Minggu, 27 November 2016

Masjid Al-Ijtihaj Lamakera, Pulau Solor

Masjid Al-Ijtihaj di Kampungnya para pemburu paus, Lamakera

Lamakera adalah sebuah desa di pantai ujung timur pulau Solor, Nusa Tenggara Timur. Secara administratif desa ini masuk ke dalam kecamatan Solor Timur, kabupaten Flores Timur, dan selama berabad abad terkenal sebagai desanya para pemburu ikan paus, sebuah propesi yang benar benar langka dan membutuhkan nyali besar untuk menjalaninya. Lamakera adalah satu dari dua desa di NTT yang penduduknya memiliki propesi tak biasa tersebut, desa lainnya adalah desa yang namanya nyaris sama, yakni Desa Lamalera di Kabupaten Lembata.

Sejak tahun 2015 Lamakera dikembangkan oleh Pemkab Flotim sebagai kawasan pariwisata bahari baru bagi para pecinta dunia laut. Di Lamakera dtemukan sejumlah jenis ikan langka yang hidup diperaian ini sejak berabad abad silam. Beberapa diantara hewan hewan laut itu kini bahkan nyaris punah, diantaranya dalah ikan paus, hiu, lumba lumba dan ikan pari manta atau dalam bahasa setempat disebut ikan Moku.

Lamakera merupakan sebuah perkampungan berbasis islam, letaknya yang berada di ujung timur pulau solor menjadikannya sebagai daerah yang cukup strategis karena menjadi tempat pertemuan arus dan mudah menjangkau laut sawu. Orang Lamakera merupakan nelayan ulung yang memulai tradisi perburuan paus biru dengan hanya bermodalkan “gala”(Tombak) dengan bertelanjang dada melesat diatas ganasnya samudera.

Laskar Lamakera nama gelar untuk para penangkap paus desa Lamakera seajak dahulu. Laskar lamakera inilah yang memulai tradisi perburuan paus yang kemudian ditiru desa serumpunnya Lamalera disebelah selatan pulau lomblen (Lembata) yang bermayoritas Katolik dan Kristen protestan. Hanya saja justru desa Lamalera yang di eskpose oleh media massa yang berakibat protes keras dari warga Lamakera.

Kampung yang indah menghadap ke laut lepas berlatar bukit menghijau

Dulunya, Desa Lamakera terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Motonwutun di sebelah timur dan Dusun Watobuku di sebelah barat. Seiring meningkatnya jumlah penduduk di kedua dusun tersebut, sekarang statusnya sudah meningkat menjadi desa, yaitu Desa Motonwutun dan Desa Watobuku. Meski sudah terbagi menjadi dua desa, tapi warga kedua desa tersebut tetap menyebut dirinya sebagai Warga Desa Lamakera.

Untuk mencapai Desa Lamakera, memang butuh sedikit perjuangan. Dari kota Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur dapat ditempuh dengan perahu (kapal motor) selama sekitar dua jam. Satu-satunya kapal motor yang menuju Lamakera adalah Kapal Motor (KM) Rahmat Solor yang dimiliki oleh Warga Lamakera. Setiap hari kapal ini berangkat dari Pelabuhan Larantuka jam 12.00 siang dan tiba di Desa Lamakera sekitar jam 14.00.

Opsi lainnya untuk menuju ke Lamakera, dari Larantuka Anda bisa naik perahu sampai ke Kota Waiwerang, Pulau Adonara kemudian lanjut naik perahu kecil hingga tiba di Lamakera. (edyra). Sampai saat ini tidak ada hotel ataupun penginapan di Desa Lamakera. Namun, pengunjung bisa menginap di rumah warga yang ramah dan terbuka terhadap para pengunjung desa mereka.

Sebagai sebuah desa dengan penduduk beragama Islam, di Lamakera berdiri sebuah masjid megah bergaya modern dengan nama Masjid Al-Ijtihaj. Sebuah bangunan megah dengan menaranya yang tinggi menjulang telah menjadi landmark Lamakera sejak masjid tersebut berdiri. Bagaimana tidak selain sebagai bangunan termegah di seantero desa, masjid ini juga merupakan bangunan tertinggi sekawasan.

Masjid AlIjtihad Lamakera
Desa Watobuku, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Indonesia
Koordinat : 8°26'4"S 123°9'49"E


Posisi Lamakera yang berada di bibir pantai dan lokasi masjid ini yang juga berada di tepi pantai membuat menara dan kubah besarnya sudah terlihat dari kejauhan, menjadi semacam mercusuar bagi para nelayan Lamakera yang sedang melaut. Dari bukit batu yang berada di sisi barat desa bangunan masjid ini terlihat tinggi menjulang diantara bangunan rumah rumah penduduk. 

Masjid Al-Ijtihaj Lamakera ini dibangun dengan dana swadaya masyarakat muslim setempat sejak tahun 2012, sebuah upaya dan semangat ke-Islaman yang luar biasa dari muslim setempat dengan segala keterpencilannya, mampu membangun sebuah masjid yang begitu megah, bahkan menara utama masjid ini memiliki ketinggian hingga 45 meter menjadi menara masjid tertinggi di kabupaten Flores Timur dan provinsi NTT.

Masjid Al-Ijtihat mempunyai tujuh pintu, dan masing masing pintu diberi nama sesuai nama tujuh suku yang ada di Lamakera, yaitu Lewoklodo, Ema Onang, Kiko Onang, Lamakera, Hari Onang, Lawerang, dan Kuku Onang. Masjid ini mempunyai lima menara dengan menara utama yang berada di depan masjid menjulang setinggi 45 meter.

Masya Allah Indahnya

Lamakera memiliki pesona alam yang menawan. Pengunjung yang datang kesana dapat memanjat ratusan anak tangga hingga ke puncak menara dengan meminta izin dari takmir masjid. Panorama yang terlihat dari puncak menara sangat menakjubkan. Seluruh Desa Lamakera bisa terlihat dengan jelas lengkap dengan bukit-bukit hijau di belakang desa dan Selat Solor yang berair biru di depannya. Pulau Adonara di seberang selat dan Pulau Lembata di sebelah timur juga terlihat jelas.

Desa Lamakera diapit dua buah tanjung. Di sebelah barat desa namanya Tanjung Watobuku dan di sebelah timur desa namanya Tanjung Motonwutun. Nama kedua tanjung ini kemudian dijadikan nama desa, setelah Desa Lamakera dipecah menjadi dua. Panorama di Tanjung Watobuku sangat cantik. Di tanjung ini terdapat sekumpulan batuan dengan bentuk yang unik. Batu ini dikeramatkan oleh Warga Lamakera.

Tak jauh dari Tanjung Watobuku juga terdapat sebuah pantai yang menarik, namanya Pantai Kebang. Di pantai ini terdapat sebuah batu karang yang menjorok ke laut, bentuknya mirip moncong/mulut buaya. Ada juga batuan berwarna merah di pinggir pantai yang semakin menambah keindahan pantai Di dekat Pantai Kebang juga terdapat padang savana dengan rumput hijau yang menghampar luas. Selain itu, kita juga bisa melihat Gunung Ile Bolang yang berdiri menjulang di Pulau Adonara.

Sejarah Masuknya Agama Islam di Lamakera

Lamakera dari bebukitan 

Kepercayaan nenek moyang masyarakat Lamakera sebelum kedatangan Islam adalah animisme. Seperti di kawasan Indonesia pada umumnya, awal masuknya Islam di Nusa Tenggara Timur melalui jalur perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang dan ulama. Pada abad XV, banyak para pedagang Islam dari berbagai wilayah di Nusantara, seperti para pedagang dari pulau Jawa, Sumatera dan Bugis Makasar yang melakukan perdagangan dan atau menyinggahi berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur sebagai tempat transit sebelum meneruskan pelayaran ke Maluku, Makasar ataupun ke bandar-bandar di pulau Jawa.

Karena faktor tersebut agama Islam paling awal masuk di wilayah Nusa Tenggara Timur adalah di sekitar bandar-bandar strategis yang banyak dikunjungi para pedagang Islam. Tempat-tempat tersebut antara lain : Pulau Solor, Pulau Ende, Pulau Alor, Kota Kupang, dan pesisir utara Sumba Barat. Pulau Solor merupakan tempat yang paling strategis bila ditinjau dari segi perdagangan karena berada pada posisi silang pelayaran dari bandar di pulau Jawa, Sumatera, Makasar ke Maluku atau sebaliknya, dari bandar-bandar di pulau Jawa, Sumatera, Makasar ke pulau Timor dan dari bandar di Makasar ke pantai utara Australia.

Di samping itu di Lamakera terdapat pelabuhan alam yang bagus dan aman sebagai tempat persinggahan kapal dalam rangka menunggu cuaca dan angin yang tepat untuk berlayar. Itulah sebabnya Lamakera yang terletak di ujung timur pulau Solor sebagai tempat yang paling banyak dikunjungi para pedagang dan pelaut Islam dan merupakan salah satu tempat di NTT yang paling awal menerima agama Islam.

Dari arah laut

Keberuntungan yang disebabkan oleh letak yang strategis dalam jalur perdagangan serta tersedianya pelabuhan alam yang aman telah menjadikan masyarakat Lamakera sebagai komunitas yang terbuka untuk menerima segala hal baru yang dibawa para pedagang yang hilir mudik tersebut.

Apalagi tradisi raja Lamakera pada saat itu, adalah mengundang dan menjamu setiap saudagar dari luar yang singgah untuk berdagang dan atau sekedar berteduh dari gangguan musim angin yang kencang. Keramahan tuan rumah seperti yang dicontohkan sang raja tersebut, merupakan kesempatan yang baik bagi para pedagang Islam, untuk lebih mudah memperkenalkan Islam kepada penguasa dan masyarakat Lamakera.

Sekitar abad ke XV, seorang pedagang dari Palembang bernama Syahbudin bin Ali bin Salman Al Farisyi atau yang kemudian dikenal juga dengan Sultan Menanga, merupakan salah seorang tokoh perintis penyebaran agama Islam. Tokoh ini oleh Raja Sangaji Dasi diberi izin menetap di wilayah perbatasan antara kerajaan Lamakera dan Lohayong. Di sana ia mendirikan perkampungan Islam yang diberi nama Menanga.

Melalui pendekatan kekeluargaan, tokoh ini berhasil menjadi menantu kerajaan dengan mengawini putri dari adik Raja Sangaji Dasi. Pada saat bersamaan, ia juga berhasil meng-Islam-kan Raja Sangaji Dasi. Dengan keberhasilan meng-Islam-kan tokoh kunci yakni raja dan keluarganya, maka semakin lancarlah upaya penyebaran agama Islam bagi pengikut dan rakyat di kerajaan tersebut.

Lamakera dengan menara masjidnya yang menjulang menjadi semacam mercusuar bagi para nelayannya

Kemudian pada tahun 1628, dibangunlah sebuah surau bagi pendukung pembinaan penyebaran agama Islam di Lamakera. Tokoh lain yang juga menjadi perintis penyebaran agama Islam di Pulau Solor adalah seorang ulama dari Ternate (Maluku) bernama Sutan Sahar dan istrinya yang bernama Syarifah al Mansyur.

Kecerdasan para pedagang dan ulama dalam menjelaskan ajaran Islam kepada penguasa dan masyarakat Lamakera, telah membuat Islam begitu mudah diterima dan dalam waktu yang tidak begitu lama penguasa dan masyarakat Lamakera yang sebelumnya merupakan penyembah Rera Wulan Tanah Ekang, menjadi penganut Islam yang taat.

Penyebaran Islam di Lamakera dapat berjalan dengan baik dan cepat diterima oleh masyarakat Lamakera karena Sultan Menanga berhasil meng-Islam-kan Raja Sangaji Dasi. Sepeninggal Sultan Mananga, maka untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim, penyebaran agama Islam selanjutnya dilaksanakan oleh raja dan dibantu oleh Sultan Syarif Sahar.

Walaupun raja mempunyai kekuasaan dan wewenang yang kuat untuk memerintahkan masyarakatnya, namun dalam hal penyebaran agama Islam tetap dilakukan baik, arif dan bijaksana dengan seruan-seruan yang baik tanpa kekerasan serta pemaksaan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Raja Sangaji Dasi yang pada saat itu berkuasa, adalah tokoh yang disegani, ditaati dan mempunyai kharisma serta pengaruh yang sangat luas hingga seluruh wilayah Solor Timur, namun masih ada masyarakat di daerah-daerah kekuasaannya tetap menyembah Rera Wulan Tanah Ekang dan baru memeluk ajaran Islam setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berkembangnya pendidikan agama Islam di Solor Timur. (Dirangkum dari berbagai sumber)***

Baca Juga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA