Minggu, 18 Juni 2017

Mengenal Masjid Masjid Tua Jakarta (Bagian 3)

Lima Masjid Tua Jakarta bagian ke-tiga : (11). Masjid An-Nawier, (12). Masjid Angke, (13) Masjid Tambora. (14) Masjid Krukut dan (15). Masjid Kebun Jeruk. 

Di bagian ketiga ini akan mengulas selayang pandang lima masjid tertua di Jakarta yang semuanya dibangun pada abad ke 18, menariknya bahwa masjid tersebut dibangun oleh muslim Batavia yang berasal dari berbagai akar budaya. Seperti Masjid Annawier di Pekojan (1760) yang dibangun oleh Muslim Arab di Batavia, kemudian ada Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke (1761) atau Masjid Angke yang dibangun oleh muslim Thionghoa, sama seperti masjid Krukut dan Masjid Jami’ Kebon Jeruk (1786).

Di masa penjajahan Belanda muslim Thionghoa di Batavia juga dimasukkan ke dalam kelompuk pribumi karena agama Islam yang di anutnya, sehingga disamakan dengan orang Jawa, Sunda, Banten, Sumbawa dan sebagainya. Tambora yang kini menjadi nama kelurahan sekaligus kecamatan di Jakarta Barat, memang mengabadikan nama Gunung Tambora di pulau Sumbawa. Masjid Jami Tambora yang masih kekar berdiri hingga kini dibangun oleh seorang ulama yang berasal dari sekitar Gunung Tambora. Berikut sekilas tentang lima masjid tertua di Jakarta tersebut.

11. Masjid An-Nawier Pekojan (1760) Jakarta Barat

Masjid An Nawier dididirkan tahun 1180H / 1760M, dua belas tahun setelah berdirinya Masjid Kampung Baru Pekojan oleh komunitas India. Masjid An Nawier lebih dikenal dengan sebutan Masjid Pekojan, di dirikan oleh diatas lahan wakaf dari Syarifah Fatimah binti Husein Al Idrus, seorang muslimah dari jazirah Arabia yang tinggal di Pekojan, makam beliau kini berada di bagian belakang masjid ini. Konon Masjid An Nawier ini dahulunya menjadi induk dari masjid-masjid sekitar Batavia.

Masjid An-Nawier Pekojan

Pada mulanya masjid ini berupa surai kecil yang pembangunannya di ketuai oleh Daeng Usman Bin Rohaeli sampai tahun 1825M. Kemudian diteruskan oleh Komandan Dahlan tahun 1825-1860M. Makam Komandan Dahlan kini berada di sebelah utara masjid yang dikelilingi batu pahatan besar. Pada tahun 1926 masjid ini diperluas dan diperindah oleh Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus, beliau merupakan seorang muslim kaya raya yang semasa hidupnya ikut menyelundupkan senjata untuk para pejuang Aceh melawan Belanda.

Di masjid inilah tempat Habibb Usman Bin Yahya, mufti Islam di Batavia mengajar. Habib kelahiran Pekojan 1238H dikenal produktif menulis buku buku agama. Diantara 50 buku karangannya masih digunakan di pengajian pengajian. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Habib Ali Alhabsyi atau lebih dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang, yang kurang lebih seabad lalu mendirikan majelis taklim Kwitang.

12. Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke (1761) Jakarta Barat

Berdasarkan sumber Oud Batavia karya Dr F Dehan, Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke didirikan pada hari Kamis, tanggal 26 Sya’ban 1174 H yang bertepatan dengan tanggal 2 April 1761 M oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim bernama Ny. Tan Nio yang bersuamikan orang Banten, dan masih ada hubungannya dengan Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah (sunan Gunung Jati). Arsitek pembangunan masjid ini adalah Syaikh Liong Tan, dengan dukungan dana dari Ny. Tan Nio.

Masjid Jami' Angke

Sejarah Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke, ini memiliki benang merah dengan Masjid Jami An-Nawier di Pekojan, yakni sama sama memiliki keterkaitan dengan perisitiwa berdarah pembunuhan masal orang Tionghoa di Batavia tahun 1740 oleh bala tentara VOC atas perintah Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741). Orang Orang Tionghoa Batavia banyak yang melarikan diri dan bersembunyi dan mendapatkan perlindungan dari orang orang Islam dari Banten yang tinggal di Kampung Goesti, dan kemudian hidup bersama di kampung tersebut.

Kelompok inilah yang kemudian membangun Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon. Kampung Goesti ini merupakan kampong orang Bali di Batavia yang sudah berdiri sejak tahun 1709.

Keberadaan Muslim di Kampung Goesti ini lagi lagi di-generalisir oleh pemerintah Belanda dengan menyebut semua penduduk pribumi disana sebagai muslim. Sebagaimana disebutkan oleh Heuken, orang Belanda menganggap kaum pribumi adalah orang-orang yang tinggal di tanah Jawa. Karena tinggal di tanah Jawa, mereka disebut orang Jawa. Jadi, orang pribumi itu orang Jawa. Orang Jawa itu Islam, maka orang Bali yang beragama Hindu dan tinggal di Batavia yang notabene ada di pulau Jawa juga dianggapnya sebagai orang Islam. Karena orang Islam itu pribumi maka orang Tionghoa yang Muslim pun dianggap sebagai Pribumi.

Masjid Jami' Tambora

(13). Masjid Jami’ Tambora (1761)

Terletak di Jl. Tambora Masjid (dahulu Jl. Blandongan) Nomor 11, Kelurahan Tambora, Kec. Tambora, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Masjid Jami’ Tambora dibangun pada tahun 1181 H (1761 M) oleh Kiai Haji Moestoyib, Ki Daeng, dan kawan-kawan. Mereka berasal dari Ujung Pandang, dan lama tinggal di Sumbawa tepatnya di kaki Gunung Tambora. Kemudian dibuang ke Batavia oleh Kompeni Belanda dan dijatuhi hukuman kerja paksa. Setelah lima tahun ia dibebaskan lalu membangun masjid sebagai tanda syukur.

Sejak masjid selesai dibangun, peribadatan dipimpin oleh K.H. Moestoyib sampai wafat. Haji Mustoyib dikuburkan di halaman depan masjid ini. Masjid ini diperluas dan dipugar menyeluruh pada tahun 1980. Kemudian kepemimpinan dialihkan pada Imam Saiddin sampai wafat, setelah itu beberapa kali mengalami pergantian pimpinan, dan terakhir tahun 1370 H (1950 M) pimpinan dipegang oleh Mad Supi dan kawan-kawannya dari Gang Tambora. Pada tahun 1945 masjid dijadikan markas perjuangan melawan NICA, bulan Oktober 1945 diserang tentara NICA dan akhirnya Mad Supi dan kawan-kawan ditawan Belanda.

Masjid Jami Tambora tercatat sebagai benda cagar budaya pada tahun 1994, dan telah mengalarni pemugaran, yaitu tahun 1979 oleh Proyek Sasana Budaya dan tahun 1980 Dinas Museum dan Sejarah Daerah Khusus Ibukota Jakarta merenovasi dan menambah ruangan aula dan tempat sholat untuk kaum wanita (sisi selatan) serta penggantian warna cat dinding, dan tahun 1988/1989 oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Masjid Krukut, kini dikenal dengan nama Masjid Jami' Al-Mubarak Krukut. 

(14). Masjid (Jami’ Al-Mubarak) Krukut (1785)

Masjid Krukut adalah salah satu masjid tua di Jakarta, dibangun sesudah tahun 1785 di atas sebidang tanah luasnya 1.000 m2 yang disebut Cobong Baru. Dibangun oleh kaum peranakan Tionghoa di Batavia, setelah memperoleh izin dari Gubemur Jenderal Alting. Izin tersebut diberikan kepada kapitan Cina peranakan (Muslim) yang bernama Tamien Dosol Seeng. Pada abad ke-19 dan abad ke20 masjid ini mengalami perubahan besar. Sebuah mimbar kayu pantas dianggap karya besar seni ukir Tionghoa. Sayang sekali, bentuk ukiran mimbar itu tak tajam lagi akibat dilapisi cat perak tebal pada tahun 1975 dan kini mimbar tersebut raib tak jelas keberadaannya.

Perombakan dan pembangunan total masjid ini dilakukan tahun 1994 14 Januari 1994, diperluas oleh tanah wakaf yang diberikan Syech Abdul Khaliq A Bakhsh dan dilaksanakan oleh Abdul Malik Muhammad Aliun sebagai wakaf untuk umat Islam. Di kawasan Krukut kini sudah hampir tak ada lagi muslim Tionghoa yang bermukim disana dan justru lebih banyak di dominasi muslim keturunan arab.

Masjid Jami' Kebun Jeruk. 

15. Masjid Jami’ Kebon Jeruk (1786) Jakarta Barat

Menurut data dari Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi Jakarta, Masjid Jami’ Kebon Jeruk didirikan oleh seorang Muslim Tionghoa bernama, Chau Tsien Hwu atau Tschoa atau Kapten Tamien Dosol Seeng di tahun 1786 (25 Tahun setelah Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke) . Beliau adalah salah seorang pendatang dari Sin Kiang, Tiongkok yang kabur dari negerinya karena ditindas oleh pemerintah setempat. Sesampai di Batavia, ia menemukan sebuah surau yang tiangnya telah rusak serta tidak terpelihara lagi. Kemudian di tempat tersebut, ia dan teman-temannya, sesama pendatang dari Tiongkok mendirikan mesjid dan diberi nama Masjid Kebon Jeruk.

Masjid Jami’ Kebon Jeruk menjadi masjid pertama yang murni dibangun oleh muslim Thionghoa di Batavia dan menjadi masjid pertama di kawasan pusat bisnis Glodok. Di halaman sebelah timur masjid terdapat makam Fatimah Hwu yang merupakan istri Chau Tsien Hwu. Nisan dari makam yang bertarikh 1792M ini cukup unik dengan bentuk naga bertulisan huruf cina berbunyi “Hsienpi Men Tsu Mow” yang artinya “inilah makam China dari keluarga Chai”, dan menggunakan pertanggalan Arab. ****

(Bersambung ke bagian 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA