak hanya dari daerah Cirebon tapi juga banyak yang datang dari luar kota untuk ikut bersholat Jum'at di Masjid ini.

Sumur Keramat

Di beranda samping kanan (utara) masjid, terdapat sumur zam-zam atau Banyu Cis Sang Cipta Rasa yang ramai dikunjungi orang, terutama pada bulan Ramadhan. Selain diyakini berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, sumur yang terdiri dari dua kolam ini juga dapat digunakan untuk menguji kejujuran seseorang.

Sumur Banyu Cis yang dikenal sebagai zam zamnya Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon

Beberapa jamaah masjid ini datang jauh jauh dari berbagai daerah selain untuk sholat di masjid ini juga untuk mengambil air dari sumur tersebut. Dua kolam dari batu bundar ini dulunya berada di luar bangunan utama namun kini sudah berada di dalam pandopo utara. Disekitar kolamnya juga sudah di kelilingi dengan pagar besi. Menariknya air dari sumur ini dipercaya juga dapat digunakan sebagai media untuk menguji kejujuran seseorang.

Pesan Sunan Gunung Djati

Sunan Gunungjati, sultan pertama Kesultanan Cirebon dan pendiri Masjid Agung Sang Ciptarasa ini, wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga. Selama hidupnya Sunan Gunung Jati pernah berpesan, diantara yang paling terkenal dari pesan pesan beliau adalah : "Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (Saya titip tajug dan fakir miskin)". Selain itu ada banyak pesan pesan beliau yang lain diantaranya sebagai berikut. 

Ilustrasi wajah Sunan Gunung Jati
Singkirna sifat kanden wanci (jauhi sifat yang tidak baik), Duwehna sifat kang wanti (miliki sifat yang baik), Amapesa ing bina batan (jangan serakah atau berangasan dalam hidup), Angadahna ing perpadu (jauhi pertengkaran), Aja ilok ngamad kang durung yakin (jangan suka mencela sesuatu yang belum terbukti kebenarannya), Aja ilok gawe bobat (jangan suka berbohong), Den bisa megeng ing nafsu (harus dapat menahan hawa nafsu), Angasana diri (harus mawas diri), Tepo saliro den adol (tampilkan perilaku yang baik). 

Ngoletena rejeki sing halal (carilah rejeki yang halal), Aja akeh kang den pamrih (jangan banyak mengharap pamrih), Gegunem sifat kang pinuji (miliki sifat terpuji), Aja ilok gawe lara ati ing wong (jangan suka menyakiti hati orang), Ake lara ati, namung saking duriat (jika sering disakiti orang hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya), Aja ngagungaken ing salira (jangan mengagungkan diri sendiri), Aja ujub ria suma takabur (jangan sombong dan takabur), Aja duwe ati ngunek (jangan dendam), Den hormat ing wong tua (harus hormat kepada orang tua), Den hormat ing leluhur (harus hormat pada leluhur), Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (hormat, sayangi, dan mulyakan pusaka), Den welas asih ing sapapada (hendaklah menyanyangi sesama manusia). 

Pesan beliau yang berbunyi "Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (Saya titip tajug dan fakir miskin)" juga dipampang di depan makam beliau. Dan menariknya pesan yang sama dipampang di depan Makam Sheh Quro di Karawang. Hanya saja, entah karena kesalahan penafsiran terhadap pesan beliau, hingga kini bila anda berkunjung ke masjid Agung Sang Ciptarasa bertepatan dengan sholat Jum’at atau pada peringatan hari besar Islam di halaman masjid ini berjejer para peminta peminta. 

Peminta minta di Makam dan Masjid Sunan Gunung Jati.

Tidak hanya di masjid, kondisi lebih ramai akan kita jumpai di sekitar makam beliau di komplek pemakaman kesultanan di Gunung Sembung yang berseberangan dengan komplek pemakaman Gunung Jati tempat bermakamnya Sheh Nur Jati. Di komplek pemakaman  tersebut, para pengemis dan peminta minta tidak sekedar berjejer tapi sudah sampai para tahap mengerubuti para peziarah. Bagi mereka yang tak terbiasa akan terkaget kaget dengan kondisi itu. Terlebih bila anda hanya memberikan sedekah hanya kepada salah satu dari mereka maka yang lainnya sontak akan beramai ramai menghampiri. 

Kondisi yang hampir sama juga akan kita temui saat berziarah ke makam Sheh Nur Jati di gunung Jati. Peminta minta disana bahkan dari golongan pria dewasa yang berbadan sehat segar bugar dengan sedikit memaksa. Saya pribadi lebih menghargai mereka mereka yang mencari berkah disekitar makam para wali tersebut dengan menawarkan jasa sebagai pemandu, tukang parkir, atau mereka yang rela begadang menjaga kendaraan peziarah, atau berjualan keperluan bagi para peziarah hingga membuka warung makan disana. 

Memang butuh kearifan dan pemahaman yang baik dari semua pihak untuk menjalankan amanah dari Sunan Gunung Jati tersebut, beliau menitipkan tajuk dan fakir miskin tentunya untuk dimakmurkan. Semakin banyaknya atau semakin maraknya praktek para peminta minta di sekitar makam beliau sepertinya bukanlah refleksi yang baik dari pelaksanaan pesan tersebut.  (SELESAI).***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA