Minggu, 19 Juni 2016

Masjid Agung Keraton Liya Togo, Wakatobi

Masjid Mubarok di dalam Benteng Liya Togo

Masjid tua ini bernama masjid Mubarok namun lebih dikenal sebagai Masjid Agung Keraton Liya Togo atau Masjid tua Benteng Liya karena berada di dalam benteng Liya yang terbuat dari batu koral di pulau Wangi Wangi dalam lingkup wilayah desa Liya Togo, kecamatan Wangi wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, propinsi Sulawesi Tenggara. Masjid tua ini dibagun tahun 1546 atau delapan tahun setelah pelantikan Sultan Buton Pertama – Sultan Marhum di tahun 1538.  Masjid ini merupakan masjid tertua kedua di Kabupaten Waktobi yang masih berdiri hingga kini, setelah masjid Agung Keraton Wolio. Masjid Keraton Liya yang berjarak 8 Km atau 15 menit dari Ibukota Kabupaten, dapat ditempuh menggunakan alat transportasi roda dua dan empat.

Benteng Liya dibangun di atas bukit, jarak benteng dari pinggir laut adalah sekitar 1,5 km. Dengan bentuk jalan yang menyerupai angka 9. Dari benteng terlihat jelas wilayah laut utara, timur dan selatan. Benteng Liya terdiri dari empat lapis dengan 12 Lawa (Pintu), 12 lawa tersebut merupakan pintu keluar yang digunakan masyarakat kerajaan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.



Masjid Mubarok menjadi saksi penyebaran Islam di Pulau Wangi-Wangi, yang saat ini masuk menjadi bagian dari Kabupaten Wakatobi. Dinas Pariwisata Wakatobi, memasukannya sebagai salah satu destinasi wisata yang sedang dikembangkan. Salah satu program yang akan digelar adalah membuat sinopsis sejarah tentang Masjid Liya Togo. Pemda juga menyiapkan program pelatihan kepada masyarakat setempat agar dapat memandu para tamu yang datang.

Di hadapan sisi kiri masjid, sebuah tanah pemakaman terhampar. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah makam yang letaknya di dataran paling tinggi.  Bentuknya tidak seperti bangunan makam pada umumnya. Makam cukup lebar ditandai dengan barisan batu karang yang ditanam ke tanah. Sementara, area makam dikelilingi pagar batu. Menurut cerita legenda, makam tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir seorang pemuda bernama Talo-Talo,  pemuda sakti yang diberi daerah kekuasaan Liya Togo oleh Kesultanan Buton.

Sebagian besar bangunan masjid ini masih asli 

Talo-Talo diberi kekuasaan di Liya Togo karena dianggap berjasa terhadap Sultan Buton ketika diberi tugas menyelesaikan konflik di salah satu  negeri bagian. Liya Togo sendiri berdiri di dataran tinggi sebelah selatan Pulau Wangi-Wangi. Letaknya kira-kira 8 kilometer dari ibukota kabupaten. Selain bangunan masjid dan makam, Sebuah tempat pertemuan berbentuk rumah panggung yang disebut baruga juga berdiri tak jauh dari halaman depan masjid.

Versi lainnya disampaikan oleh Forum Komunikasi (Forkom) Kabali yang giat mengumpulkan data data sejarah di daerah tersebut menyatakan bahwa gundukan batu yang ditinggikan (Ditondoi) yang ada di depan Masjid 'Al Mubaraq' Keraton Liya seperti tersebut diatas adalah makam Mahisa Cempaka yang pernah bersama Rangga Wuni memimipin pemerintahan di Kerajaan Singosari di Pulau Jawa. Di bawah gundukan batu Ditindoi yang di sekelilingnya ditumbuhi banyak Pohon Kamboja yang telah berusia sekitar 800 tahun, diperkirakan terdapat sekitar 5 anggota dinasti Ken Arok, selain Mahisa Cempaka yang dimakamkan disitu. Model penguburan satu liang terdiri atas beberapa anggota keluarga, hingga saat ini masih terus terjadi di wilayah Liya, Wangiwangi.

Masih menurut hasil penelusuran sejarah yang dilakukan oleh Forkom Kabali, jauh sebelum dibangun Masjid 'Al-Mubaraq' Keraton Liya, sudah ada sebuah masjid di wilayah Liya Togo dikenal dengan nama Masjid Togo Lamantanari. Masjid itu diperkirakan dibangun tahun 1238 masehi oleh 8 orang Persia dipimpin Haji Muhammad yang terhempas gelombang ke Pulau Wangiwangi setelah kapalnya remuk melabrak karang dalam pelayaran menuju Filipina.

Kubah limas masjid, beduk dan batu makam

Kini masjid tersebut sudah tidak ada lagi, namun demikian, menurut keterangan yang dihimpun oleh Forkom Kabali pada saat waktu shalat dhuhur dan masuk waktu shalat ashar setiap hari masih selalu terdengar suara kumandang azan dari sekitar lokasi masjid tua ini. Kumandang azan yang sama sampai saat ini masih selalu terdengar dari sekitar makam H.Muhammad yang terletak di sekitar permandian Kohondao Liya Togo, Desa Woru, sekitar 800-an meter dari lokasi bekas masjid tua Togo Lamantanari.

Pemugaran

Dalam perjalanan sejarah Mesjid Mubaroq ini telah mengalami empat kali pemugaran, yakni tahun 1924, 1970, 1973 dan tahun 2005. Pemugaran Pertama tahun 1924 oleh Lakina Liya La Ode Taru yang melakukan perbaikan-perbaikan pada sebagian dinding dan bagian atap yang sudah lapuk. Pemugaran kedua dilakukan oleh Lakina Liya La Ode Bula yang mengganti dinding yang terdiri dari pasangan kayu yang sudah lapuk dengan pasangan batu, termasuk juga mengganti mimbar kayu yang kala itu sudah lapuk.

Pemugaran di tahun 1973 dilaksanakan pada masa camat Wangi-Wangi dijabat oleh Andi Sultan. Dilaksanakan perombakan Mimbar/Mihrab yang semula terbuat dari Kayu Ukir dari Jenis kayu Jati dengan model atap dari susunan atap nipah sebanyak 2 helai dipasang di bagian kisi luar atap penutup Mimbar/Mihrab, kemudian diganti lagi dengan Mimbar/Mihrab dari pasangan batu.

Pemugaran terahir pada tahun 2005 di masa Gubernur Sulawesi tenggara dijabat oleh Ali Mazi SH. Pemugaran dengan mengganti empat sokoguru ditengah mesjid dengan pilar cor beton karena sulitnya mendapatkan kayu berukuran besar sebagaimana tiang asli masjid yang sudah lapuk tersebut. Plafon masjid juga diganti dari sebelumnya terdiri dari pasangan papan yang disusun bertingkat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA